**"Carissa!"Rissa mengernyit mendengar suara itu. Ia berlindung dalam pelukan Yasmin sembari memejamkan mata rapat-rapat. Tak sudi sedikitpun menoleh kepada si empunya suara yang saat itu sedang membatu di ambang pintu."Carissa, dengerin aku dulu, Ris. Aku–""Nanti saja, Gar." Yasmin menyela dengan dingin. "Rissa mungkin sedang nggak ingin ketemu kamu sekarang.""Mami!" Pria itu separuh memohon, setengahnya lagi menuntut. "Mami, biarin aku jelasin ini sama Rissa sekarang juga. Ini cuma salah paham, Mam. Ini sama sekali nggak sama kayak yang Rissa lihat. Ini cuma salah–""Gara, Mami bilang nanti saja."Lelaki itu berdecak. Ia berusaha mendekat, namun Yasmin menahan langkahnya. Dan Carissa sama sekali tidak ingin memalingkan wajah dari bahu sang mertua. Membuat Gara kian frustasi. Ini pertama kalinya perempuan itu berlaku seperti ini. Dan jujur saja, agak mengerikan."Ris, please dengerin aku. Please kasih aku kesempatan buat jelasin." Gara masih mengiba. Tidak ingin menyerah begitu
**Walau ternyata, kenyataannya memperjuangkan Carissa tidaklah semudah itu. Mungkin sebab Gara yang tidak pernah memperjuangkan sesuatu, sehingga ketika ia harus melakukannya untuk pertama kali, pria itu hampir tidak sabar."Rissa, mau sampai kapan kamu begitu sama aku?" Gara menegur saat pagi ini, ketika Gara menyusul ke taman samping untuk menemani sang istri sarapan, perempuan itu justru menghindar."Rissa, duduk di sini, dan jangan pergi. Kamu denger aku, nggak?""Nggak, aku nggak denger. Lepasin, aku mau masuk.""Rissa–" Gara menahan kata-kata kasarnya yang sudah berada di ujung lidah dan nyaris menyembur keluar. Ia mendesis, mengendurkan cengkeramannya pada pergelangan tangan sang istri. " Sorry, apa itu sakit? Tangan kamu? Sorry, aku nggak maksud menyakitimu."Carissa mendengus. Ia menarik tangannya dan melangkah meninggalkan sang suami yang masih terpaku di tempat."Rissa, please. Jangan begini sama aku. Aku kangen ...."Benar, Gara tidak bohong. Ia serius, benar-benar merind
**Carissa memandang sosok Savina dari kejauhan. Perempuan itu sedang membantu menata barang-barang perlengkapan bayi yang baru diturunkan dari mobil. Benar, Yasmin membelikan segala yang mungkin Rissa butuhkan pasca melahirkan nanti. Mulai diapers setengah mobil penuh, baju-baju dari brand ternama, sampai sensor digital yang bisa tersambung dengan smartphone untuk memberitahukan jika bayi bangun tidur dan menangis. Entah apa gunanya benda yang terakhir itu.Nah, yang menjadi beban pemikiran Rissa saat itu adalah, bagian sebelah mana yang dinilai Yasmin tidak beres dari Savina?"Mbak Savina kelihatannya baik-baik aja, sih. Apa Mami yang berlebihan?" Mendesah lelah, Rissa masih mencoba menerka-nerka. Memang gelagat Savina selama di rumah besar itu agak canggung, namun selebihnya, ia tidak tampak aneh. Ataukah Rissa saja yang kurang memperhatikan?"Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini dia memang jarang menemui aku. Mungkin hanya karena di sini sudah banyak yang bantu, jadi tugas dia jadi
**Savina menjauhkan ponsel dari telinganya untuk ke sekian kali. Namun kali ini, bukan hanya sebab suara keras Tamara, melainkan juga karena apa yang gadis itu katakan. Savina memandangi layar ponselnya yang masih terhubung panggilan dengan ngeri."Non-Nona? Barusan ngomong apa?""Aku yakin telingamu itu masih berfungsi dengan sangat baik.""Bu-bu ....""Kalau kamu berhasil bikin perempuan itu mati, satu milyar masuk ke rekeningmu.""Astaga, Nona!" Savina benar-benar terbelalak, tidak percaya dengan pendengarannya. Ia pikir setelah yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perempuan ini sudah menyerah. Tapi lihatlah, ia justru kian menjadi-jadi."Nona Tamara, tapi ini ... membunuh?" Kata-kata di akhir kalimat Savina masih terdengar begitu ngeri."Oke, kalau membunuh kedengaran terlalu brutal, kamu bikin saja Carissa semacam kecelakaan. Kalau dia sampai masuk rumah sakit, kamu dapat lima ratus juta."Savina menelan saliva. Lima ratus juta, jumlah yang cukup menggiurkan. Ia terdiam, dalam
**"Sayang?"Carissa bergeming ketika suara familiar itu menyeruak masuk bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka."Sayang? Kamu tidur?"Masih bergeming. Carissa tidak sedikitpun bergerak. Ia diam dengan posisi membelakangi pintu, sehingga Gara tidak bisa melihat wajahnya. Ia tidak tidur, tentu saja. Hanya berbaring.Gara mendekat, kemudian mendudukkan diri di samping perempuan itu. Harus terima meski sang istri memunggunginya seperti itu."Aku kangen pengen lihat wajah kamu, Sayang. Hadap sini dong, please." Gara mencoba merayu. Tidak peduli dengan respon apa yang akan ia dapatkan nanti, yang jelas ia sudah berusaha."Sayang, masa kamu sama Abian bisa ngobrol, bisa senyum, tapi sama aku nggak mau begitu? Aku suami kamu, kan? Seharusnya aku yang kamu senyumin, bukan Abian."Nah, ini efektif. Mendengar kata-kata tersebut, Carissa menengok sedikit ke arah sang suami yang berada di belakang punggungnya."Apa maksudmu?""Kamu tahu apa maksudku.""Dari mana kamu tahu kalau aku ngobrol
**"Sialan! Mereka udah tahu semuanya?"Savina menelan ludah. Panik merambati seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki ketika ia perlahan menarik diri setelah cukup lama menguping pembicaraan pasangan majikannya dari balik pintu kamar."Pak Gara curiga sama aku. Nona Rissa di luar dugaan, ternyata pintar juga bisa nebak apa yang terjadi. Gawat ini, gawat! Aku bisa mati kalau sampai mereka berdua bener-bener tahu kalo aku orang suruhan Nona Tamara!" Perempuan itu berjalan mondar-mandir di depan pintu. Selama beberapa saat, kebingungan dengan apa yang semestinya ia lakukan."Sebaiknya aku sudahin aja ini semua! Aku kabur ajalah. Persetan sama lima ratus juta, sebelum nyawaku sendiri yang terancam!"Savina lantas bergegas mengayun langkah menuju ruangan yang beberapa waktu terakhir ia tempati sebagai kamarnya. Dengan tergesa-gesa memasukkan barang-barang ke dalam koper besar di sudut ruangan. Napasnya memburu, berpacu dengan waktu. Ketakutan itu terasa memburunya seperti hantu tak keliha
**"Carissa, tolong bertahan, Sayang. Tolong ... tolong tetap bertahan buat aku." Sagara membiarkan air mata itu terus berjatuhan, menimpa wajah pucat sang istri. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, ia dilanda ketakutan akan kehilangan sesuatu yang begitu besar. Sebelum ini, Gara sama sekali tidak takut kehilangan apapun, sebab ia merasa tidak akan pernah kehilangan apapun."Bisa cepat sedikit, kau? Berhenti saja jadi supirku kalau kau tidak becus bekerja!" Pria itu menyalak keras saat ia rasa laju mobilnya agak melambat."Lampu lalu lintasnya masih merah, Tuan.""Persetan sama lampu lalu lintas! Jalan, cepat!"Dan bersamaan dengan itu, padam pula akal sehat Sagara. Ia lupa bahwa mobilnya ini mobil pribadi, bukannya ambulans yang memiliki sirine. Jika nekat menerabas, maka bisa-bisa ketiga-tiganya menjadi pasien semua. Maka, driver malang itu hanya bisa menekan klakson berkali-kali dan rela hati menerima makian pengguna jalan yang lain."Kita segera sampai, Tuan," tutur sang drive
**"Gue nggak kepikiran." Gara menggeleng dengan lemas. "Pikiran gue langsung blank begitu ngeliat Rissa udah di lantai. Gue nggak bisa mikir apa-apa lagi."Abian memandang sekilas, mengangguk penuh pengertian sebelum kembali mengecek ponselnya. "Sial, kenapa nggak ada yang bales chat atau angkat telepon gue, sih?""Sambil nunggu, coba lo hubungin sekuriti di depan aja. Tanyain dulu apa mereka lihat Savina hari ini. Kalau dia ada di rumah. Suruh seseorang mantau terus supaya dia nggak ke mana-mana sebelum gue balik."Abian mengangguk. Pria itu beranjak menjauh untuk melakukan panggilan telepon, sementara Sagara kembali menyandarkan punggungnya di kursi besi yang dingin.Henry sedang mengurus perihal administrasi, sementara Yasmin keluar membelikan Gara makan malam dan baju baru. Kemeja putih yang Gara kenakan saat ini tampak mengerikan sebab setengahnya sudah berlumuran darah. Pria itu nyaris memejamkan mata karena lelah saat sang adik kembali mendekat dengan raut wajah luar biasa teg