**"Gara ... Sagara ... ."Carissa tertegun. Pun, sang pemilik nama yang sama sekali tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi. Gara mengerling perlahan kepada sang istri, khawatir jika mungkin perempuan itu akan marah. Namun tidak, Rissa justru menghampiri tubuh Tamara yang tidak jadi diangkat oleh petugas dan membisikan sesuatu dalam telinganya."Tamara, Kak Gara ada di sini. Tenang aja, dia udah maafin kamu."Dan betapa anehnya, dua butir air mata menyeruak menetes melalui celah mata gadis itu, yang masih menutup. Meluncur menuruni pelipisnya, berkilau ditimpa cahaya lampu. Ia diam, racauannya berhenti."Whoa ...." Sagara bergumam, separuh kagum, separuh jengkel. "Apa-apaan? Kok bisa-bisanya dia malah ngomong begitu?""Semua orang sudah memaafkanmu. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Lanjutkan hidup dengan baik saja." Rissa menepuk pelan puncak kepala Tamara sebelum kembali bangkit dan membiarkan para petugas membawa tubuh ringkih itu keluar, menuju mobil yang terparkir di halaman."
**"Carissa, bagaimana kabarmu, Sayang?"Rissa otomatis menjauhkan ponsel dari telinganya. Kedua matanya membulat ngeri, menatap layar ponselnya yang masih menyala, seakan-akan ada orang yang memelototinya dari dalam layar ponsel itu.Perlahan-lahan, ia menempelkan kembali ponsel ke telinganya untuk mengecek apakah suaranya masih ada."Kenapa kaget, hm? Aku kan cuma tanya kabar kamu."Rissa seketika matikan ponselnya dan melemparkan benda itu ke atas sofa. Seluruh buku kuduknya seperti berdiri mendengar suara berat seorang pria di seberang sana. Masih menatap si ponsel dengan pandangan horor, ia pelan-pelan mendekati boks tempat Stella tidur. Bergidik tanpa sadar, dan memutuskan tidak akan menggubris benda pipih itu lagi, jika nanti berbunyi kembali."Aku kenal suaranya." Ia bergumam lirih kepada dirinya sendiri. "Itu Aldric. Suaranya jelas banget. Tapi gimana mungkin Aldric nelepon? Bukannya dia juga lagi di penjara?"Carissa mengusap tengkuknya. Rasa ngeri itu tak hilang-hilang juga
**Carissa reflek melemparkan ponselnya ke sembarang arah. Matanya terbelalak dengan iris bergetar ketakutan setelah mendengar pengakuan si penelepon gelap. Ya, ternyata itu memang Aldric. Rissa benar dengan tebakannya."Aldric?" Perempuan itu berbisik. Menatap ponsel yang tergeletak di atas lantai dengan layar menyala. Tanda panggilan tengah berlangsung, masih tampak jelas di sana. Aldric belum menutup panggilannya."Mau apa dia nelepon-nelepon kayak begitu? Ngeri banget, ih." Rissa bergidik tanpa sadar. Mendadak saja dunia di sekelilingnya seperti dipenuhi prasangka."Rissa, kamu kenapa, Sayang?"Terkesiap, Carissa menoleh dan melihat suaminya terjaga. Dengan mata sedikit terbuka, pria itu memandang istrinya dengan wajah keheranan."Mimpi buruk." Rissa menjawab refleks. "Hanya mimpi buruk, Kak. Jangan khawatir.""Bener?" Sagara masih memandang dengan skeptis. Rissa melayangkan senyum manis untuk menenangkan."Serius. Tuh, ponsel aku sampai aku lempar. Aku mimpi ditelepon hantu soaln
**"Apakah Carissa sudah menerima bunganya?" Aldric berbicara dengan ponselnya. Bertanya kepada toko bunga di mana ia memesan buket mawar besar tadi.Sepertinya orang dalam telepon itu memberikan jawaban yang memuaskan, sebab Aldric kemudian terlihat senang selepas ponsel ia matikan."Ah, sialan!" Pria rupawan berparas latin itu mengumpat pelan. Pandangannya kosong, menerawang kepada hamparan pemandangan kota di malam hari, di luar jendela apartemennya. "Kenapa sih denganku ini? Bisa-bisanya menggoda perempuan bersuami begitu?"Ia tidak ingat kapan mulai tertarik dengan Carissa. Hal terakhir yang ia ingat adalah, ia terkejut setengah mati dengan perbuatan nekat Savina yang berakhir menyeret namanya ke dalam jeruji besi. Rasa khawatir kepada keselamatan Carissa ia rasa jauh lebih besar daripada kekhawatiran kepada dirinya sendiri yang terancam masuk bui. Aneh, ya. Tapi begitulah kenyataannya."Kemudian aku mulai melihat wajahnya dalam kepalaku." Aldric berdecih muak. "Semakin hari sema
**Carissa memandangi bayi mungil dalam pelukannya yang tengah tertidur lelap. Bibirnya mengulas senyum kala itu. Tak bosan-bosan ia pandangi makhluk cantik yang sangat mirip dengan Sagara Aditama, suami tercintanya.Sementara di sampingnya, di belakang kemudi, Gara sendiri mencuri pandang sekali-sekali."Apa Stella nggak akan rewel, nanti?" tanyanya sementara menatap khawatir kepada si putri kecil.Carissa kembali mengulas senyum. "Enggak, Kak. Dia udah nen sampai kenyang sebelum berangkat tadi. Badannya juga lagi fit, kok. It's okay."Gara mengangguk, mengembalikan fokusnya kepada jalanan, kemudian. Pasangan suami istri itu sedang dalam perjalanan ke sebuah rumah sakit jiwa. Ah, apakah tepat disebut demikian? Mereka akan mengunjungi Tamara Wijaya di sebuah tempat terapi kejiwaan hari ini, tepat saat si kecil Auristella berusia enam bulan."Aku justru khawatirnya sama Tamara." Carissa berkata sembari mengedikkan bahu. "Apa dia nggak apa-apa kalau ketemu sama Stella? Aku takut dianya
**“Rissa, Aldric nggak ganggu kamu lagi, kan?”Carissa terpaku, tak jadi melangkah pergi. Ia menatap Tamara dengan wajah menyiratkan banyak pertanyaan. Mengapa kebetulan sekali?“Ah, apa dia ganggu kamu?” Perempuan itu menggigit bibir dengan wajah risau. Mendadak saja, Rissa ingat bahwa mungkin kesehatan mental Tamara belum stabil benar, jadi ia tidak bisa mengatakan sesuatu yang akan membuat gadis itu kembali banyak berpikir.“Aldric? Kenapa tiba-tiba banget tanyain dia, Tam?” Tamara menggeleng. “Dia nggak dipenjara kayak aku. Dia bebas, jadi aku takut kalau dia gangguin kamu di luar sana. Gimanapun, aku yang udah kenalin dia sama kamu, Ris. Aku ngerasa bersalah banget.”Carissa sontak bertukar pandang dengan Sagara setelah mendengar pernyataan itu. Sejujurnya, Gara masih tidak terima, namun sepertinya Rissa masih pula mengirimkan sinyal mengancam, kalau-kalau dirinya berbuat sesuatu yang bodoh. Maka, pria itu hanya bisa diam sembari menggendong si buah hati.“Rissa, Aldric itu jah
**Mobil hitam Gara berbelok ke halaman rumah setelah sekuriti membukakan pintu gerbang. Merapat ke garasi, kemudian Carissa terburu-buru membuka pintu dan menghambur masuk, membawa Stella dalam pelukannya. Sagara memandangnya dari belakang dengan wajah penuh tanya.“Udah kunci pintunya, Kak? Jangan lupa kunci pintunya!” Perempuan itu menatap dengan khawatir ke arah pintu depan.“Udah, Sayang. Sekarang kasih tahu, ada apa? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?”Menghela napas. Carissa baru bisa benar-benar merasa lega sekarang, setelah memastikan ia aman di dalam rumahnya sendiri. “Kamu bawa ponsel aku, kan?”Sagara menunjuk benda pipih berwarna hitam dalam genggamannya.“Coba hidupin, Kak. Tadi ada banyak chat dari Aldric.”“Kamu tahu itu dari Aldric?”“Siapa lagi yang chat aku dengan kata-kata mengerikan begitu? Coba deh, kamu lihat sendiri.”Tak habis pikir, Gara segera menghidupkan ponsel milik istrinya dan menunggu hingga benda itu menyala dengan sempurna. Nah, namun setelah beberap
**Carissa memandang nyalang ponselnya yang masih menyala dengan nama pemanggil private number tertera di layarnya. Kesal, sungguh. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk tidak akan takut lagi kali ini. Ia sungguh ingin tahu apa alasan Aldric melakukan semua itu kepadanya. Maka, Rissa memutuskan mengangkat panggilan teleponnya saja."Apa lagi maumu?" Ia menyalak segera setelah ponsel menempel pada telinganya. "Apa belum puas juga bikin aku nyaris mati?""Rissa, Sayang, terimakasih sudah mengangkat teleponnya.""Apa maumu, sial!""Aku merindukanmu."Diiringi decak keras, Rissa sudah akan mematikan sambungan teleponnya. Namun terlebih dahulu, lelaki di seberang sana itu kembali berucap. "Maaf, aku kemarin harus hapus kembali pesan yang aku kirim dari sini. Aku nggak mau kalau suamimu ribut lagi.""Dasar maniak!" Carissa mendesis penuh ancaman. "Kamu bisa mengganggu siapapun di muka bumi ini selain aku, Aldric!""Tapi aku maunya kamu.""Bangsat!""Ah, kamu nggak cocok ngomong kasar begi