"Cepetan Pak Gara, biar kata badan dia kecil begini, tapi berat nih!" Lelaki muda berseragam sekuriti itu mendesak, yang buru-buru direspon Gara dengan merapatkan tubuhnya ke pintu. Si sekuriti menerabas masuk kemudian, membaringkan tubuh Carissa di sofa yang belum juga sepuluh menit ditinggalkannya tadi.
"Lagian kok dibiarin aja temennya pergi sih, Pak?" Si sekuriti kembali melayangkan protes sembari memandang gadis di atas sofa itu dengan iba. "Kasihan atuh, untung aja tadi ketahuan saya. Bentar ya, kopernya saya ambilkan di lobby."Gara tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mematung membiarkan petugas keamanan itu berlari keluar. Sampai beberapa menit kemudian muncul kembali seraya menenteng koper besar di tangannya, Gara masih belum bergerak."Loh kok diam saja, Pak? Mau saya telponkan dokter?""Nggak," tolak Gara, barulah bisa menguasai diri lagi. "Makasih, Pak. Udah, biar saya aja yang urus."Urus dalam artian memandang saja dengan kedua alis menukik selama beberapa menit selanjutnya. Gara berdecak keras, ini adalah salah satu momen paling tidak menyenangkan dalam hidupnya. Lelaki itu memandang menelisik kepada gadis yang tergolek lemah di atas sofanya.Rambut cokelatnya yang sepanjang punggung jatuh tergerai di kedua pundak. Membingkai wajah tirus berkulit putih, polos tanpa sapuan make up. Ah, dia cantik, Gara tidak menampik. Kalau dia bukan penipu, lantas apa yang dilakukannya sampai terlunta-lunta seperti itu? Memangnya jaman canggih begini masih ada orang yang kesasar tanpa arah tujuan begitu? Sebenarnya dari gua mana gadis ini berasal?"Ah, nggak tahu. Terserah!" decak Gara kesal seraya meninggalkan ruang tengah untuk membersihkan diri. Sepertinya kepalanya perlu diguyur air dingin agar bisa berpikir jernih.Nyaris seperempat jam menghabiskan waktu di kamar mandi, Gara kemudian menemukan si gadis sudah bangun dan duduk kembali ketika ia keluar kamar."Oke, jadi sebenernya apa maumu?" tanya Gara, on point tanpa basa-basi. "Oh, sebentar. Buat jaminan keamanan, aku harus minta tanda identitasmu dulu sepertinya."Gadis itu mendongak dengan bibir bergetar. Memandang nyalang kepada lelaki di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian tanpa kata, ia bergerak lemah membuka koper dan mengeluarkan pouch kecil. Memberikan kartu tanda penduduknya kepada Gara."Carissa Airin?" gumam Gara dengan alis berkerut saat mengamati kartu di tangannya. "Alamat kamu nggak terlalu jauh. Kenapa nggak mau diantar pulang? Kamu lagi ngambek sama orang tuamu terus sok-sokan pergi dari rumah, iya?"Carissa masih menunduk bergeming, sementara Gara berdecak lagi."Childish banget. Padahal menurut KTP ini umur kamu udah dua puluh empat tahun. Masih berasa ABG dengan sok-sokan minggat segala? Aku nggak mau tau, pokoknya dengan cara apapun kamu harus segera pergi dari tempat tinggalku. Aku bayar kalau perlu. Kamu nggak kasihan sama orang tuamu apa? Mau berapa duit, ha?"Carissa merasa nyeri menusuk hatinya. Gadis itu hanya bisa menggeleng lemah dengan kedua tangan mencengkeram tepian baju milik Gara yang ia kenakan. Bibirnya bergetar saat berusaha menjawab."A-aku nggak punya orang tua.""Hm?" Kening Gara berkerut lagi. Agak terkejut dengan pernyataan barusan."Aku nggak punya orang tua. Aku nggak punya tempat tinggal, aku nggak tau harus gimana. Aku minta tolong sama Kakak buat ijinin aku tinggal di sini sampai badanku kuat. Setelahnya, aku janji akan segera pergi. Aku janji, Kak ... "Kedua netra kelam Gara menyipit. "Tapi kamu punya alamat lengkap di KTP ini, Carissa Airin. Jangan bohong kamu!""Aku ... aku sudah diusir. Itu alamat rumah tanteku. Aku minta tolong, Kak. Aku nggak keberatan kalau harus menjadi asisten rumah tangga Kakak di sini, asal aku boleh tinggal sebentar. Aku bener-bener nggak tahu harus ke mana."Gara menatap Carissa dengan muak. Ingin rasanya ia dorong keluar perempuan ini, dan tidak mau lagi punya urusan dengannya. Namun, sisi kemanusiaannya terasa bergejolak. Jika memang benar apa yang gadis itu ceritakan, kemana ia akan pergi pada hari yang sudah beranjak gelap begini kalau Gara memaksa mengusirnya? Lebih-lebih lagi, sekarang sedang musim hujan."Kenapa diusir?" kejar Gara skeptis. "Kamu nggak bisa diatur? Nggak tau diri padahal tinggal sama tantemu, iya?"Ya Tuhan! Rissa benar-benar merasa ngilu meremas hatinya. Lelaki tampan di hadapannya ini benar-benar punya mulut sok tahu dan pedas tanpa rem."Maaf ... tapi itu bukan urusan kamu," lirih Carissa akhirnya. Membuat Gara kembali menyipitkan mata, raut wajahnya masih curiga penuh prasangka."Tentu aja urusan aku," tandas Gara. "Kamu tiba-tiba aja minta tinggal di tempatku padahal kita sama sekali nggak saling kenal sebelumnya. Gimana aku bisa simpulin kalau kamu sama sekali nggak punya niat jahat terselubung, ha?"Carissa pejamkan mata sesaat untuk mengumpulkan kesabaran. Lagipula Gara benar, orang asing yang tiba-tiba datang minta bantuan seperti dirinya memang harus diwaspadai, kan?"Kakak bisa bawa KTP aku sementara, kalau aku macam-macam, Kakak bisa langsung laporkan sama polisi."Jeda sesaat, keduanya saling beradu pandang hingga kemudian yang lebih tua mendesah kesal. Menyerah untuk terus beradu argumen tanpa ujung begitu."Baiklah," pungkas Gara akhirnya. Nyaris tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Baiklah, aku ijinin kamu tinggal, asal kamu janji harus segera menyingkir kalau keadaanmu sudah baik."Kedua netra cokelat Rissa melebar tak percaya saat mendengar itu. "Kak ... aku– Kak makasih banyak–""Tapi dengan syarat." Gara masih memandang tajam. Membuat gadis di hadapannya yang sesaat tadi sudah menampakkan raut lega, kini kembali menciut ketakutan."Syarat, Kak?""Syarat, Kak?""Iya, dengan syarat, kamu nggak boleh keluar sama sekali dari apartemen ini. Aku nggak mau ada laporan yang sampai ke telinga ibuku kalau ada seorang gadis di dalam tempat ini. Ngerti?"Carissa tidak percaya, Tuhan masih sangat berbaik hati kepadanya dengan mengirimkan bantuan seperti ini. Gadis itu mengangguk cepat seraya menggumamkan terimakasih berkali-kali. Tak ada keberatan apapun dengan syarat yang Gara ajukan. Justru bagus, ia tidak perlu berurusan dengan dunia luar sementara. Masalah di mana ia akan tinggal nanti, itu biar dipikirkannya sendiri sembari memulihkan tubuh. Yang penting sekarang ia tidak terlantar di jalanan dengan kondisi babak belur seperti ini."Pakai kamar tamu sebelah sana, jangan diam di sofa. Kalau ada tamu datang, kamu nggak boleh keluar kamar sampai tamunya pulang." Gara merasa dirinya agak berlebihan dengan berkata begitu, tapi ya masa bodohlah. Tempat ini kan miliknya, jadi ia yang memegang kendali penuh."Baik, baik Kak ... ""Sagara.""
"Carissa, apa foto ini milikmu?"Carissa yang sudah selesai mencuci piring menoleh ke arah suara Gara di kamar tamu yang semalam ia tempati. Gadis itu bergegas mengayun langkah mendekat."Ya, Kak?""Ini milikmu?" Gara yang semula berjongkok, berdiri pelan-pelan. Mengulurkan selembar foto kecil itu kepada Carissa yang berdiri di hadapannya."Oh ... i-iya, punyaku." Kedua pipi gadis itu bersemu tiba-tiba. Ia menarik lembaran kecil itu dari sela-sela jemari Gara. Tidak berani membalas tatapan yang lebih tua, karena entah mengapa terasa begitu menusuk. "Mungkin aku nggak sengaja jatuhin ini semalam.""Itu siapamu?""Ah?" Carissa tercekat. Ia sempat mendongak sesaat hanya demi menemukan tatapan Gara yang benar-benar setajam belati, kemudian menunduk lagi. "Ini ... mantan tunanganku."Sebelah alis Gara terangkat kala mendengar penuturan itu. Mantan?Tatapan mata tajamnya kini terpancang lekat pada foto yang sekarang sedang digenggam erat oleh Rissa."I-ini, aku nggak sempet buang. Aku jaran
"Iya, Mi. Ini pacarnya Gara."Mulut Carissa terbuka lebar. Ia menatap Gara yang masih merangkul bahunya dengan mata terbelalak. "K-Kak ... ""Gara udah bilang berkali-kali sama Mami. Gara nggak mau dijodohin sama Tamara.""Kenapa nggak bilang sama Mami kalau kamu udah punya pacar?""Ah, itu ... " Sesaat, lelaki muda itu kelihatan sedikit bingung dan menghindari tatapan ibunya. "Gara belum siap kasih tau Mami.""Belum siap tapi kamu bawa dia tinggal satu atap, Sagara?" Wanita cantik itu berusaha tidak histeris. "Kalau sampai salah satu rekan Mami ada yang tahu, bagaimana? Kamu mau bikin Mami malu dunia akhirat, ha?"Gara buru-buru mendekat kala ibunya tampak memejamkan mata sembari memegangi kening dengan kedua tangan."Mami, maaf. Gara sama sekali nggak bermaksud begitu. Gara hanya nggak mau Mami jodohin sama Tamara. Ini rencananya juga udah mau Gara kenalin sama Mami, kok. Tapi Mami udah keburu tahu sendiri." Gara meringis dengan posisi jongkok, memijiti lutut ibunya. Dan Carissa ag
"Penawaran lain?" Carissa mengerjapkan mata. Rasanya ia tidak mau peduli lagi pada apapun yang Gara tawarkan kepadanya sekarang. Namun, mengingat kembali ke mana dirinya harus pergi jika harus angkat kaki dari tempat itu sekarang juga, Carissa terpaksa harus menelan kembali seluruh ego dan harga diri yang dijunjungnya setinggi langit.Ah, harga diri apanya? Ia bahkan memohon-mohon untuk diijinkan tinggal kan, kemarin?"Penawaran bagus." Gara menampakkan smirk, yang demi apapun tidak bisa Carissa tampik ; sangat menawan. "Kita menikah agar ibuku tidak terus memaksa menjodohkan dengan perempuan yang aku nggak suka. Dan kamu, bisa membalaskan sakit hatimu kepada Abian Danurendra. Is that win-win solution?""Bagaimana?" Carissa mengerutkan dahi. Sampai sini, ia belum sepenuhnya mengerti. "Kenapa Abi harus sakit hati, Kak? Dia udah mutusin aku dalam segala hal termasuk komunikasi. Nggak mungkin dia denger kabar kalaupun aku menikah.""Ya tentu saja ... " Senyum Gara semakin lebar sekarang
"Ris ... "Sagara diam di ambang pintu. Tampak kedua manik kelamnya menyorot datar kepada Carissa yang sudah selesai didandani oleh pegawai salon. Gadis itu sekarang juga tengah berdiri kikuk, membalas pandangan Gara dengan jengah."Kenapa, Kak?" tanyanya dengan nada gusar. "Aneh banget, ya? Nggak pantas, ya?"Gara hanya mengangkat sebelah alisnya sebelum berbalik dan keluar lagi tanpa mengatakan sesuatu. Membuat Carissa terpaksa harus mengejar dengan langkah-langkah lebar. Itu sulit, asal tahu saja. Carissa sedang mengenakan heels."Kak, beneran aneh, ya?" Carissa mengulangi ketika Gara sudah membuka pintu mobilnya. "Aku nggak pede, Kak. Ini jelek, ya?"Gara menghentikan gerakan. Menatap gadis di sisi lain mobilnya itu dengan tatapan menelisik. "Ini salon punya ibuku. Jangan sembarangan deh, bilang kalau hasilnya jelek."Apa? Duh, Rissa salah bicara."Mak-maksud aku, bukan salonnya yang jelek, Kak. Salonnya bagus sekali, kok. Cuma objeknya aja yang nggak bagus." Carissa tersenyum kak
"Berani-beraninya mendekati putraku. Memangnya kamu punya apa?"Carissa tertegun. Ia memang sudah tahu bahwa wanita di hadapannya itu bukanlah orang sembarangan, namun apakah harus pertanyaan semacam ini dilontarkan saat kedatangan pertama Carissa ke rumahnya?Gadis manis itu demikian shock-nya hingga tidak begitu menyadari kala Sagara menyela."Mami, jangan begitu. Nanti dia ketakutan, malah nggak mau dateng ke sini lagi."Mustahil ada gadis yang tidak ketakutan dengan respon calon mertua yang seperti itu, kan?"Gara!""Ini bukan kantor, Mam. Kita nggak lagi ngebahas masalah kerjaan. Udah ah, Gara laper, nih. Mami masakin apa buat Gara?"Sebentar, sebentar. Otak Carissa terlalu tumpul untuk mencerna berbagai kejadian yang menimpanya secara bertubi-tubi barusan. Mengapa Gara sesantai itu menghadapi ibunya yang jelas-jelas sedang meledak marah?"Padahal Mami cuma mau bangun image, Gara. Tapi kamu seenaknya aja bikin kacau. Ya udahlah. Mami masak rendang, sama macem-macem. Ajak Cassandr
Carissa masih membersit sudut matanya sesekali. Isak kecilnya juga belum sepenuhnya reda. Gadis itu diam sembari mempermainkan tali dress-nya di tepi balkon kamar Gara yang megah.Pemandangan kelap-kelip lampu kota menghampar di hadapannya, ditemani desir angin malam yang menyapa lembut.Sehebat ini takdir menjungkirbalikkan hidupnya. Masih membekas jelas dalam benak, betapa dunianya terasa remuk redam, gelap gulita saat Abian mengatakan bahwa ia tidak bisa menikahinya karena Anes. Dan sekarang, ia berdiri di sini. Di tepi balkon kamar di lantai tiga sebuah rumah yang lebih pantas disebut istana, sebagai calon nyonya muda.Apakah itu bisa dipercaya?"Masuk, Ris!" Sebuah suara bertitah, membuat Carissa menoleh. "Kamu mau masuk angin, berdiri di situ pakai baju tipis?"Sagara sudah berada di belakangnya. Lelaki itu cuek saja membuka satu-persatu kancing kemeja yang ia kenakan. Lantas menanggalkannya lepas dari tubuh bagian atas yang terbentuk sempurna karena Gara hobi work out. Membuat
*"Jangan norak begitu kamu, heh!" Yasmin mendelik kepada gadis bersurai panjang yang mengikuti langkahnya dengan kikuk. Membuat yang lebih muda terperanjat."I-iya, Bu.""Beneran deh, aku nggak habis pikir. Kok bisa-bisanya Sagara ketemunya sama yang seperti ini. Aku sebenernya nggak mau. Tapi kalau putraku suka ya apa boleh buat?"Wanita jelita itu mengomel ke sana kemari seraya membuka handle pintu kaca yang cantik. Memasuki sebuah butik yang sekali pandang saja bisa ditebak berapa harga outfit yang dipajang di sana. Butik ini bukan tempat yang ia datangi bersama Sagara kemarin, tapi memiliki nama yang sama. Sudah jelas ini cabangnya atau semacam itu."Helen!" pekik Yasmin ketika telah melenggang di dalam butik premium itu. Tak peduli dengan tatap mata beberapa pengunjung yang berada di sana. "Helen, kamu urus ini anak! Suruh buang aja itu bajunya yang lama. Carikan outfit yang simpel aja, buat jalan!"Seorang pegawai cantik muncul dari balik baju-baju yang digantung rapi. Cantik s