Share

Pertemuan Pertama

"Sudah matang semua, Din? Tumben jam enam sudah siap semua?" tanya Yuyun yang baru saja keluar kamar.

"Mulai hari aku kerja, Bu. Nanti pulangnya jam lima sore."

Sebuah senyum terukir lebar di bibir keriput itu, kedua matanya mendelik sempurna.

"Nah ... gitu, dong. Sebagai perempuan harus kerja, jangan berpangku tangan kepada laki-laki. Ibu bangga kalau kamu kerja, nanti jangan lupa kasih ibu uang bulanan, ya."

Helaan napas kasar terdengar dari mulut Dinara, belum juga gajian sudah ditodong uang bulanan. Padahal Yuyun selalu mendapat jatah dari Reno.

Dinara melenggang pergi menuju kamarnya, ia melihat Azka yang sudah berpakaian rapi. Putranya selalu rajin, di usia tujuh tahun sudah bisa mengurus keperluannya sendiri.

"Nanti mama pulang sore, ya, Sayang," ucap Dinara.

"Iya, Ma."

Wanita itu mengangguk. "Sekarang kamu sarapan saja, nanti mama antar sekalian mama berangkat kerja."

Azka bergegas menuju dapur, sementara ia langsung memakai seragamnya dan berdandan tipis.

Dinara tidak peduli Reno yang belum siap, padahal pria itu juga harus berangkat jam tujuh.

Tidak lama kemudian Azka sudah selesai sarapan, wanita itu langsung mengendarai motornya menuju sekolah dan kemudian ke perusahaan tempatnya bekerja.

"Semangat banget," ucap Nada yang berdiri di parkiran.

Dinara langsung menghampiri sahabatnya itu setelah memarkirkan motornya. "Aku nggak terlambat 'kan?"

"Nggak, Din. Masih ada waktu lima belas menit," jawab Nada yang membuat wanita berambut panjang itu menghela napas lega.

"Syukurlah ... aku takut kalau telat, soalnya tadi harus antar Azka dulu dan jalanan macet."

Nada menggeleng. "Oh, iya, nanti ada meeting penting antara Pak Dirut dan para koleganya. Kalau ada meeting begini kita bakal sibuk, Din."

"Nggak papa, aku sudah siap. Semoga kerjaan ku hari ini nggak mengecewakan," sahut Dinara sambil menepuk pelan punggung sahabatnya.

Dua wanita itu terkekeh dan berjalan beriringan menuju ruangan office girl untuk mengambil alat kerja. Seharian ini Nada menemani Dinara sekalian mengajarkan cara para office girl bekerja.

Hingga tanpa terasa jam menunjukkan waktu makan siang. Segerombolan pria dalam balutan jas formal berjalan memasuki lobi kantor, aroma parfum menguar yang membuat Dinata langsung menunduk.

Seluruh staf berbaris rapi menyambut atasan mereka, tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua menunduk hormat, Dinara merasa kerdil sekali di sini.

"Itu Pak Pak Renaldy, pemilik perusahaan ini," bisik Nada sambil netranya menatap sesosok pria dewasa yang berjalan di depannya.

Dinara mangut-mangut, sejurus kemudian ia merasakan tangannya dicolek. Ternyata Bu Lina yang meminta Dinara dan Nada untuk mengikutinya.

"Kalian antar makanan ini ke ruang meeting, ya. Teman-teman yang lain sudah mengantar camilan tadi," kata Bu Lina saat mereka sudah tiba di pantry.

Dinara dan Nada kompak mengangguk. Sesekali Dinara melirik Nada dengan tatapan gugup, ini adalah kali pertamanya berhadapan dengan orang penting.

"Jangan gugup, kita pasti bisa. Di sana ada senior yang lain, kok, Din," bisik Nada yang langsung diangguki oleh Dinara.

Keduanya berjalan dengan perasaan berdebar, tetapi sebisa mungkin memasang wajah ramah dan senyum mengembang. Teman-teman mereka sudah menyusun meja dan kursi dengan rapi, ruangan juga sudah disemprot dengan pewangi.

Dinara dan Nada menata makanan di atas meja, setelahnya mereka keluar dan tidak lama kemudian segerombolan petinggi perusahaan masuk.

"Syukurlah," gumam Dinara.

"Nggak semenegangkan itu 'kan?"

"Iya, Nad. Aku terlalu gugup tadi. Lalu sekarang kita turun atau di sini saja?" tanya wanita dengan rambut hitam digelung itu.

"Kita di sini saja dulu, takutnya Pak Renaldy butuh sesuatu," sahut Nada yang mengajak sahabatnya untuk menuju pojok lorong.

Kedua wanita itu berbincang ringan hingga suara pintu ruangan yang dibuka membuat perhatian mereka teralihkan. Seorang pria tampan dalam balutan jas mahal keluar dengan wajah ditekuk, pandangannya mengedar hingga kedua netranya menatap Dinara dan Nada.

"Buatkan aku kopi," ucapnya dengan suara dingin.

Dinara mengangguk gugup dan langsung berlari ke dapur, tidak lama kemudian ia sudah siap dengan secangkir kopi dan membawanya naik ke lantai paling atas.

Tampak pria itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sementara Nada sibuk menata troli yang akan dibawa turun.

"Ini, Pak, kopinya," ucap Dinara dengan suara lirih dan kepala menunduk.

"Kenapa lama sekali? Kau sudah bosan bekerja di perusahaan ini?!"

Tubuh mungil itu menegang mendengar bentakan pria di hadapannya, ia merasa oksigen di sekitarnya menyempit.

"Kau tidak tahu siapa aku, hah?!"

Hening! Dinara tidak menyahut. Ia juga bingung, kenapa pria itu marah-marah, padahal hanya lima menit dirinya membuat kopi.

"Dengarkan baik-baik!" Pria itu sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Dinara. "Seorang Gerald River tidak suka menunggu lama. Sebagai hukumannya, kau akan mendapatkan SP-1".

Wanita itu kesulitan menelan saliva, ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat guna menahan rasa gugup.

'Astaga ..! Di hari pertama kerja saja sudah dapat SP-1,' batinnya memelas dengan mata terpejam.

Tanpa sadar tangannya bergetar hebat, seiring rasa sesak yang terus menekan dadanya. Hingga tanpa sengaja cairan hitam pekat itu tumpah dari cangkir dan mengenai kemeja putih yang dikenakan Gerald.

"Hei ...!"

Dinara terlonjak kaget, tangannya terlepas dan cangkir itu jatuh. Cairan kopi menggenang di lantai hingga mengenai sepatu Gerald, sementara cipratannya mengotori celana coklat mahal itu.

Dinara masih memejamkan mata, ia merasa pekerjaannya berakhir hari ini juga. Ia sudah membuat masalah dengan pemilik perusahaan, pasti dirinya akan dipecat.

"Dasar kurang ajar! Kau ini niat bekerja atau mencari gara-gara denganku, hah?!"

"Ma-maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," bisik Dinara.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu. Tapi kau harus mencuci pakaian dan sepatuku. Jangan sampai salah, meskipun aku yakin orang sepertimu belum pernah menyentuh pakaian mahal. Kalau sampai pakaianku rusak, kau harus menggantinya!"

Dinara mengangguk kaku sambil menjawab, "ba-baik, Pak."

"Dasar menyusahkan! Bisa-bisanya Papa punya staf sepertimu. Sekarang buatkan kopi baru. Paling lama tiga menit sudah harus siap!" sentak Gerald dan langsung kembali masuk ke ruang meeting.

Nada meminta Dinara membuat kopi di lantai atas, ia tidak mau sahabatnya kena masalah lagi.

Secangkir kopi sudah siap, Dinara berdiri di depan ruang meeting dengan wajah pucat, khawatir salah lagi dan Gerald benar-benar memecatnya.

'Ya Tuhan, jaga aku agar kuat dan masih bisa bekerja di sini. Aku ingin menyiapkan yang terbaik untuk masa depan Azka,' batin Dinara.

Pintu terbuka, Gerald mengangsurkan sebuah paper bag dan langsung meraih cangkir yang disodorkan oleh Dinara. Tanpa sepatah katapun pria itu langsung berbalik badan dan menutup pintu dengan kencang.

Dinara mendudukkan dirinya di kursi, meratapi nasib apesnya hari ini.

'Aku nggak mungkin cuci sendiri, nanti malah salah. Ini pakaian mahal, harus dibawa ke laundry khusus. Huh ... uangku tinggal sedikit, dan Azka harus bayar iuran besok. Mana sekarang aku nggak bisa mengharapkan Reno! Ya Tuhan, ada-ada saja,' batinnya sambil mengelap air mata yang tidak sengaja turun.

Tanpa Dinara ketahui, Gerald tengah menatapnya sambil menyeringai puas dari balik jendela.

"Kapok kau! Dasar office girl ceroboh. Untung aku tidak memecatmu karena kau cantik," gumam pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status