"Aku dipaksa nikah sama papa dan mama, demi dapetin warisannya kakek. Mau menikah sama siapa?! Calon saja nggak punya, sedangkan aku hanya dikasih waktu satu minggu," ucap Gerald, kepada sahabatnya yang ada di seberang telepon.
Pria itu berdiri di balkon sambil tangannya memegang segelas wine, kepalanya mendadak pusing memikirkan desakan orang tuanya. "Ashley?" tanya Jacob, pria yang sudah menemani Gerald sejak kecil. "Dia belum siap menikah. Lagipula ... bagaimana aku bisa mencari wanita lain kalau masih mencintai Ashley? Aku tidak yakin bisa menyukai wanita lain, hanya Ashley yang aku pikirkan setiap hari." Gerald meracau setelah menghabiskan satu botol wine, membuat Jacob hanya bisa menghela napas kasar. "Carilah wanita lain, Gerald. Masalah perasaan bisa dipaksa, apalagi sekarang sudah nggak asing sama pernikahan kontrak. Yang penting kamu bisa klaim warisannya, urusan pernikahanmu biar dipikirkan sambil jalan," saran Jacob. "Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi keluargaku sangat membenci perceraian, aku tidak mungkin menceraikan istriku nanti. Padahal kau tahu sendiri kalau aku masih mengharapkan Ashley." Gerald menenggak habis wine, kemudian melemparkan gelasnya ke lantai. "Tapi aku akan ikuti saranmu, siapa tahu perasaanku bisa sedikit melupakan Ashley. Yeah ... aku sepetinya memang butuh pelampiasan biar nggak kebayang-bayang terus," sambung Gerald. "Hubungi aku kalau kau membutuhkan sesuatu, Gerald." Pria itu tidak menyahut, ia langsung mematikan ponsel dan berjalan sempoyongan ke ranjang. Netranya perlahan-lahan tertutup, memaksa tidur meskipun kepalanya pusing sekali. • Keesokan harinya. Pagi ini Dinara menunggu Gerald dengan perasaan cemas, ia takut dan terus berpikir bagaimana caranya menyerahkan kemeja atasannya itu. "Apa aku titipkan saja, ya? Kalau menyerahkan langsung, aku malu dan nggak enak dilihatin yang lain," gumamnya. Hingga sebuah mobil mahal berhenti di depan lobi, seorang pria tampan keluar setelah bodyguard membukakan pintu. "Ya Tuhan!" pekik Dinara. Wanita itu segera menunduk saat Gerald berjalan menuju lobi, degup jantungnya berdetak kencang memikirkan reaksi Gerald nantinya. Jangan sampai atasannya itu marah, atau ia akan dipecat. "Kau yang membuat bajuku kemarin kotor 'kan?" tanya Gerald, berhenti tepat di hadapan Dinara. "B-benar, Pak. Saya sudah mencucinya. I-ini ..." Dinara menyerahkan sebuah paper bag yang langsung diambil oleh Gerald. Pria itu tersenyum puas melihat bajunya bersih dan rapi, tetapi sedetik kemudian ia langsung membuang senyumnya. "Hukumanmu belum selesai. Sekarang, kau ikut denganku naik ke lantai atas!" titahnya yang sontak membuat Dinara gelagapan. Dinara bingung, ia mau dihukum apa lagi? Namun, ia langsung menurut dan masuk ke dalam lift yang sama. Saat ini Dinara bisa mendengar degup jantungnya sendiri, gugup tidak karuan dan rasa takut menjadi satu. Hingga akhirnya pintu lift terbuka, Gerald menuju ruangannya dan langsung mendudukkan diri di kursi kerja. "Aku puas saat kau membersihkan kemejaku, tapi tidak berarti aku memaafkanmu. Mulai hari ini, kau menjadi office girl yang khusus melayaniku. Tempatmu ada di lantai ini, dan tugasmu juga untuk membersikan seluruh ruangan yang ada di lantai ini," jelas Gerald. Tubuh wanita itu tersentak, ia merasa hukumannya terlalu berat. Bukankah ia juga sudah mendapat SP-1? "Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, izinkan saya mengajukan sanggahan." "Tidak ada sanggahan. Pilihannya hanya dua. Kau menurut, atau keluar dari kantor ini," sahut pria itu dengan cepat. Wajah Dinara memerah. Ia masih ingin protes, tetapi kalau sampai dipecat, pasti suaminya bertambah menghinanya. Ia juga akan semakin lama untuk memboyong Azka pergi dari rumah mertuanya. "Bagaimana?" tanya Gerald yang membuat Dinara mengangguk singkat. Entah kenapa Gerald benci sekali melihat Dinara, wanita pembangkang itu sudah membuat gara-gara di pertemuan pertama mereka. Jadi, ia ingin memberikan hukuman agar kapok dan dengan sendirinya Dinara keluar dari kantor. "Ya sudah, ngapain masih di sini? Cepat kamu buatkan kopi dan siapkan camilan, lalu bersih-bersih seperti biasa. Nanti aku yang ngomong ke kepala office girl kalau kamu dipindahkan tempat!" ketus Gerald. "Baik, Pak. Saya mohon permisi." Dinara mengangguk hormat, sementara Gerald hanya menyapukan tangan ke udara sebagai isyarat untuk Dinara segera keluar dari ruangannya. Gerald mulai menyalakan laptop dan mengecek beberapa dokumen yang masuk ke surelnya, tidak lama kemudian terdengar suara ketika pintu. Ternyata Dinara yang datang membawakan secangkir kopi dan sepiring buah potong, wanita itu menaruh di meja kerja Gerald. "Terima kasih," ucap Gerald sambil sedikit melirik ke arah Dinara. Pria itu mempertajam pandangannya saat mendapati Dinara yang terlihat cantik dengan rambut dikuncir kuda, kulit putih bersih serta alis tebal yang dimiliki Dinara membuatnya tidak bisa melepaskan pandangan. "Kenapa aku baru sadar kalau bibirnya mungil sekali, dia terlihat manis. Tapi dia hanya office girl, jelas nggak setara denganku," batin Gerald. Pria itu mengambil ponsel dan diam-diam mengambil potret Dinara yang masih membereskan botol bekas minuman di meja meeting. Setelah Dinara keluar, ia segera mengirimkan foto itu ke nomor Jacob, meminta masukan apakah Dinara pas dijadikan wanita sementara untuk mencapai tujuannya. [Dia cantik. Tinggal dipoles sedikit sepertinya nggak akan kelihatan kalau seorang office girl. Papamu juga nggak akan tahu, mustahil beliau hafal sama seluruh pegawainya. Dan, pasti wanita itu butuh uang banyak untuk hidup. Tinggal kau iming-imingi sejumlah uang, pasti dia mau pura-pura jadi pasanganmu.] tulis Jacob dalam balasan pesannya. Gerald terkekeh pelan, sekali lagi ia memperhatikan foto Dinara dan perlu diakui kalau wanita itu memang cantik. Postur tubuhnya tinggi semampai, rambut hitam legam semakin membuat Gerald yakin bahwa orang tuanya tidak akan curiga siapa Dinara sebenarnya. "Tidak apa-apa, lah. Ini hanya untuk sementara, toh aku akan memberikannya sejumlah uang. Dia pasti mau, wanita mana yang tidak suka uang?" gumamnya. "Sambil menunggu Ashley pulang dari luar negeri, aku perlu pelampiasan biar nggak jenuh. Meksipun Dinara hanya seorang office girl, tapi kecantikannya setara dengan mantan-mantanku." Gerald tergelak hebat, membayangkan warisan sang kakek akan segera jatuh padanya. Ia memanggil Dinara untuk datang ke ruangannya melalui monitor, wanita itu segera masuk sambil menentang kain lap. "Basok kau akan ikut denganku, ada beberapa urusan pekerjaan yang tidak bisa aku handle sendiri. Asisten pribadiku lagi cuti panjang, jadi kau cocok untuk membawakan barang-barangku," ucap Gerald yang jelas saja membuat Dinara kaget. "Kenapa saya, Pak? Maaf, tapi saya masih baru dan belum terlalu paham." Wanita itu masih menunduk, sambil berpikir keras apa maksud atasannya tersebut. "Apa aku perlu pendapatmu? Terserah, dong, mau mengajak siapa. Lagipula ... kau hanya ku jadikan sebagai pembawa barang-barangku, bukan aku ajak ikut karena kau spesial. Jangan mimpi, karena hanya tampangmu saja yang sedikit pantas untuk menjadi pelayanku."Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari."Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi."Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak.""Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara.Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk.Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah.Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang."Enak banget!" pekik Azka.Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang mel
"Tumben pagi-pagi sudah matang?" tanya Reno yang baru saja masuk dapur, semua makanan sudah tertata di meja."Aku ada kerjaan, diajak Bosku nanti. Sama temen-temenku juga."Pria itu mengernyit heran. "Office girl diajak Bos? Kamu nggak menggoda biar diajak 'kan?"Dinara menghentikan gerakan tangan yang tengah memasukkan makan siang ke kotak bekal, kilatan matanya menatap nyalang ke depan."Aku bukan wanita seperti itu.""Ya, bisa saja 'kan? Jaman sekarang banyak wanita nggak tahu malu, menggoda atasan untuk mendapatkan jabatan," ujar Reno."Ngomong apa, sih, Mas? Nggak bisa, ya, sehari saja nggak nuduh-nuduh aku? Oh, iya ... bukannya yang suka menuduh itu malah yang melakukan, ya?" sindir Dinara."Apa maksudmu?!" ketus pria itu dengan mata melotot."Kamu menuduhku, berarti kamu punya pengalaman dengan itu. Atau jangan-jangan ... kamu juga digoda stafmu dan uangmu diporoti, ya? Makanya jatah bulananku sering tidak diberikan!" netra cantik itu melirik ke arah Reno, Dinara tidak peduli m
Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara."Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu."Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut."Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald."Bak, Pak. Saya akan melakukannya."Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati.""Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya,
Dinara tiba di rumah dan langsung memasak, wanita itu tidak terlalu fokus saat memasukkan bumbu karena masih memikirkan ucapan Nada tadi. "Bagaimana cara mengumpulkan bukti perselingkuhan? Ponselnya Mas Reno dikunci, aku nggak bisa buka sesukanya," batin Dinara.Terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak sadar ikannya gosong. Baunya menyeruak ke seluruh dapur hingga rumah, membuat Yuyun yang tengah bersantai di depan televisi beranjak ke dapur."Ya ampun, Dinara ... kamu ini mau masak atau bakar dapur?!" Dinara gelagapan mendengar teriakan mertuanya, tangannya segera mematikan kompor dan mengangkat dua ekor ikan yang tampak mengenaskan. "Sudah tahu harga gas naik, malah dibuang-buang! Minyaknya juga gosong, nggak enak kalau buat masak lagi. Kamu ini bisanya cuma boros, belum gajian sudah menghabiskan bahan dapur. Pasti besok akan minta uang anakku buat beli bahan-bahan yang kamu buang ini!" ketus wanita paruh baya itu.Yuyun mengambil sendok dan mencicipi tumis kangkung yang terliha
Gerald datang ke kantor pagi-pagi sekali, sengaja karena ingin menunggu Dinara. Pria itu berencana meluapkan kekesalannya, kepalanya masih berdenyut memikirkan desakan orang tuanya yang semakin hari semakin tidak masuk akal."Nah, itu dia!" pekiknya saat melihat Dinara keluar dari lift karyawan.Kedua tangannya penuh dengan alat pel, kain lap tersampir di pundaknya.Namun, bukannya ilfeel, Gerald malah semakin kagum dengan Dinara. Apalagi saat Dinara menguncir rambutnya ke belakang, leher jenjang nan putih itu membuat mata Gerald tidak bisa berkedip."Kamu terlambat, harus menerima hukuman," celetuknya yang jelas saja membuat Dinara kaget.Dinara melihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sedangkan jam kerjanya dimulai jam tujuh. Bagaimana bisa dikatakan terlambat? Padahal absennya saja lebih pagi dari jam masuk."Maaf, Pak. Setahu saya, saya mulai bekerja jam tujuh. Dan sekarang masih jam tujuh kurang, saya juga sudah absen di bawah. Jadi, saya tidak bisa
"Kenapa lama sekali angkat teleponnya?" sentak Gerald dari seberang telepon."Maaf, Pak. Saya baru sampai rumah. Ada apa, ya, Pak?" tanya Dinara."Aku butuh seseorang yang bisa ku ajak ke pesta bisnis nanti malam, aku akan membawa banyak kado untuk kolega-kolegaku. Tidak mungkin aku membawanya sendiri, jadi ... aku berpikir kau bisa membawanya," jelas Gerald.Wanita itu mengerutkan kening. "Maksudnya bagaimana, ya, Pak?""Kau bertanya maksudku? Kenapa kau tidak bisa langsung paham?!"Dinara menjauhkan ponselnya saat gendang telinganya berdengung. Gerald benar-benar tidak berprikemanusiaan, berbicara langsung atau dari telepon tetap saja suka membentak-bentak."Maaf, Pak. Saya memang tidak paham maksud Bapak," jawabnya.Terdengar helaan napas kasar. "Kau ini memancing kekesalan saja bisanya. Maksudnya aku memintamu untuk ikut ke pesta bisnis, tugasmu nanti membawakan kado-kado untuk para kolega.""Hah ... s-saya ikut ke pesta bisnis, Pak?" "Dasar bodoh! Jangan memintaku untuk mengulan
"Papa ...," panggil Azka yang baru pulang bermain, anak kecil itu memegang bola, tatapan matanya bingung melihat ketiga orang dewasa yang tengah berseteru. "Suara Papa terdengar dari luar, apa Papa sedang marah?""Sayang." Reno langsung menurunkan tangan dan berbalik badan, pria itu menghampiri putranya lalu menggendong tubuh mungil itu. "Tidak, Nak. Mungkin kamu hanya salah dengar."Yuyun ikut khawatir kalau cucunya mendengar suara yang tidak-tidak. Bibirnya mencebik, menganggap Dinara adalah penyebab dari kesalahpahaman sang cucu."Gara-gara kamu cucuku jadi salah paham. Awas aja kalau sampai Azka tanya macam-macam! Dan ... kali ini kamu memang aman, tapi lihat saja suatu saat nanti kalau kamu masih berani mencari gara-gara kepada Bella," bisiknya tepat di telinga Dinara.Yuyun menghampiri cucunya yang ada di gendongan Reno, ia mengajak Azka mandi dan anak laki-laki itu langsung mengangguk.Meninggalkan Reno dan Dinara di depan kamar mereka. "Untung saja ada putraku, Din. Jadi aku
Setelah sampai di Kediaman Nada, Dinara langsung mendudukkan dirinya di ruang tamu. Nada tinggal sendirian, wanita itu sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. "Yang kamu katakan di pesan chat tadi beneran?!" tanya Nada yang baru saja keluar dari kamar. Kedua bola matanya membelalak, terkejut saat sahabatnya mengirim pesan dan mengatakan bahwa mereka akan diajak ke pesta bisnis oleh Gerald.Dinara mengangguk. "Memang beneran, kok. Katanya kita disuruh bawa kado yang akan diberikan untuk kolega-koleganya Pak Gerald. Kayaknya ada banyak kado, deh. Soalnya kalau hanya sedikit nggak mungkin beliau mengajak kita, beliau cukup dengan asisten pribadinya saja.""Iya juga, sih," sahut Nada. "Tapi aku nggak punya baju bagus, nanti malu-maluin nggak, ya?""Ayo aku bantu siap-siap di kamar. Tiga puluh menit lagi mungkin Pak Gerald sudah sampai, jangan sampai kita belum siap. Nanti kena marah," kata Dinara.Nada mengangguk dan lantas bangkit dari duduk, kedua wanita itu beran
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah