**"Ada apa lagi, sih?" Gara berdecak kesal. "Gue udah muak denger pemberitaan tentang mereka, Dit. Apalagi Rissa udah ngelarang gue buat ngurusin masalah itu lagi. Gue bodo lah mau itu manusia dua kenapa atau kenapa.""Hari ini Pak Jo dateng ke kantor, Gar. Nyariin lo."Hening. Sagara tiba-tiba saja kehilangan suaranya setelah berkata demikian. Pria itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan umpatan yang rasanya sudah berada di ujung lidah. Tidak, ia tidak akan mengumpat di sini. Rissa jelas bisa mendengarnya dan pasti tahu ada sesuatu yang tidak beres."Mau ngapain lagi tua bangka itu? Gue udah baik-baik nggak nuntut buat nyelidikin kasus ini jadi anaknya cuma dapet hukuman dua tahun. Masih nggak terima juga? Mau apa lagi?"Di seberang sana, Radit kedengaran sedang menghela napas lelah sebelum melanjutkan. "Nggak tau juga, sih. Udah tiga kali lho, dia dateng, meski alasannya cuma mampir doang. Gue nggak tanya detail dia mau ada urusan apa sama lo. Gue cuma bilang lo belum masuk kant
**“Shit! Jonathan Wijaya!”Jonathan Wijaya? Siapa pula itu? Carissa mengangkat kedua alis sebab merasa benar-benar asing dengan nama barusan, tapi Sagara hanya menggeleng. Sekali lagi pria itu melayangkan pandangan minta maaf kepada sang istri sebelum kembali menjauh untuk mengangkat panggilan ponselnya.“Halo?”“Ah, Sagara Aditama, selamat siang. Kenapa telepon kamu aja rasanya susah banget?”Ha! Gara bersyukur ini hanya panggilan suara yang tidak mengharuskan dirinya bertatap muka dengan Jonathan Wijaya, sehingga ia bebas menggunakan ekspresi yang manapun. Kali ini, Gara menampakkan raut muak setengah mati.“Selamat siang, Pak Jonathan. Tapi saya tidak merasa cukup istimewa untuk menyusahkan anda, Pak.”Suara kekeh tawa renyah terdengar dari seberang sana, dan karenanya Gara membatin, Dasar kakek-kakek!“Ada apa, Pak? Apa ada masalah?”“Nggak usah formal begitu, Gar, ini kan bukan kantor.”Nah, berkata untuk tidak serius, tapi pria ini dari kemarin nyaris meneleponnya seratus kali.
**"Dia minta gue nikahin anaknya, jadi istri kedua.""HAHH?"Radit terbelalak maksimal. Kedua matanya melotot memandang tak percaya kepada sang sahabat yang masih memasang wajah muak."Gar, ini nggak lucu!""Sangat nggak lucu. Cuma manusia nggak waras yang anggep ini lucu."Pria itu menyesap kopi hitam yang sudah diantarkan oleh seorang office boy beberapa saat yang lalu. Pandangannya kembali menerawang terangnya semesta di luar sana melalui dinding kaca di sisi ruangannya."Terus lo jawab gimana, Gar? Istri lo tahu tentang hal ini, nggak?"Gara masih memandang keluar di mana matahari sedang berpijar dengan cerah. Teringat kejadian ini semalam, ia mendapat direct message dari Jonathan Wijaya seperti itu saat Carissa ada di depannya."Gue udah janji nggak akan sembunyiin apapun lagi dari Carissa. Dan kebetulan banget dia juga lagi ada di depan gue semalem.""Jadi gimana?""Gimana apanya? Ya gue kasih liat aja sekalian DM dari manusia nggak tau malu itu."Radit terbelalak selama sepers
**"Dia bilang begitu sama kamu, Kak?"Pada sore harinya setelah pulang dari kantor, Sagara segera menceritakan segala hal yang diucapkan oleh Jonathan Wijaya kepadanya di kantor tadi kepada sang istri."Persis begitu." Gara mengangguk sementara menyeruput kopi yang Carissa hidangkan."Terus kamu jawabnya gimana?""Aku bilang mau ngomong dulu sama kamu. Bener, kan? Aku harus minta pendapat kamu dulu masalah ini, Ris."Carissa mengulas senyum, memposisikan dirinya untuk duduk di samping sang suami. Betapa sikap yang membuat hati Carissa menghangat, sekarang Gara benar-benar berbagi seluruh keluh kesahnya kepada istri tercinta."Menurut kamu gimana? To be honest, aku nggak mau ketemu lagi sama Tamara. Aku males."Tapi, Rissa menggeleng. "Nggak boleh begitu. Niatnya kan cuma jengukin. Kalo denger ceritanya, kasihan juga sih, Kak. Dia sampai depresi begitu.""Her problem." Gara mengangkat bahu dengan cuek. "Siapa suruh jadi jahat, iya kan? Kalo sekarang dia metik hasil perbuatannya, kenap
**“Lo tahu nggak, gimana keadaan Tamara saat ini?”Sagara mengerutkan kening. Serius memandang Radit yang juga tengah serius memandangnya. “Kenapa emang dengan keadaan Tamara saat ini?”“Lo beneran nggak tahu?”“Lo lagi tanya, apa niat ngajakin gue main tebak-tebakan sih, Dit?”Radit tertawa miris melihat sahabatnya kesal sendiri seperti itu. “Ya lagian lo, sih. Eh, ini gue serius, Gar. Salah satu temen gue ada yang kerja jadi staff di lembaga pemasyarakatan di mana Tamara lagi ditampung. Jadi gue sedikit banyak dapet cerita dari dia.”“Lo kurang kerjaan banget kepoin dia?”“Diem! Gue nggak butuh pendapat julid lo. Sekarang diem dulu, biar gue cerita.”Radit saat dalam mode sahabat memang kadang sangat menyebalkan bagi Sagara. Meski demikian, ia kagum sekali, bagaimana lelaki tiga puluh tahun ini mengganti peran dengan sempurna sebagai sekretaris profesional ketika sudah berada di ruang lingkup kantor. Sehingga hanya sedikit sekali orang yang tahu bahwa keduanya bersahabat dekat.“We
**"Nggak apa-apa, Ris. Nggak usah overthinking begitu. Kenapa jadi kamu yang kepikiran?" Sagara mengelus surai panjang sang istri. Tersenyum menatap wajah teduh yang kali itu sedang mendung kelabu seperti langit di luar sana."Kasihan," desah Rissa pelan. Awangnya tak mampu melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu. "Aku nggak tahu dia bisa sampai seperti itu.""Iya juga," sahut Gara pelan. "Aku nggak ngira kalau justru dia yang trauma. Padahal kamu korbannya.""Dia begitu karena terlalu cinta sama kamu nggak sih, Kak?"Mendengus pelan, Gara memilih tetap fokus kepada kemudi mobilnya alih-alih menanggapi kata-kata sang istri.Gara dan Rissa dalam perjalanan bertolak pulang setelah kunjungan ke tempat di mana Tamara ditahan tadi. Kunjungan yang mungkin akan membekas dalam ingatan Carissa selamanya.Bagaimana bisa Rissa lupakan, perempuan cantik itu bersimpuh di kaki Gara. Memohon-mohon untuk tidak membencinya. Memohon untuk Carissa memaafkan perbuatannya pula. Ini jelas berbanding t
**Satu atau dua bulan berlalu dalam baik-baik saja. Tak ada insiden apapun —jika Yasmin yang bersikeras memboyong menantu dan cucunya pulang ke rumah besar tidak bisa dianggap insiden.Sagara sudah cukup tenang kembali menyibukkan diri di kantor, meninggalkan sang istri dan putri kecilnya di rumah bersama seorang asisten rumah tangga baru. Kali ini Gara benar-benar memeriksa dengan ketat data-data asisten baru tersebut, tak ingin kecolongan lagi, seperti yang sudah-sudah."Sayang, mungkin hari ini aku pulangnya agak telat. Kamu mau ke rumah besar aja, nggak?" tawar Gara pagi ini, ketika sedang sarapan sebelum berangkat ke kantornya."Kenapa pulang telat?" Rissa yang sedang menyeruput jus sambil menggendong Stella menimpali."Ada meeting sama Papa dan Abian di kantor Arctic. Besok ada kunjungan investor, jadi banyak yang harus disiapin."Rissa mengangguk saja. Sebenarnya hanya iseng bertanya. Sebab tentu ia tahu alasan sang suami pulang terlambat. Sudah pasti masalah pekerjaan, kan?"
**"Tamara!"Carissa berseru panik ketika mendapati tubuh itu jatuh menghantam pintu gerbang dengan keras."Astaga! Cepat tolong! Tolong dia dan bawa masuk ke dalam rumah!""T-tapi, Bu—""Apa yang kamu tunggu? Ayo, bawa masuk! Bawa sekarang!"Sekuriti muda itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nyonya muda. Meski ini berisiko tinggi sebab bertentangan dengan apa yang dikatakan Tuan mudanya tadi. Tapi apa boleh buat, kan?"Baringkan di atas sofa saja, sini." Rissa panik sendiri, menunjuk sofa ruang tamu kepada sekuriti rumahnya yang menggendong tubuh lunglai Tamara."Apa saya perlu tunggu di sini, Bu? Takutnya kalau dia cuma pura-pura pingsan.""Astaga, apa kamu nggak lihat gimana keadaan dia tadi? Mana mungkin yang begini kamu bilang pura-pura!" Carissa sama sekali tidak bermaksud berkata kasar, namun rasa panik berlebihan yang membuatnya seperti itu. Nah, lebih daripada itu, pria muda berseragam itu tampaknya juga maklum. Sebab ia sendiri merasa tubuh Tamara panas