**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
"Ris, maafkan aku."Carissa tertegun."Aku terpaksa melakukan ini. Hanya aku harapan ayah satu-satunya. Aku nggak bisa menikah sama perempuan seperti kamu."Semua kata-kata itu seperti tersendat di tenggorokan. Carissa hanya mampu menggeleng dengan shock. Gadis itu mundur selangkah, menutup mulut dengan telapak tangan, dan merasakan tetesan hangat meleleh di kedua pipinya."A-Abi, kamu ... ""Dan lagi, aku sama Anes memang saling mencintai, kok."Hancur sudah. Kedua bahu Carissa merosot turun. Isak tangis tanpa suara membuat dada gadis itu terlampau sesak. Ia menatap sepasang manusia di hadapannya dengan pandangan buram karena air mata.Lelaki itu, Abian Danurendra, meraih telapak tangan gadis di sampingnya, lantas mengecupnya dengan lembut."T-tapi Bi ... pernikahan kita lima hari lagi–""Masih cukup lama, kan? Lima hari bukan waktu yang sangat mendadak, kok. Kamu harus bersyukur aku nggak batalin semuanya saat hari H."Lagi-lagi Carissa hanya mampu menggeleng keras. Sama sekali tak i
PLAAK!Rasa panas perlahan menjalari pipi kirinya yang baru saja ditampar oleh Abian. Carissa tertegun, mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan."A-Abi ... " bisiknya dengan suara tercekat. "Abi kamu nampar aku?""Kamu yang cari gara-gara duluan, Ris!""Kamu sampai hati main tangan sama aku hanya karena belain Aneska?" Suara Carissa nyaris histeris, tidak bisa ia tahan."Makanya kalau ngomong itu dipikir dulu. Kamu ngatain Anes begitu, memangnya diri kamu sendiri udah yang paling suci apa?""Abian!" jerit Carissa. "Kamu tahu selama tiga tahun ini aku setengah mati jaga diri buat kamu. Bisa-bisanya kamu bicara begitu!""Aku nggak tahu," sela Abian tajam. "Kamu punya banyak teman cowok di tempat kerjamu, kan? Aku mana tahu kalau kamu pernah main belakang.""Abian, Ya Tuhan!" Carissa benar-benar histeris sekarang. Air matanya deras berjatuhan, membentuk jejak di kedua pipinya yang putih. Gelombang amarah terasa menyesaki dadanya.Entah apa yang merasuki pikiran lelaki yang sebelumn
Sorot menyilaukan dari kejauhan menyapu penglihatan Carissa yang buram karena air mata bercampur air hujan. Netra gadis itu memicing, mencoba mendapatkan fokus yang lebih jelas. Tapi percuma sajalah, ia tidak akan bisa melihat di bawah guyuran hujan sederas ini. Lagipula, apa yang mau dilihatnya?Dengan langkah terhuyung, gadis itu maju. Tepat menyambut kala hantaman keras membuat tubuhnya terpental dan jatuh berdebam beberapa meter dari tempat sebelumnya.BRAKKK! Decit rem terdengar menekan aspal basah saat lelaki di balik kemudi itu memaksa sedan hitamnya untuk berhenti mendadak. Kesadarannya terkumpul dengan tiba-tiba begitu ia menoleh ke arah spion dan melihat sesuatu tergeletak di atas jalanan sepi, di bawah guyuran hujan. Ketakutan pelan-pelan naik merayapi tubuhnya. Terlintas dalam benak untuk kembali tancap gas dan meninggalkan sosok itu saja, tapi sisi kemanusiaannya menolak ide itu. Maka lelaki itu menyerah. Ia mengambil payung dan keluar dari mobil bersama sumpah serapah,