"Sudah-sudah, tidak akan ada gunanya kalau terus berdebat. Lebih baik kita langsung menikahkan saja," kata Pak Kades yang berusaha menengahi.Robert mengangguk setuju, lantas bertanya, "apa maharnya?"Bella menatap ke arah Reno, membuat semua orang juga mengikuti arah pandangnya."Eum ... saya belum gajian, dan hanya ada dua ratus ribu di dompet. Mungkin, saya akan berikan mahar seratus ribu," ujar Reno.Udara di ruang tamu terasa panas, dipenuhi dengan ketegangan yang mencekik. Robert duduk di kursi dengan wajah merah padam menahan amarah. Di hadapannya, Reno, juga terduduk kepalanya menunduk, tangannya mengepal erat."Seratus ribu? Itu maharnya?! Kau kira anakku barang murah yang bisa ditebus dengan uang sepele?" Robert berteriak, suaranya menggema di ruangan.Reno terdiam, matanya menatap lantai. Dia memang belum gajian, dan seratus ribu adalah uang yang dia punya untuk diberikan sebagai mahar."Apa kau bisa membahagiakan Bella dengan uang segitu?!" cibir pria paruh baya itu. "
"sekali lagi saya mohon aaf, Dinara. Maafkan kekhilafan anakku," ucap Leanna lirih, matanya berkaca-kaca. Namun, raut wajahnya masih dipenuhi amarah. Dinara hanya mengangguk, berpura-pura bahwa hatinya masih terluka. "Aku harap kamu bisa mengerti," tambah Leanna, suaranya sedikit gemetar.Setelah meminta maaf kepada Dinara, Leanna langsung menghampiri Robert, suaminya. Wajahnya merah padam, matanya berkilat-kilat menahan amarah. "Nikahin mereka! Sekarang juga!" desaknya, jari telunjuknya menunjuk Reno dan Bella.Robert menghela napas. Ia tahu, tak mungkin menentang Leanna yang sedang dilanda amarah. "Baiklah, kita akan menikahkan mereka," katanya pasrah.Suasana ijab kabul terasa mencekam. Robert, yang sedari awal sudah kesal, semakin geram saat melihat mahar yang diberikan Reno kepada Bella hanya seratus ribu rupiah.Benar-benar satu lembar warna merah bergambar dua pahlawan proklamasi. Ck, dia kira Reno tadi hanya bercanda, ternyata memang kenyataanya miskin."Mahar segitu? Apa pant
Reno dan Bella diarak oleh warga keliling kampung. Mereka dipaksa berjalan di tengah kerumunan orang, diiringi cemoohan dan makian. "Pezina! Pelakor!" teriak warga, suaranya bergema di udara.Reno dan Bella hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah mereka yang memerah karena malu. Tak berani menatap mata orang-orang yang mengejek mereka."Lihat! Itu dia pasangan pezina yang merusak rumah tangga orang!" teriak seorang wanita paruh baya, jari telunjuknya menunjuk ke arah Reno dan Bella."Hina! Mereka pantas dihukum!" teriak warga lainnya.Beberapa orang bahkan melempari mereka dengan sampah. Reno dan Bella berusaha menghindar, namun mereka tak bisa menghindar dari semua lemparan."Ampun! Kami mohon ampun!" teriak Bella, suaranya bergetar. "Kami menyesal! Kami tidak akan mengulangi kesalahan kami!"Namun, teriakan Bella tak didengar oleh warga. Mereka terus menerus mengejek dan menghukum Reno dan Bella.Reno, yang melihat Bella tersiksa, merasa sangat bersalah. Ia tak menyang
Malam harinya, Dinara memutuskan untuk pergi ke rumah Nada, sahabatnya. Ia ingin melihat putranya, Azka, yang dititipkan di sana. Dinara muak terus berdiam diri ke rumahnya. Ia kesal melihat Reno dan Bella, dan juga Yuyun yang selalu memihak Bella."Aku ingin menenangkan hati dan menemani Azka tidur," gumam Dinara, sambil berjalan menuju rumah Nada. "Kasihan dia, pasti sore tadi bingung karena aku titipkan kepada Nada."Ia tak memberitahu mertuanya atau suaminya tentang kepergiannya. Ia ingin melupakan sejenak semua masalah yang dihadapinya.Sesampainya di rumah Nada, Dinara disambut hangat oleh sahabatnya itu. "Din, kamu kenapa murung gitu? Kok nggak ngasih kabar kalau mau ke sini?" tanya Nada, khawatir.Nada mengajak sahabatnya ke kamar untuk bertemu Azka, dia tahu Dinara merindukan Azka.Dinara langsung mendekat ke ranjang, tersenyum lega melihat putranya tidur nyenyak dan baik-baik saja."Aku nggak enak badan. Aku mau nginep di sini aja," jawab Dinara, sambil mengelus kepala Azk
Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemecatan untuk Reno dan Bella ke rumah Yuyun. Yang mengantarkan surat pemecatan itu adalah HRD dari perusahaan, seorang wanita berpakaian rapi dengan name tag bertuliskan "Bu Dewi"."Selamat pagi, Bu. Saya dari perusahaan tempat Pak Reno bekerja. Ini surat pemecatan untuk beliau dan juga untuk Bu Bella," kata Bu Dewi, sambil menyerahkan surat itu kepada Yuyun.Yuyun tertegun. Ia tak menyangka, Reno dan Bella akan dipecat. "Kenapa? Kenapa mereka dipecat?" tanya Yuyun, suaranya bergetar.Bu Dewi tersenyum simpati, "Pak Budi, Direktur Utama, memutuskan untuk memecat Pak Reno dan Bu Bella karena mereka sudah membuat malu perusahaan dengan berselingkuh. Perusahaan kami tidak mentolerir perilaku yang tidak profesional seperti itu."Yuyun terdiam. Ingin protes pun, dia takut malah semakin memperkeruh keadaan. "Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas," kata Bu Dewi, sambil menunduk. "Semoga keluarga Anda baik-baik saja."Yuyun hanya menganggu
Reno mengusap wajahnya dengan kasar, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang menampilkan email pemberitahuan pemecatan. "Sialan! Ternyata mereka nggak hanya mengirimkan surat, tapi juga melalui email. Perusahaan benar-benar sudah tidak menginginkan kita lagi, Bella!" umpatnya. "Ini semua gara-gara Dinara."Di sebelahnya, Bella terisak pelan, tubuhnya gemetar. "Aku tidak menyangka," lirihnya. "Aku benar-benar mencintai kamu, Mas. Aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Kenapa malah istrimu itu membuatku sengsara, dia terus-terusan membuat keadaan kita susah. Dari mulai menggerebek, sampai mengatakan perselingkuhan ke atasan."Reno meraih tangan Bella, berusaha menenangkannya. "Tenanglah, Sayang. Kita akan baik-baik saja. Kita akan mencari pekerjaan baru."Namun, kata-kata Reno terdengar hampa. Dia sendiri pun merasa putus asa. Dia tahu, Dinara lah yang telah melaporkan hubungan mereka ke perusahaan setelah beberapa saat lalu mencecar Bu Dewi. Dia tidak pernah menyangka
Kaca spion motor Nada memantulkan wajah Dinara yang pucat. Mata sembabnya masih terlihat, bekas tangisan semalam yang tak tertahankan. "Kamu yakin bisa, Nar?" tanya Nada, suaranya lembut. Dinara tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kepedihan yang menggerogoti hatinya. "Ya, aku harus kuat. Azka butuh aku, Nad." Hidup Dinara hampir hancur berkeping-keping. Suaminya, yang selama bertahun-tahun dia percayai, ternyata berselingkuh dan bahkan sudah menikahi selingkuhannya. Rasa sakit, amarah, dan kekecewaan bercampur aduk dalam dirinya. Namun, Dinara tahu, dia harus kuat. Dia punya Azka, putranya yang masih berusia tujuh tahun, yang sangat membutuhkannya. Azka, dengan senyum polosnya, memeluk erat Dinara. "Mama, aku mau susu coklat!" Dinara mengelus rambut Azka, hatinya luluh. "Iya, Sayang. Nanti Mama buatkan." Setiap pagi, Dinara mengantar Azka ke sekolah. Setelah itu, dia dan Nada berangkat bersama ke kantor. Rumah Nada menjadi tempat tinggal sementara Dinara dan Azka. "Ngg
Azka, dengan mata polosnya, menatap Dinara penuh tanya. "Mama, kapan kita pulang ke rumah Papa?" Dinara menghela napas. Sudah berulang kali Azka bertanya hal yang sama. Hatinya pedih melihat putranya merindukan sang papa. "Sayang, kita tinggal di sini dulu, ya?" jawabnya lembut. "Kenapa? Aku kangen Papa," rengek Azka. Dinara mendekap erat Azka dalam pelukannya. "Mama juga kangen Papa, Sayang. Tapi, Papa lagi sibuk, jadi kita tinggal di sini dulu, bareng Tante Nada." "Sibuk apa, Ma?" tanya Azka, matanya masih berkaca-kaca. Dinara terdiam. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Azka tentang perselingkuhan dan pernikahan Reno? Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa pria yang selama ini Azka panggil Papa, kini telah menikah dengan wanita lain? "Papa lagi kerja keras, Sayang. Biar kita bisa bahagia," jawab Dinara, suaranya bergetar. "Tapi, aku pengen ketemu Papa," Azka kembali merengek. "Nanti, ya, Sayang. Nanti kita ketemu Papa. Sekarang, kamu main dulu sama mainan kamu, ya?" Dinara be