**"Apakah Carissa sudah menerima bunganya?" Aldric berbicara dengan ponselnya. Bertanya kepada toko bunga di mana ia memesan buket mawar besar tadi.Sepertinya orang dalam telepon itu memberikan jawaban yang memuaskan, sebab Aldric kemudian terlihat senang selepas ponsel ia matikan."Ah, sialan!" Pria rupawan berparas latin itu mengumpat pelan. Pandangannya kosong, menerawang kepada hamparan pemandangan kota di malam hari, di luar jendela apartemennya. "Kenapa sih denganku ini? Bisa-bisanya menggoda perempuan bersuami begitu?"Ia tidak ingat kapan mulai tertarik dengan Carissa. Hal terakhir yang ia ingat adalah, ia terkejut setengah mati dengan perbuatan nekat Savina yang berakhir menyeret namanya ke dalam jeruji besi. Rasa khawatir kepada keselamatan Carissa ia rasa jauh lebih besar daripada kekhawatiran kepada dirinya sendiri yang terancam masuk bui. Aneh, ya. Tapi begitulah kenyataannya."Kemudian aku mulai melihat wajahnya dalam kepalaku." Aldric berdecih muak. "Semakin hari sema
**Carissa memandangi bayi mungil dalam pelukannya yang tengah tertidur lelap. Bibirnya mengulas senyum kala itu. Tak bosan-bosan ia pandangi makhluk cantik yang sangat mirip dengan Sagara Aditama, suami tercintanya.Sementara di sampingnya, di belakang kemudi, Gara sendiri mencuri pandang sekali-sekali."Apa Stella nggak akan rewel, nanti?" tanyanya sementara menatap khawatir kepada si putri kecil.Carissa kembali mengulas senyum. "Enggak, Kak. Dia udah nen sampai kenyang sebelum berangkat tadi. Badannya juga lagi fit, kok. It's okay."Gara mengangguk, mengembalikan fokusnya kepada jalanan, kemudian. Pasangan suami istri itu sedang dalam perjalanan ke sebuah rumah sakit jiwa. Ah, apakah tepat disebut demikian? Mereka akan mengunjungi Tamara Wijaya di sebuah tempat terapi kejiwaan hari ini, tepat saat si kecil Auristella berusia enam bulan."Aku justru khawatirnya sama Tamara." Carissa berkata sembari mengedikkan bahu. "Apa dia nggak apa-apa kalau ketemu sama Stella? Aku takut dianya
**“Rissa, Aldric nggak ganggu kamu lagi, kan?”Carissa terpaku, tak jadi melangkah pergi. Ia menatap Tamara dengan wajah menyiratkan banyak pertanyaan. Mengapa kebetulan sekali?“Ah, apa dia ganggu kamu?” Perempuan itu menggigit bibir dengan wajah risau. Mendadak saja, Rissa ingat bahwa mungkin kesehatan mental Tamara belum stabil benar, jadi ia tidak bisa mengatakan sesuatu yang akan membuat gadis itu kembali banyak berpikir.“Aldric? Kenapa tiba-tiba banget tanyain dia, Tam?” Tamara menggeleng. “Dia nggak dipenjara kayak aku. Dia bebas, jadi aku takut kalau dia gangguin kamu di luar sana. Gimanapun, aku yang udah kenalin dia sama kamu, Ris. Aku ngerasa bersalah banget.”Carissa sontak bertukar pandang dengan Sagara setelah mendengar pernyataan itu. Sejujurnya, Gara masih tidak terima, namun sepertinya Rissa masih pula mengirimkan sinyal mengancam, kalau-kalau dirinya berbuat sesuatu yang bodoh. Maka, pria itu hanya bisa diam sembari menggendong si buah hati.“Rissa, Aldric itu jah
**Mobil hitam Gara berbelok ke halaman rumah setelah sekuriti membukakan pintu gerbang. Merapat ke garasi, kemudian Carissa terburu-buru membuka pintu dan menghambur masuk, membawa Stella dalam pelukannya. Sagara memandangnya dari belakang dengan wajah penuh tanya.“Udah kunci pintunya, Kak? Jangan lupa kunci pintunya!” Perempuan itu menatap dengan khawatir ke arah pintu depan.“Udah, Sayang. Sekarang kasih tahu, ada apa? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?”Menghela napas. Carissa baru bisa benar-benar merasa lega sekarang, setelah memastikan ia aman di dalam rumahnya sendiri. “Kamu bawa ponsel aku, kan?”Sagara menunjuk benda pipih berwarna hitam dalam genggamannya.“Coba hidupin, Kak. Tadi ada banyak chat dari Aldric.”“Kamu tahu itu dari Aldric?”“Siapa lagi yang chat aku dengan kata-kata mengerikan begitu? Coba deh, kamu lihat sendiri.”Tak habis pikir, Gara segera menghidupkan ponsel milik istrinya dan menunggu hingga benda itu menyala dengan sempurna. Nah, namun setelah beberap
**Carissa memandang nyalang ponselnya yang masih menyala dengan nama pemanggil private number tertera di layarnya. Kesal, sungguh. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk tidak akan takut lagi kali ini. Ia sungguh ingin tahu apa alasan Aldric melakukan semua itu kepadanya. Maka, Rissa memutuskan mengangkat panggilan teleponnya saja."Apa lagi maumu?" Ia menyalak segera setelah ponsel menempel pada telinganya. "Apa belum puas juga bikin aku nyaris mati?""Rissa, Sayang, terimakasih sudah mengangkat teleponnya.""Apa maumu, sial!""Aku merindukanmu."Diiringi decak keras, Rissa sudah akan mematikan sambungan teleponnya. Namun terlebih dahulu, lelaki di seberang sana itu kembali berucap. "Maaf, aku kemarin harus hapus kembali pesan yang aku kirim dari sini. Aku nggak mau kalau suamimu ribut lagi.""Dasar maniak!" Carissa mendesis penuh ancaman. "Kamu bisa mengganggu siapapun di muka bumi ini selain aku, Aldric!""Tapi aku maunya kamu.""Bangsat!""Ah, kamu nggak cocok ngomong kasar begi
**Carissa baru saja menutup pintu kamar Stella setelah menidurkan bayi kecilnya itu. Ia mengusap tengkuk dengan lelah, berniat istirahat di kamarnya sendiri.“Tolong jagain Stella ya, Mbak. Aku istirahat sebentar aja,” katanya kepada si asisten rumah tangga yang menunggu di depan pintu.“Beres, Bu. Nggak usah khawatir, Bu Rissa bisa istirahat sepuasnya.” Perempuan itu mengacungkan jempol.Rissa tertawa pelan. Gegas ia seret langkah, memasuki kamarnya sendiri dan menutupnya dari dalam. Berencana untuk tidur sebentar saja.Nah, namun apa yang terjadi, ternyata ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Awangnya seketika sibuk berkelana sesaat setelah ia letakkan kepala di atas bantal. Memikirkan ini dan itu, hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ia pikirkan.“Apa Tamara baik-baik aja? Dia kelihatan kurus, tapi masih jauh lebih baik dari terakhir kali kita ketemu pas dia kabur ke sini.” Rissa tersenyum sendirian, membayangkan gadis cantik itu. Bersyukur kiranya satu-persatu orang-orang ya
**“Halo, Tuan Sagara Aditama yang terhormat.”Carissa membeku di tempat. Ternyata Aldric tidak bercanda, ia benar-benar menelepon Sagara. Dan suaminya yang sudah mengangkat panggilan telepon itu, sekarang sedang diam di seberang sana. Rissa yakin sekali bahwa Gara mengenal suara itu. Prianya itu lebih dari cerdas untuk menebak hal-hal semacam ini.“Kenapa diam, Gara?” Aldric berujar lagi dengan seringai tercetak di bibirnya. Sebenarnya itu hanya senyum, namun untuk Carissa yang terlanjur ketakutan, bahkan senyum pun terlihat begitu mengerikan.“Aldric, jangan macam-macam dengan suamiku,” bisik Rissa penuh emosi. Ia tidak ingin pria itu mengatakan sesuatu yang akan membuat Gara terpaksa pulang dan mengemudi dalam keadaan kalut.“Ah, Gara, kamu masih di sana? Aku menelepon hanya untuk minta izin–”Tidak lagi punya kesabaran, Rissa terpaksa maju, menerjang ke arah lelaki rupawan itu dan merebut ponsel yang masih menempel di telinganya. Mudah saja, sebab Aldric tidak bermaksud menghindar
**“Abian!”Carissa menjerit, meraih bahu pria itu hanya sejengkal saja sebelum yang bersangkutan menghantamkan bogem mentahnya mengenai wajah Aldric.“Abian, nggak!”“Biar saja, Ris. Manusia busuk ini harus dikasih pelajaran!”“Aldric kamu pergi!” Rissa menunjuk wajah tampan pria yang satunya dengan terang-terangan. “Pergi atau aku bakalan bantuin Abian bunuh kamu! Pergi!”“Whoa. whoa, calm down, Honey! Oke, oke aku akan pergi. Jangan marah-marah begitu, dong. Karena–”Carissa habis sabar. Meski heran juga sebab entah mendapat kekuatan dari mana, perempuan itu menyeret lengan Aldric, kemudian menghempaskannya ke luar. Membanting pintunya kuat-kuat di hadapan muka pria itu kemudian, hingga seluruh isi rumah terasa bergetar. Emosi hingga rasanya nyaris terbakar, Rissa baru bisa menghentikan dirinya sendiri setelah mendengar suara tangis Stella dari dalam.“Rissa, kamu tenangin Stella dulu,” ujar Abian, yang juga tampak masih dikuasai emosi. “Kamu lihat Stella di dalam, biar aku urus ba