Share

Ketidakberdayaan

Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.

Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara.

"Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu.

"Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut.

"Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald.

"Bak, Pak. Saya akan melakukannya."

Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati."

"Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.

Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya, kemudian menjelaskan niatnya untuk mengangkat Dinara sebagai staf pemasaran.

"Awasi kinerja Dinara selama satu bulan ke depan, Bu. Kalau dia besar kepala, maka aku tidak jadi memindahkan tugas. Tapi, kalau dia tetap bersikap baik, bulan depan dia akan dipindahkan tugas," jelasnya.

"Baik, Pak. Saya akan melaporkan perkembangannya kepada Anda."

Gerald mengangguk. "Bagus. Setelah ini panggil Dinara untuk ke ruang HRD, dia harus interview."

"Baik, Pak."

Pria itu segera keluar dan berjalan menuju ruangannya, ia berpura-pura tidak melihat Dinara saat melewati wanita itu.

Membuat Dinara semakin yakin kalau Gerald membencinya, sekarang ia hanya bisa pasrah kalau memang dipecat.

"Dinara, ikut saya ke ruang HRD."

Dinara tersentak dari lamunannya, tubuhnya bergetar mendapati Bu Lina menatapnya dengan raut datar.

Apa hari ini akan menjadi hari terakhirnya bekerja? Apakah ia disuruh mengambil surat pemecatan di ruang HRD?

"Ayo, Din," ajak Bu Lina saat melihat Dinara yang masih diam sejak tadi.

"B-baik, Bu."

Dinara melangkah gontai dengan kepala tertunduk, sehingga tidak tahu kalau Gerald mengintip dari jendela.

"Aslinya takut juga, tapi sok jual mahal saat di depanku." Sudut bibirnya menyeringai, menatap remeh punggung Dinara yang semakin menjauh. "Aku tidak akan melepaskanmu, Dinara!"

"Masuklah, Din. Pak Bayu sudah menunggu di dalam," kata Bu Lina.

"Baik, Bu."

Dinara menarik napas dalam, tangannya membuka pintu dengan keringat dingin yang mulai bercucuran di pelipis.

Bayangan wajah Azka langsung memenuhi kepalanya, ia takut gagal membahagiakan putranya.

"Duduklah, Dinara," ucap Bayu.

Pria paruh baya itu langsung mengajukkan beberapa pertanyaan, Dinara juga diminta mengisi data diri dan mengerjakan soal.

Awalnya wanita itu bingung, apalagi tes ini mirip seperti saat ia melamar jadi staf pemasaran dulu. Dinara merasa dejavu, tetapi saat Pak Bayu mengatakan ini hanya tes biasa, ia pun bisa sedikit tenang.

Mungkin, kalau ia bisa mengerjakan tes ini, ia tidak jadi dipecat. Begitu pikir Dinara. Sehingga ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.

"Sudah selesai, Pak," ucap Dinara setelah berkutat selama satu jam dengan soal-soal itu.

"Baiklah, kamu bisa keluar sekarang dan kembali bekerja. Terima kasih," sahut Bayu.

"Terima kasih, Pak."

Dinara keluar ruangan setelah mengangguk hormat, wanita itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas siang.

"Sudah jam istirahat, tapi aku belum selesai mengepel lantai atas. Bagaimana, ya?" gumamnya bingung.

Gerald tidak suka saat sedang makan, ada orang yang mondar-mandir di lorong. Akhirnya Dinara memilih menghampiri Nada, mengajak sahabatnya itu untuk makan siang bersama.

"Kamu baik-baik saja 'kan, Din? Aku khawatir saat kamu dipindahkan ke lantai atas, mana sendirian lagi," ucap Nada.

Keduanya bersama-sama menuju kantin, sepanjang perjalanan Nada menggamit lengan Dinara dengan lembut.

"Aku nggak papa, tapi memang capek banget. Lantai seluas itu ... aku sendirian yang bersihin," keluh Dinara.

Nada mendudukkan sahabatnya ke kursi, ia memesan dua mangkok soto dan dua gelas es jeruk.

"Makan dulu, Din. Biar nggak lemes kalau mau cerita." Nada menyeruput kuah soto, kemudian kembali bertanya, "tadi diajak Pak Gerald ke mana?"

Dinara tidak jadi menyuapkan soto ke dalam mulut, ia menaruh lagi sendoknya, netranya berembun menatap Nada.

Mau sekuat apapun, nyatanya Dinara tetap lemah. Hatinya sudah menangis sejak tadi, hanya saja masih ditahan. Ia ingin terlihat tegar, meskipun batinnya tersiksa.

Dinara menceritakan semuanya dari keberangkatannya bersama Gerald, hingga ia diturunkan di tepi jalan. Semuanya ia jelaskan dengan runtut, tanpa ada yang ditambah atau kurangi.

"Jadi kamu tadi tadi naik taksi?" tanya Nada, ia juga tidak sanggup melihat sahabatnya yang sudah menitikkan air mata.

"Iya, Nad. Tadi aku mampir rest area buat ganti baju, terus cari taksi. Sekarang aku bingung cara kembaliin baju ke Pak Gerald," sahut Dinara.

Wanita itu menghela napas panjang, lantas bertanya, "apa aku salah, Nad? Meskipun hanya pura-pura, tapi sama saja aku mengkhianati pernikahanku. Meskipun ... Mas Reno nggak setia, sebisa mungkin aku tetap menjaga kesetiaan sampai bisa keluar dari rumah itu."

Nada semakin terhenyak mendengarnya. "Nggak setia?! Maksudnya?"

"Iya, Nad. Semalam aku lihat Mas Reno video call sama wanita lain, mereka panggil sayang-sayangan. Dan wanita itu tanya kapan Mas Reno menceraikan aku, sudah pasti mereka menjalin hubungan 'kan?"

Kedua mata Nada melotot lebar, tanpa sadar wanita itu meremas sendoknya.

"Kamu b0d0h banget masih mau bertahan. Reno pelit 'kan selama ini? Kamu saja uang harus cari sendiri, sekarang malah diselingkuhi. Kamu bertahan, tuh, buat apa?!" pekik Dinara dengan suara tertahan.

Dinara menunduk, lantas menyahut, "Azka deket banget sama papanya. Kalau sakit saja, selalu manggil-manggil papanya, Nad. Mas Reno memang kasar, tapi kalau di depan Azka dia jadi lembut. Makanya Azka ngganggep papanya tetap baik. Dan juga ... aku nggak punya cukup uang buat mengajukan perceraian, pasti prosesnya juga ribet. Kalau soal ini, aku mengaku kalah, Nad. Aku nggak bisa banyak berbuat, mungkin aku akan menunggu Mas Reno duluan yang menceraikan. Nggak papa meskipun namaku jadi jelek."

Nada sontak menggeleng, tidak setuju dengan sahabatnya.

"Gimana kalau Reno ambil hak asuh Azka? Terus katanya dia mau bikin fitnah, yang ada kamu akan berakhir mengenaskan. Din ... kamu sudah sangat kuat melawan ketidakadilan selama ini, jadi jangan nyerah gitu aja. Kamu harus tetap berusaha! Seperti kamu memperjuangkan kebahagiaan Azka, kamu juga harus memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri," tutur Nada.

Dinara tidak bergeming, tetapi otaknya membenarkan ucapan Nada. Sia-sia ia membangun benteng kokoh, kalau akhirnya mengalah juga.

"Lalu, apa yang pertama kali harus aku lakukan? Aku belum bisa mikir, Nad. Masih sakit hati banget sama Mas Reno."

Nada tersenyum miring, tangannya menggenggam lembut tangan Dinara.

"Target awal kita adalah Reno dan selingkuhannya, Din. Kita balas mereka!" ucapnya dengan tatapan penuh keyakinan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status