Sorot menyilaukan dari kejauhan menyapu penglihatan Carissa yang buram karena air mata bercampur air hujan. Netra gadis itu memicing, mencoba mendapatkan fokus yang lebih jelas. Tapi percuma sajalah, ia tidak akan bisa melihat di bawah guyuran hujan sederas ini. Lagipula, apa yang mau dilihatnya?
Dengan langkah terhuyung, gadis itu maju. Tepat menyambut kala hantaman keras membuat tubuhnya terpental dan jatuh berdebam beberapa meter dari tempat sebelumnya.BRAKKK!Decit rem terdengar menekan aspal basah saat lelaki di balik kemudi itu memaksa sedan hitamnya untuk berhenti mendadak. Kesadarannya terkumpul dengan tiba-tiba begitu ia menoleh ke arah spion dan melihat sesuatu tergeletak di atas jalanan sepi, di bawah guyuran hujan. Ketakutan pelan-pelan naik merayapi tubuhnya. Terlintas dalam benak untuk kembali tancap gas dan meninggalkan sosok itu saja, tapi sisi kemanusiaannya menolak ide itu. Maka lelaki itu menyerah. Ia mengambil payung dan keluar dari mobil bersama sumpah serapah, menyebut nama seluruh penghuni kebun binatang.Ia mendekat dengan gemetar. Kedua netra gelapnya melebar penuh kala ia menemukan apa yang tergeletak di sana.Seorang gadis."Astaga, apa dia mati?" serunya panik.Sepertinya, gadis itu memang sudah mati, karena ia sama sekali tidak bergerak."Nona, hei, Nona ... apa kamu bisa bangun?"Sagara Aditama, nama lelaki itu, terbelalak penuh dengan kepala berdenyut pusing. Ia baru saja menghabiskan beberapa gelas alkohol kurang dari setengah jam yang lalu, dan efeknya baru terasa pada detik-detik ini.Mengusap wajah dengan gusar, ia berjongkok untuk memeriksa gadis yang tergeletak itu sekali lagi."Ya Tuhan, masa iya aku baru aja bunuh orang?"Sagara melotot sembari mencengkeram gagang payung di tangannya. Ia berdiri, menoleh ke sana kemari dengan panik, takut seseorang melihat perbuatannya. Namun, saat itu jalanan sedang sepi karena derasnya hujan, jadi bisa dipastikan tak ada seorang pun yang menyaksikan apa yang terjadi. Maka tanpa berpikir panjang, Gara melempar payungnya dan meraih sosok basah kuyup itu untuk dibawa masuk ke dalam mobilnya."Sialan, mimpi apa sih aku semalam? Kenapa hari ini kacau banget rasanya? Ini lagi, bisa-bisanya aku sebodoh ini," racau lelaki itu, panik. Ia menoleh sekali lagi dan mendapati sebuah koper besar teronggok sendirian di bawah halte tepat di samping mobilnya berhenti. Berlari sekali lagi, Gara meraih koper besar itu dan memasukkan juga ke dalam mobilnya. Sepertinya milik gadis yang ditabraknya ini, kan?"Ah, sial! Sial! Sial! Aku harus gimana ini? Gimana? Aku nggak mau masuk penjara!"Gara mengumpat seribu kali. Tangan gemetarnya berusaha menghubungi Radit –asisten pribadinya– melalui ponsel, namun tidak bisa. Nomor ponsel Radit tidak aktif. Kepalanya yang sudah pusing karena pengaruh alkohol, semakin pusing kala melirik sosok basah yang kini terbaring di kursi belakang mobilnya. Lelaki itu menggeleng keras. Ia menginjak pedal gas mobilnya kembali, kemudian. Memutuskan membawa saja perempuan basah itu dulu. Mungkin–"Aaakh ... "Decit rem menjerit lagi. Gara sampai terdorong ke depan karena ia kembali menghentikan mobil tiba-tiba. Terburu-buru menoleh saat terdengar suara rintih pelan. Dan benar saja. Perempuan itu bergerak sedikit walau tak membuka mata sama sekali. Segera saja Gara seperti disiram hawa panas karena perasaan lega ; perempuan itu tidak mati! Ia tidak jadi menjadi tersangka pembunuhan."Oke, calm down Gara, calm down," bisiknya bermonolog. "Yang penting dia nggak mati aja. Aku bawa pulang dulu ke apartemen. Kalo aku bawa pulang ke rumah, yang ada justru aku yang mati dibunuh Mami.""Ibu ... "Gadis basah kuyup itu merintih lagi. Membuat Gara mengerutkan alis dan membatalkan niat menghidupkan kembali mesin mobilnya."Ibu, tolong Rissa ... Ibu ... Rissa sakit ... "Gara memandang menelisik. Ada beberapa luka gores yang tampak di bagian tubuh gadis itu. Sepertinya perlu dibawa ke rumah sakit. Tapi sekali lagi, Gara juga sedang tidak berada dalam keadaan baik."Ibu ... Ibu, Rissa sakit, Bu ... " Gadis itu merintih lagi. Suaranya serak dan merana, mengundang iba."Nyariin ibunya?" Namun, Gara berdecih. "Jadi ngapain dia hujan-hujan diam di tengah jalan kalau masih nyariin ketek ibunya?"Gadis itu terlihat seperti berusia lebih dari dua puluh tahun di mata Gara. Jadi rintihannya barusan terdengar menggelikan. Sudah setua itu masih memanggil ibu dalam tidur?Ah, tapi dia pingsan, bukannya tidur. Atau malah lebih buruk dari itu."Ibu, Abian jahat ... Aneska jahat ... "Gara menggeleng. Cukup sudah mendengar racauan orang lupa diri. Lelaki itu memutar anak kunci, lantas menstarter kembali mesin mobilnya. Detik berikutnya, sedan hitam itu sudah kembali menderu di atas aspal, meninggalkan halte yang terbengkalai.Tak lama kemudian, mobil itu telah meluncur masuk ke dalam parkiran apartemen dan berhenti di sana. Nah, sekarang Gara justru bingung, bagaimana caranya membawa perempuan ini masuk ke dalam unit apartemen miliknya di lantai empat tanpa mengundang kecurigaan publik?Gara bisa menggendong sendiri sebenarnya, karena tubuh gadis ini kecil mungil. Tapi ia sudah berada dalam tingkat kemabukan skala tinggi. Jangan-jangan nanti malah ambruk berdua di dalam lift.Maka, pemuda itu berbalik dan memandang ragu-ragu kepada sosok yang tergeletak di kursi belakang mobilnya."Nona ... " panggilnya pelan. "Nona, apa kamu bisa bangun? Apa kamu baik-baik saja?"Pertanyaan bodoh, Gara memaki dirinya sendiri. Keadaan seperti itu mana ada baik-baiknya, kan?"Nona ... " Tapi Gara bersikeras. Pemuda itu ulurkan tangan untuk mengguncang pelan tubuh gadis yang basah kuyup itu. "Astaga, demi apapun, tolong bangunlah. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit nanti, tapi nanti saja, ya. Sekarang aku pusing ... ""Sshh ... "Kedua manik hitam Gara melebar kala gadis itu mendesis pelan. Ia meringis seperti menahan rasa sakit."Nona? Bangun dulu, please. Aku perlu pastikan–"Tok ... tok ...Gara terkesiap. Kaca jendela mobilnya diketuk seseorang dari luar."Pak? Bapak baik-baik saja?"Astaga!Astaga!Gara menoleh pelan. Selama beberapa saat, ia merasa tubuhnya membeku. Hingga ketika disadarinya siapa yang mengetuk dari balik kaca jendela itu, napasnya berhembus keras tanpa sadar.Itu sekuriti apartemen yang sudah ia kenal baik. Gara buru-buru menurunkan kaca jendela mobilnya."Pak Gara!""Ngagetin aja!" sembur Gara kesal."Kok lama banget nggak keluar-keluar? Pak Gara nggak apa-apa?" Pria berseragam itu memandang penuh perhatian. Ia bahkan sudah hapal kelakuan Tuan Muda satu ini jika pulang kemari pada larut malam seperti sekarang ; sudah pasti sedang mabuk!"Habis minum lagi, ya?" tebaknya, tepat sasaran."Emm ... ""Mau saya bantu ke atas? Pak Gara sama sekali nggak bisa jalan, kah?"Gara menggeleng pelan. Ia melirik dengan ekor mata ke arah kursi belakang mobilnya. Berpikir-pikir apakah pria sekuriti ini bisa menyimpan rahasia? Bagaimana reaksinya ketika mendapati Gara membawa pulang seorang gadis dalam keadaan tak sadarkan diri dan penuh luka seperti itu?Ya, Gara tahu
Carissa tersedu-sedan dengan isak tangis yang terdengar perih. Kedua tangannya meremas selimut putih yang menutupi sebagian tubuhnya di atas sofa. Beberapa plester tampak menempel di tangan itu.Sagara di hadapannya. Bersandar pada sekat ruangan yang memisahkan ruang tengah dengan dapur. Hastanya terlipat di depan dada dengan kedua netra kelam menyorot tajam. Menghujam gadis terisak yang hanya mampu menunduk dalam itu, dengan tatapan kesal."Bagaimana, mau pergi sekarang?"Carissa tidak bisa menjawab."Pintu terbuka lebar-lebar. Juga kalau kamu masih mau mati saja, aku nggak akan mencegah. Silakan berangkat sendiri, sana!"Masih tidak bisa menjawab."Jangan nggak tahu terimakasih begitu, makanya. Kamu pikir aku senang tertimpa musibah seperti ini?"Sapaan saya-anda yang tadi ia gunakan itu, sudah terhempas jauh. Sagara sebenarnya mau menggunakan lo-gue seperti ketika ia sedang bersama Radit, tapi menurutnya itu justru mengurangi wibawa. Maka begitulah sekarang. Setelah lelaki itu puas
"Hah?"Istrinya?Radit sudah membungkuk-bungkuk menahan tawa mendengar pernyataan polos gadis perawat itu, sementara Gara sendiri terbelalak dengan wajah merah padam."Pak, saya serius. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Memangnya Bapak nggak khawatir kah? Kasihan Ibu, Pak.""Hahaha ... " Tawa Radit meledak tanpa bisa dihentikan. "Istri anda kasihan loh, Bapak.""Terserah. Kalau kamu mau, bawa aja sana sendiri. Dan lo bisa diem nggak, Dit?"Masih dengan wajah kesal setengah mati, Gara berlalu meninggalkan ruangan apartemennya tanpa menoleh lagi. Meninggalkan sosok lemah yang sesekali masih merintih, mengatakan 'jangan pergi' berulang-ulang.Dan kenyataannya, Sagara justru melewati hari ini dengan buruk. Selain meeting evaluasi yang sarat kritikan pedas dari sang Direktur Utama dan berlangsung selama berjam-jam, Gara sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.Akhirnya, sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, pria dua puluh delapan tahun itu sudah beranjak dari ruanganny
"Cepetan Pak Gara, biar kata badan dia kecil begini, tapi berat nih!" Lelaki muda berseragam sekuriti itu mendesak, yang buru-buru direspon Gara dengan merapatkan tubuhnya ke pintu. Si sekuriti menerabas masuk kemudian, membaringkan tubuh Carissa di sofa yang belum juga sepuluh menit ditinggalkannya tadi."Lagian kok dibiarin aja temennya pergi sih, Pak?" Si sekuriti kembali melayangkan protes sembari memandang gadis di atas sofa itu dengan iba. "Kasihan atuh, untung aja tadi ketahuan saya. Bentar ya, kopernya saya ambilkan di lobby."Gara tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mematung membiarkan petugas keamanan itu berlari keluar. Sampai beberapa menit kemudian muncul kembali seraya menenteng koper besar di tangannya, Gara masih belum bergerak."Loh kok diam saja, Pak? Mau saya telponkan dokter?""Nggak," tolak Gara, barulah bisa menguasai diri lagi. "Makasih, Pak. Udah, biar saya aja yang urus."Urus dalam artian memandang saja dengan kedua alis menukik selama beberapa menit selanjutny
"Syarat, Kak?""Iya, dengan syarat, kamu nggak boleh keluar sama sekali dari apartemen ini. Aku nggak mau ada laporan yang sampai ke telinga ibuku kalau ada seorang gadis di dalam tempat ini. Ngerti?"Carissa tidak percaya, Tuhan masih sangat berbaik hati kepadanya dengan mengirimkan bantuan seperti ini. Gadis itu mengangguk cepat seraya menggumamkan terimakasih berkali-kali. Tak ada keberatan apapun dengan syarat yang Gara ajukan. Justru bagus, ia tidak perlu berurusan dengan dunia luar sementara. Masalah di mana ia akan tinggal nanti, itu biar dipikirkannya sendiri sembari memulihkan tubuh. Yang penting sekarang ia tidak terlantar di jalanan dengan kondisi babak belur seperti ini."Pakai kamar tamu sebelah sana, jangan diam di sofa. Kalau ada tamu datang, kamu nggak boleh keluar kamar sampai tamunya pulang." Gara merasa dirinya agak berlebihan dengan berkata begitu, tapi ya masa bodohlah. Tempat ini kan miliknya, jadi ia yang memegang kendali penuh."Baik, baik Kak ... ""Sagara.""
"Carissa, apa foto ini milikmu?"Carissa yang sudah selesai mencuci piring menoleh ke arah suara Gara di kamar tamu yang semalam ia tempati. Gadis itu bergegas mengayun langkah mendekat."Ya, Kak?""Ini milikmu?" Gara yang semula berjongkok, berdiri pelan-pelan. Mengulurkan selembar foto kecil itu kepada Carissa yang berdiri di hadapannya."Oh ... i-iya, punyaku." Kedua pipi gadis itu bersemu tiba-tiba. Ia menarik lembaran kecil itu dari sela-sela jemari Gara. Tidak berani membalas tatapan yang lebih tua, karena entah mengapa terasa begitu menusuk. "Mungkin aku nggak sengaja jatuhin ini semalam.""Itu siapamu?""Ah?" Carissa tercekat. Ia sempat mendongak sesaat hanya demi menemukan tatapan Gara yang benar-benar setajam belati, kemudian menunduk lagi. "Ini ... mantan tunanganku."Sebelah alis Gara terangkat kala mendengar penuturan itu. Mantan?Tatapan mata tajamnya kini terpancang lekat pada foto yang sekarang sedang digenggam erat oleh Rissa."I-ini, aku nggak sempet buang. Aku jaran
"Iya, Mi. Ini pacarnya Gara."Mulut Carissa terbuka lebar. Ia menatap Gara yang masih merangkul bahunya dengan mata terbelalak. "K-Kak ... ""Gara udah bilang berkali-kali sama Mami. Gara nggak mau dijodohin sama Tamara.""Kenapa nggak bilang sama Mami kalau kamu udah punya pacar?""Ah, itu ... " Sesaat, lelaki muda itu kelihatan sedikit bingung dan menghindari tatapan ibunya. "Gara belum siap kasih tau Mami.""Belum siap tapi kamu bawa dia tinggal satu atap, Sagara?" Wanita cantik itu berusaha tidak histeris. "Kalau sampai salah satu rekan Mami ada yang tahu, bagaimana? Kamu mau bikin Mami malu dunia akhirat, ha?"Gara buru-buru mendekat kala ibunya tampak memejamkan mata sembari memegangi kening dengan kedua tangan."Mami, maaf. Gara sama sekali nggak bermaksud begitu. Gara hanya nggak mau Mami jodohin sama Tamara. Ini rencananya juga udah mau Gara kenalin sama Mami, kok. Tapi Mami udah keburu tahu sendiri." Gara meringis dengan posisi jongkok, memijiti lutut ibunya. Dan Carissa ag
"Penawaran lain?" Carissa mengerjapkan mata. Rasanya ia tidak mau peduli lagi pada apapun yang Gara tawarkan kepadanya sekarang. Namun, mengingat kembali ke mana dirinya harus pergi jika harus angkat kaki dari tempat itu sekarang juga, Carissa terpaksa harus menelan kembali seluruh ego dan harga diri yang dijunjungnya setinggi langit.Ah, harga diri apanya? Ia bahkan memohon-mohon untuk diijinkan tinggal kan, kemarin?"Penawaran bagus." Gara menampakkan smirk, yang demi apapun tidak bisa Carissa tampik ; sangat menawan. "Kita menikah agar ibuku tidak terus memaksa menjodohkan dengan perempuan yang aku nggak suka. Dan kamu, bisa membalaskan sakit hatimu kepada Abian Danurendra. Is that win-win solution?""Bagaimana?" Carissa mengerutkan dahi. Sampai sini, ia belum sepenuhnya mengerti. "Kenapa Abi harus sakit hati, Kak? Dia udah mutusin aku dalam segala hal termasuk komunikasi. Nggak mungkin dia denger kabar kalaupun aku menikah.""Ya tentu saja ... " Senyum Gara semakin lebar sekarang