Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.
Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara. "Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu. "Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut. "Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald. "Bak, Pak. Saya akan melakukannya." Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati." "Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar. Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya, kemudian menjelaskan niatnya untuk mengangkat Dinara sebagai staf pemasaran. "Awasi kinerja Dinara selama satu bulan ke depan, Bu. Kalau dia besar kepala, maka aku tidak jadi memindahkan tugas. Tapi, kalau dia tetap bersikap baik, bulan depan dia akan dipindahkan tugas," jelasnya. "Baik, Pak. Saya akan melaporkan perkembangannya kepada Anda." Gerald mengangguk. "Bagus. Setelah ini panggil Dinara untuk ke ruang HRD, dia harus interview." "Baik, Pak." Pria itu segera keluar dan berjalan menuju ruangannya, ia berpura-pura tidak melihat Dinara saat melewati wanita itu. Membuat Dinara semakin yakin kalau Gerald membencinya, sekarang ia hanya bisa pasrah kalau memang dipecat. "Dinara, ikut saya ke ruang HRD." Dinara tersentak dari lamunannya, tubuhnya bergetar mendapati Bu Lina menatapnya dengan raut datar. Apa hari ini akan menjadi hari terakhirnya bekerja? Apakah ia disuruh mengambil surat pemecatan di ruang HRD? "Ayo, Din," ajak Bu Lina saat melihat Dinara yang masih diam sejak tadi. "B-baik, Bu." Dinara melangkah gontai dengan kepala tertunduk, sehingga tidak tahu kalau Gerald mengintip dari jendela. "Aslinya takut juga, tapi sok jual mahal saat di depanku." Sudut bibirnya menyeringai, menatap remeh punggung Dinara yang semakin menjauh. "Aku tidak akan melepaskanmu, Dinara!" • "Masuklah, Din. Pak Bayu sudah menunggu di dalam," kata Bu Lina. "Baik, Bu." Dinara menarik napas dalam, tangannya membuka pintu dengan keringat dingin yang mulai bercucuran di pelipis. Bayangan wajah Azka langsung memenuhi kepalanya, ia takut gagal membahagiakan putranya. "Duduklah, Dinara," ucap Bayu. Pria paruh baya itu langsung mengajukkan beberapa pertanyaan, Dinara juga diminta mengisi data diri dan mengerjakan soal. Awalnya wanita itu bingung, apalagi tes ini mirip seperti saat ia melamar jadi staf pemasaran dulu. Dinara merasa dejavu, tetapi saat Pak Bayu mengatakan ini hanya tes biasa, ia pun bisa sedikit tenang. Mungkin, kalau ia bisa mengerjakan tes ini, ia tidak jadi dipecat. Begitu pikir Dinara. Sehingga ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. "Sudah selesai, Pak," ucap Dinara setelah berkutat selama satu jam dengan soal-soal itu. "Baiklah, kamu bisa keluar sekarang dan kembali bekerja. Terima kasih," sahut Bayu. "Terima kasih, Pak." Dinara keluar ruangan setelah mengangguk hormat, wanita itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas siang. "Sudah jam istirahat, tapi aku belum selesai mengepel lantai atas. Bagaimana, ya?" gumamnya bingung. Gerald tidak suka saat sedang makan, ada orang yang mondar-mandir di lorong. Akhirnya Dinara memilih menghampiri Nada, mengajak sahabatnya itu untuk makan siang bersama. "Kamu baik-baik saja 'kan, Din? Aku khawatir saat kamu dipindahkan ke lantai atas, mana sendirian lagi," ucap Nada. Keduanya bersama-sama menuju kantin, sepanjang perjalanan Nada menggamit lengan Dinara dengan lembut. "Aku nggak papa, tapi memang capek banget. Lantai seluas itu ... aku sendirian yang bersihin," keluh Dinara. Nada mendudukkan sahabatnya ke kursi, ia memesan dua mangkok soto dan dua gelas es jeruk. "Makan dulu, Din. Biar nggak lemes kalau mau cerita." Nada menyeruput kuah soto, kemudian kembali bertanya, "tadi diajak Pak Gerald ke mana?" Dinara tidak jadi menyuapkan soto ke dalam mulut, ia menaruh lagi sendoknya, netranya berembun menatap Nada. Mau sekuat apapun, nyatanya Dinara tetap lemah. Hatinya sudah menangis sejak tadi, hanya saja masih ditahan. Ia ingin terlihat tegar, meskipun batinnya tersiksa. Dinara menceritakan semuanya dari keberangkatannya bersama Gerald, hingga ia diturunkan di tepi jalan. Semuanya ia jelaskan dengan runtut, tanpa ada yang ditambah atau kurangi. "Jadi kamu tadi tadi naik taksi?" tanya Nada, ia juga tidak sanggup melihat sahabatnya yang sudah menitikkan air mata. "Iya, Nad. Tadi aku mampir rest area buat ganti baju, terus cari taksi. Sekarang aku bingung cara kembaliin baju ke Pak Gerald," sahut Dinara. Wanita itu menghela napas panjang, lantas bertanya, "apa aku salah, Nad? Meskipun hanya pura-pura, tapi sama saja aku mengkhianati pernikahanku. Meskipun ... Mas Reno nggak setia, sebisa mungkin aku tetap menjaga kesetiaan sampai bisa keluar dari rumah itu." Nada semakin terhenyak mendengarnya. "Nggak setia?! Maksudnya?" "Iya, Nad. Semalam aku lihat Mas Reno video call sama wanita lain, mereka panggil sayang-sayangan. Dan wanita itu tanya kapan Mas Reno menceraikan aku, sudah pasti mereka menjalin hubungan 'kan?" Kedua mata Nada melotot lebar, tanpa sadar wanita itu meremas sendoknya. "Kamu b0d0h banget masih mau bertahan. Reno pelit 'kan selama ini? Kamu saja uang harus cari sendiri, sekarang malah diselingkuhi. Kamu bertahan, tuh, buat apa?!" pekik Dinara dengan suara tertahan. Dinara menunduk, lantas menyahut, "Azka deket banget sama papanya. Kalau sakit saja, selalu manggil-manggil papanya, Nad. Mas Reno memang kasar, tapi kalau di depan Azka dia jadi lembut. Makanya Azka ngganggep papanya tetap baik. Dan juga ... aku nggak punya cukup uang buat mengajukan perceraian, pasti prosesnya juga ribet. Kalau soal ini, aku mengaku kalah, Nad. Aku nggak bisa banyak berbuat, mungkin aku akan menunggu Mas Reno duluan yang menceraikan. Nggak papa meskipun namaku jadi jelek." Nada sontak menggeleng, tidak setuju dengan sahabatnya. "Gimana kalau Reno ambil hak asuh Azka? Terus katanya dia mau bikin fitnah, yang ada kamu akan berakhir mengenaskan. Din ... kamu sudah sangat kuat melawan ketidakadilan selama ini, jadi jangan nyerah gitu aja. Kamu harus tetap berusaha! Seperti kamu memperjuangkan kebahagiaan Azka, kamu juga harus memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri," tutur Nada. Dinara tidak bergeming, tetapi otaknya membenarkan ucapan Nada. Sia-sia ia membangun benteng kokoh, kalau akhirnya mengalah juga. "Lalu, apa yang pertama kali harus aku lakukan? Aku belum bisa mikir, Nad. Masih sakit hati banget sama Mas Reno." Nada tersenyum miring, tangannya menggenggam lembut tangan Dinara. "Target awal kita adalah Reno dan selingkuhannya, Din. Kita balas mereka!" ucapnya dengan tatapan penuh keyakinan.Dinara tiba di rumah dan langsung memasak, wanita itu tidak terlalu fokus saat memasukkan bumbu karena masih memikirkan ucapan Nada tadi. "Bagaimana cara mengumpulkan bukti perselingkuhan? Ponselnya Mas Reno dikunci, aku nggak bisa buka sesukanya," batin Dinara.Terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak sadar ikannya gosong. Baunya menyeruak ke seluruh dapur hingga rumah, membuat Yuyun yang tengah bersantai di depan televisi beranjak ke dapur."Ya ampun, Dinara ... kamu ini mau masak atau bakar dapur?!" Dinara gelagapan mendengar teriakan mertuanya, tangannya segera mematikan kompor dan mengangkat dua ekor ikan yang tampak mengenaskan. "Sudah tahu harga gas naik, malah dibuang-buang! Minyaknya juga gosong, nggak enak kalau buat masak lagi. Kamu ini bisanya cuma boros, belum gajian sudah menghabiskan bahan dapur. Pasti besok akan minta uang anakku buat beli bahan-bahan yang kamu buang ini!" ketus wanita paruh baya itu.Yuyun mengambil sendok dan mencicipi tumis kangkung yang terliha
Gerald datang ke kantor pagi-pagi sekali, sengaja karena ingin menunggu Dinara. Pria itu berencana meluapkan kekesalannya, kepalanya masih berdenyut memikirkan desakan orang tuanya yang semakin hari semakin tidak masuk akal."Nah, itu dia!" pekiknya saat melihat Dinara keluar dari lift karyawan.Kedua tangannya penuh dengan alat pel, kain lap tersampir di pundaknya.Namun, bukannya ilfeel, Gerald malah semakin kagum dengan Dinara. Apalagi saat Dinara menguncir rambutnya ke belakang, leher jenjang nan putih itu membuat mata Gerald tidak bisa berkedip."Kamu terlambat, harus menerima hukuman," celetuknya yang jelas saja membuat Dinara kaget.Dinara melihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sedangkan jam kerjanya dimulai jam tujuh. Bagaimana bisa dikatakan terlambat? Padahal absennya saja lebih pagi dari jam masuk."Maaf, Pak. Setahu saya, saya mulai bekerja jam tujuh. Dan sekarang masih jam tujuh kurang, saya juga sudah absen di bawah. Jadi, saya tidak bisa
"Kenapa lama sekali angkat teleponnya?" sentak Gerald dari seberang telepon."Maaf, Pak. Saya baru sampai rumah. Ada apa, ya, Pak?" tanya Dinara."Aku butuh seseorang yang bisa ku ajak ke pesta bisnis nanti malam, aku akan membawa banyak kado untuk kolega-kolegaku. Tidak mungkin aku membawanya sendiri, jadi ... aku berpikir kau bisa membawanya," jelas Gerald.Wanita itu mengerutkan kening. "Maksudnya bagaimana, ya, Pak?""Kau bertanya maksudku? Kenapa kau tidak bisa langsung paham?!"Dinara menjauhkan ponselnya saat gendang telinganya berdengung. Gerald benar-benar tidak berprikemanusiaan, berbicara langsung atau dari telepon tetap saja suka membentak-bentak."Maaf, Pak. Saya memang tidak paham maksud Bapak," jawabnya.Terdengar helaan napas kasar. "Kau ini memancing kekesalan saja bisanya. Maksudnya aku memintamu untuk ikut ke pesta bisnis, tugasmu nanti membawakan kado-kado untuk para kolega.""Hah ... s-saya ikut ke pesta bisnis, Pak?" "Dasar bodoh! Jangan memintaku untuk mengulan
"Papa ...," panggil Azka yang baru pulang bermain, anak kecil itu memegang bola, tatapan matanya bingung melihat ketiga orang dewasa yang tengah berseteru. "Suara Papa terdengar dari luar, apa Papa sedang marah?""Sayang." Reno langsung menurunkan tangan dan berbalik badan, pria itu menghampiri putranya lalu menggendong tubuh mungil itu. "Tidak, Nak. Mungkin kamu hanya salah dengar."Yuyun ikut khawatir kalau cucunya mendengar suara yang tidak-tidak. Bibirnya mencebik, menganggap Dinara adalah penyebab dari kesalahpahaman sang cucu."Gara-gara kamu cucuku jadi salah paham. Awas aja kalau sampai Azka tanya macam-macam! Dan ... kali ini kamu memang aman, tapi lihat saja suatu saat nanti kalau kamu masih berani mencari gara-gara kepada Bella," bisiknya tepat di telinga Dinara.Yuyun menghampiri cucunya yang ada di gendongan Reno, ia mengajak Azka mandi dan anak laki-laki itu langsung mengangguk.Meninggalkan Reno dan Dinara di depan kamar mereka. "Untung saja ada putraku, Din. Jadi aku
Setelah sampai di Kediaman Nada, Dinara langsung mendudukkan dirinya di ruang tamu. Nada tinggal sendirian, wanita itu sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. "Yang kamu katakan di pesan chat tadi beneran?!" tanya Nada yang baru saja keluar dari kamar. Kedua bola matanya membelalak, terkejut saat sahabatnya mengirim pesan dan mengatakan bahwa mereka akan diajak ke pesta bisnis oleh Gerald.Dinara mengangguk. "Memang beneran, kok. Katanya kita disuruh bawa kado yang akan diberikan untuk kolega-koleganya Pak Gerald. Kayaknya ada banyak kado, deh. Soalnya kalau hanya sedikit nggak mungkin beliau mengajak kita, beliau cukup dengan asisten pribadinya saja.""Iya juga, sih," sahut Nada. "Tapi aku nggak punya baju bagus, nanti malu-maluin nggak, ya?""Ayo aku bantu siap-siap di kamar. Tiga puluh menit lagi mungkin Pak Gerald sudah sampai, jangan sampai kita belum siap. Nanti kena marah," kata Dinara.Nada mengangguk dan lantas bangkit dari duduk, kedua wanita itu beran
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, pesta baru berakhir. Mobil mewah itu membawa Dinara dan Nada pulang, tidak lupa Gerald memberikan bonus besar untuk dua wanita itu."Nad, kita kemalaman banget. Ini sudah jam setengah satu. Maaf, ya," ucap Dinara."Kenapa harus minta maaf? Malah aku berterimakasih karena kamu ajak, aku dapat banyak bonus dari Pak Gerald," sahut Nada.Dinara memeluk erat sahabatnya, mengucapkan banyak terima kasih telah menemani malam ini."Kamu tidur sini saja, Din.""Kasihan Azka kalau aku nginep sini, nanti dia nyariin. Azka suka kebangun malam-malam, nanti Mas Reno marah kalau anaknya nyariin aku tapi aku nggak ada," jelas Dinara. "Yakin?" Nada menatap khawatir, jalanan sepi dan takut Dinara kenapa-napa.Namun, Dinara terus meyakinkan Nada hingga akhirnya sahabatnya itu mengizinkannya pulang. Dinara menitipkan gaun mahal pemberian Gerald di rumah Nada, khawatir Reno melihatnya nanti.Beruntung Dinara punya satu kunci cadangan, jadi dia bisa langsung masuk r
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak ajakan ke pesta bisnis itu, Dinara mengerjakan pekerjaan dengan baik meskipun seluruh badannya pegal linu.Pagi ini, tiba-tiba Yuyun berteriak-teriak memanggil namanya, memintanya untuk datang ke kamar wanita paruh baya itu."Ada apa, Ma?" tanya Dinara yang datang tergopoh-gopoh."Lama banget, sih?!" sentak Yuyun. "Badan Mama nggak enak, kayaknya masuk angin. Kamu kerokin dulu, ya."Dinara melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Wanita itu mengangguk, lantas mendekat ke ranjang dan mulai melakukan permintaan mertuanya."Agak kenceng, Din. Biar kerasa"."Iya, Ma." Dinara juga mengoleskan minyak urut, hingga Yuyun beberapa kali bersendawa."Merah, Din?" tanya Yuyun sambil menengok sedikit ke belakang."Iya, Ma. Beneran masuk angin ini."Wanita paruh baya itu mendengus kasar. "Ya beneran, lah. Masa Mama sakit bohongan, ini gara-gara kecapekan ngurus Azka."Dinara tidak menyahut, ia memilih cepat-cepat menyelesaikan agar bisa seg
"Nad, kamu mau makan apa? Aku mau beli makan di cafe depan," kata Dinara saat baru saja keluar dari ruangan Gerald. "Makan? Aku nggak lapar, tadi sudah sarapan. Kamu beli saja sendiri," jawab wanita berambut sebahu itu. "Aku belikan minum sama cemilan, ya. Tadi Pak Gerald kasih seratus ribu, katanya suruh beli sarapan," bisik Dinara, ujung netranya melirik ke pintu ruangan CEO. "Tapi jangan bilang-bilang kalau aku bagi uangnya sama kamu." Nada mengangguk paham, wanita itu menunjukkan jempol kepada sahabatnya. "Tapi tumben Pak Gerald kasih uang. Ada apa?" tanya Nada, dengan suara lirih. "Beliau tadi tanya aku sudah sarapan apa belum, dan aku jawab belum. Akhirnya kasih uang buat beli makanan, katanya takut aku kemas dan perusahaan harus mengeluarkan biaya mahal buat bayar dokter kalau aku kenapa-napa," jelas Dinara. Nada menatap penuh selidik, seakan tidak percaya kalau hanya itu alasan atasannya memperhatikan Dinara. "Ya ... aku bersyukur, Nad. Pak Gerald sudah nggak ter
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah