**Yasmin menatap lekat kepada sang putra. Wajahnya tanpa ekspresi apa-apa, sehingga Gara tidak bisa menebak apa yang sedang ibunya pikirkan."Mami? Anak aku?"Apakah bayinya tidak selamat? Astaga! Satu kenyataan besar menghantam kepala Gara keras-keras. Teringat pernyataan dokter beberapa waktu lalu, bahwa mereka semua hanya bisa menyelamatkan salah satu. Jika Rissa sudah dipastikan selamat, maka ...."Mami, apa anakku nggak bisa diselamatkan?" Gara bertanya dengan suara berbisik yang seperti datang dari jauh."Mami?""Putrimu selamat, Gar."Lagi, hantaman kedua seperti menenggelamkan Gara dalam ilusi. Pria itu terbelalak memandang sang ibu, yang pelan-pelan mulai menyunggingkan senyum kecil."Pu-putri ....""Dokter bilang, bayinya perempuan. Entahlah, aku juga belum lihat. Aku harus pastikan keadaan Rissa dulu. Lagi pula, dia sekarang masih di dalam NICU dan belum boleh disentuh.""Ya Tuhan ...." Entah untuk keberapa kalinya hari ini, Sagara merosot jatuh ke atas lantai. Kembali ber
**Nyaris jam empat dini hari, ketika Abian masih berada di dalam kantor polisi. Pria itu tampak menyimak baik-baik dengan wajah luar biasa tegang saat seorang agen kepolisian melapor melalui sambungan ponsel kepada komandan mereka yang saat itu tengah duduk di hadapan Abian."Dia di bandara," tutur sang komandan setelah menutup ponselnya. "Dalam perjalanan ke Singapura. Agen sedang bergerak untuk melakukan penangkapan. Anda tidak perlu khawatir lagi."Untuk pertama kalinya sejak beberapa jam belakangan ini, Abian menghela napas dengan lega. Ia melemparkan punggung ke sandaran kursi dingin di kantor kepolisian resort setempat yang lengang dini hari itu."Terimakasih banyak, Pak Polisi," ucap Abian dengan suara parau. "Dan maaf merepotkan anda selarut ini.""Memang sudah kewajiban kami, Pak." Polisi muda berwajah tampan itu menepuk lengan Abian pelan. "Beruntung anda melaporkannya segera, jadi kami tidak kehilangan jejak. Perempuan ini sebenarnya masuk dalam daftar pencarian orang kare
**Seluruh isi bandara yang hening, pada tengah malam itu dihebohkan oleh penyergapan seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun oleh sekelompok polisi tanpa seragam. Wanita yang hampir mendapatkan boarding pass itu meronta-ronta setelah beberapa pria berperawakan besar mencekal kedua lengannya."Apa salah saya?" Ia menjerit. "Lepaskan! Kalian ini siapa? Lepas! Lepaskan!"Ya, Savina. Meski sudah bisa menebak dengan sangat jelas, siapa manusia-manusia bertubuh kekar itu, ia tetap harus bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun, kan?"Jangan berisik, atau kutembak kakimu dua-duanya!"Barulah ketika ia mendapat bisikan seperti itu di telinga, ia benar-benar bisa diam. Savina tahu mereka serius, para agen kepolisian yang menyamar sebagai pengunjung bandara itu.Pada titik ini, Savina tahu bahwa dirinya sudah tamat."Pak, saya nggak bersalah," rengeknya, sementara kakinya tersaruk-saruk melangkah menuju SUV hitam di luar bandara. "S-saya cuma disuruh–""Bisa kamu jelaskan di
**"Cuma dua tahun kurungan penjara?"Sagara terbelalak. Pria itu nyaris melempar remote menghantam layar televisi jika saja sang istri tidak mendesis memperingatkannya."Ris, nggak bisa! Nggak adil namanya! Tamara dan Aldric itu otak kejahatannya, kenapa mereka berdua masing-masing cuma dijatuhi dua tahun kurungan?""Kak, sudahlah." Rissa memberi isyarat untuk mematikan televisi yang masih menyala, menampilkan berita infotainment. "Kita semua tahu, backing Tamara sama Aldric terlalu kuat.""Aku bisa aja suruh orang buat bongkar konspirasi busuk mereka itu!""Hei," tegur Carissa sekali lagi, kali ini dengan senyum mengembang. Ia mengulurkan tangan untuk meminta sang suami mendekat. Dan tentu saja Gara tidak membuang-buang waktu, ia segera mengayun langkah untuk menghampiri sang istri yang berada di atas ranjang rawat."Kita jadikan pelajaran, untuk lebih hati-hati dan nggak begitu aja percaya sama orang sesudah ini, oke?" Rissa menangkup pipi tirus sang suami dengan kedua tangan. Gara
SEASON 3***“Welcome home, Sayang.”Carissa tersenyum lebar setelah Gara membukakan pintu untuknya. Pria itu mendorong kursi roda dan membawa istri dan anaknya melewati pintu, sebelum kemudian berhenti sejenak di dalam foyer. Setelah melepas sepatu sang istri dan miliknya sendiri lalu menggantinya dengan sandal rumah, ia mendorong kembali kursi roda menuju ruang tamu.Rissa menyapukan pandang ke sekeliling ruangan tersebut dengan wajah terkesima.“Suka rumahnya?”“Kak, ini luar biasa!”“As your wish, rumah sederhana dengan ruangan lebar dan halaman luas. Lingkungan sekitar juga nggak ramai. Kamu suka yang begini, kan?” Carissa menatap suaminya dengan pandangan penuh rasa terimakasih. Meski ia tak mengucapkan apapun, namun lelaki itu mengerti sepenuhnya arti pandangan matanya.“You’re welcome, Sayang. Yang penting kamu nyaman, jadi bahagia ngerawat dan ngebesarin anak-anak kita nanti.”“Anak-anak, nih? Satu aja bisanya masih nangis sama tidur.” Carissa berjengit main-main.“Tentu saj
**"Ada apa lagi, sih?" Gara berdecak kesal. "Gue udah muak denger pemberitaan tentang mereka, Dit. Apalagi Rissa udah ngelarang gue buat ngurusin masalah itu lagi. Gue bodo lah mau itu manusia dua kenapa atau kenapa.""Hari ini Pak Jo dateng ke kantor, Gar. Nyariin lo."Hening. Sagara tiba-tiba saja kehilangan suaranya setelah berkata demikian. Pria itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan umpatan yang rasanya sudah berada di ujung lidah. Tidak, ia tidak akan mengumpat di sini. Rissa jelas bisa mendengarnya dan pasti tahu ada sesuatu yang tidak beres."Mau ngapain lagi tua bangka itu? Gue udah baik-baik nggak nuntut buat nyelidikin kasus ini jadi anaknya cuma dapet hukuman dua tahun. Masih nggak terima juga? Mau apa lagi?"Di seberang sana, Radit kedengaran sedang menghela napas lelah sebelum melanjutkan. "Nggak tau juga, sih. Udah tiga kali lho, dia dateng, meski alasannya cuma mampir doang. Gue nggak tanya detail dia mau ada urusan apa sama lo. Gue cuma bilang lo belum masuk kant
**“Shit! Jonathan Wijaya!”Jonathan Wijaya? Siapa pula itu? Carissa mengangkat kedua alis sebab merasa benar-benar asing dengan nama barusan, tapi Sagara hanya menggeleng. Sekali lagi pria itu melayangkan pandangan minta maaf kepada sang istri sebelum kembali menjauh untuk mengangkat panggilan ponselnya.“Halo?”“Ah, Sagara Aditama, selamat siang. Kenapa telepon kamu aja rasanya susah banget?”Ha! Gara bersyukur ini hanya panggilan suara yang tidak mengharuskan dirinya bertatap muka dengan Jonathan Wijaya, sehingga ia bebas menggunakan ekspresi yang manapun. Kali ini, Gara menampakkan raut muak setengah mati.“Selamat siang, Pak Jonathan. Tapi saya tidak merasa cukup istimewa untuk menyusahkan anda, Pak.”Suara kekeh tawa renyah terdengar dari seberang sana, dan karenanya Gara membatin, Dasar kakek-kakek!“Ada apa, Pak? Apa ada masalah?”“Nggak usah formal begitu, Gar, ini kan bukan kantor.”Nah, berkata untuk tidak serius, tapi pria ini dari kemarin nyaris meneleponnya seratus kali.
**"Dia minta gue nikahin anaknya, jadi istri kedua.""HAHH?"Radit terbelalak maksimal. Kedua matanya melotot memandang tak percaya kepada sang sahabat yang masih memasang wajah muak."Gar, ini nggak lucu!""Sangat nggak lucu. Cuma manusia nggak waras yang anggep ini lucu."Pria itu menyesap kopi hitam yang sudah diantarkan oleh seorang office boy beberapa saat yang lalu. Pandangannya kembali menerawang terangnya semesta di luar sana melalui dinding kaca di sisi ruangannya."Terus lo jawab gimana, Gar? Istri lo tahu tentang hal ini, nggak?"Gara masih memandang keluar di mana matahari sedang berpijar dengan cerah. Teringat kejadian ini semalam, ia mendapat direct message dari Jonathan Wijaya seperti itu saat Carissa ada di depannya."Gue udah janji nggak akan sembunyiin apapun lagi dari Carissa. Dan kebetulan banget dia juga lagi ada di depan gue semalem.""Jadi gimana?""Gimana apanya? Ya gue kasih liat aja sekalian DM dari manusia nggak tau malu itu."Radit terbelalak selama sepers
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh