PLAAK!
Rasa panas perlahan menjalari pipi kirinya yang baru saja ditampar oleh Abian. Carissa tertegun, mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan."A-Abi ... " bisiknya dengan suara tercekat. "Abi kamu nampar aku?""Kamu yang cari gara-gara duluan, Ris!""Kamu sampai hati main tangan sama aku hanya karena belain Aneska?" Suara Carissa nyaris histeris, tidak bisa ia tahan."Makanya kalau ngomong itu dipikir dulu. Kamu ngatain Anes begitu, memangnya diri kamu sendiri udah yang paling suci apa?""Abian!" jerit Carissa. "Kamu tahu selama tiga tahun ini aku setengah mati jaga diri buat kamu. Bisa-bisanya kamu bicara begitu!""Aku nggak tahu," sela Abian tajam. "Kamu punya banyak teman cowok di tempat kerjamu, kan? Aku mana tahu kalau kamu pernah main belakang.""Abian, Ya Tuhan!" Carissa benar-benar histeris sekarang. Air matanya deras berjatuhan, membentuk jejak di kedua pipinya yang putih. Gelombang amarah terasa menyesaki dadanya.Entah apa yang merasuki pikiran lelaki yang sebelumnya tidak pernah meninggikan suara kepadanya sekalipun itu, hingga menjadi seperti ini."Abi, kamu jahat!" Carissa tergugu seraya menekan dadanya yang kelewat sesak. "Aku salah apa sampai kamu bisa sejahat itu sama aku, Bi? Aku punya salah apa sama kalian semua?"Lelaki tampan itu memalingkan wajah, membuang pandangan. Sekilas Carissa sempat menangkap getar pada raut wajahnya, tapi Abian buru-buru mengubah ekspresinya kembali dingin."Sudah, Ris ... " Arini kembali bersuara setelah sekian lama bungkam. Wanita itu melangkah mendekat dan menepuk bahu Carissa pelan, walau tak sedikitpun ada rasa tentram dari tepukan yang ia berikan. "Abian juga udah mutusin, kan? Kamu nggak bisa maksain lagi. Yah, mungkin ini jalan terbaik buat kalian berdua."Jalan terbaik macam apa?Ringan sekali wanita itu berkata-kata. Seakan ia sedang membicarakan sesuatu yang tidak memiliki dampak apapun kepada orang lain. Sementara Carissa setengah mati bertahan agar kedua kakinya tidak ambruk dan tetap tegak menapak."Nah, jadi Tante minta sekali lagi, sebaiknya kamu segera memutuskan di mana kamu akan tinggal setelah ini. Lebih cepat lebih baik, Ris.""Tan-Tante ... Carissa harus pergi ke mana? Tante tahu Rissa nggak punya siapa-siapa lagi di sini."Arini mendesah pelan. "Kamu masih punya akal pikiran yang bisa kamu gunakan dengan baik, kan?"*Gemuruh guntur menggelegar dengan kilat menyambar di penjuru langit, menandakan mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Tapi, Carissa tidak peduli. Pun ketika berpasang-pasang mata mampir untuk menatapnya dengan heran, Carissa tetap tak peduli. Gadis itu masih dengan langkah gontainya, berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Jakarta seramai ini, tapi hati dan perasaan Carissa hampa.Menemukan halte kosong yang terlantar, gadis itu mendudukkan dirinya di sana seraya melepaskan pegangannya kepada sebuah koper besar yang sedari tadi ia seret. Menghela napas lelah kemudian, bahkan air mata sudah tak lagi bisa keluar.Ia tak menyangka, takdir bisa menjungkirbalikkan hidupnya hanya dalam waktu sesingkat itu.Rintik-rintik gerimis kini mulai jatuh satu demi satu. Perlahan tapi pasti, berubah menjadi curahan air langit yang deras. Carissa membiarkan tubuhnya terhempas percikan hujan karena atap halte tempatnya duduk sudah separuh rusak. Mengabaikan hawa dingin menusuk kulit di balik cardigan tipisnya, ia memandang kosong ke depan."Ibu ... " rintihnya pelan, "Rissa harus ke mana? Rissa nggak punya siapa-siapa lagi."Teringat ibu dan ayah yang sudah lama berpulang, butir-butir air mata kembali menyeruak dari dua manik cokelat itu."Harusnya dulu kalian ajak Rissa sekalian. Bukan malah tinggalin Rissa sendirian dan hidup seperti ini. Ibu, Ayah ... Rissa nggak sanggup lagi."Pandangan gadis itu mengabur karena air mata. Tubuhnya menggigil basah kuyup. Namun lebih daripada itu, seluruh isi kepalanya seperti melayang keluar. Carissa tidak bisa berpikir lagi. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Menggulir perlahan daftar kontak yang mungkin bisa ia hubungi untuk meminta bantuan. Namun, beberapa saat berusaha, tak ada satupun nomor yang sudi mengangkat panggilannya."Aku harus ke mana?" ratapnya sesak. "Aku harus minta tolong sama siapa? Kenapa kalian sejahat ini? Kenapa dulu Tante setuju ngerawat aku kalau akhirnya malah bikin aku hancur begini? Harusnya dulu kalian biarin aja aku hidup sendirian!" Carissa tidak peduli jikalau ada yang menganggapnya tidak waras karena terus berteriak-teriak seorang diri di bawah hujan deras seperti itu. Ia memukul-mukul dadanya, berharap bisa mengendurkan rasa sesak yang nyaris membuat napasnya lindap."Ya Tuhan, maafkan aku," bisiknya kemudian setelah tangisnya mereda. "Aku nggak punya lagi alasan untuk mempertahankan hidup. Nggak ada yang peduli kan, aku hidup apa nggak? Nggak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku kembali kepadaMu sekarang, kan?"Gadis itu berdiri di atas lututnya yang gemetar, melangkah menembus derasnya hujan yang segera saja membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.Kakinya menapak aspal jalan raya, menyambut kendaraan yang melintas sesekali, namun selalu dengan kecepatan tinggi. Mungkin mereka terburu-buru ingin sampai karena berada di jalanan dengan hujan sederas ini, bukanlah pilihan bagus.Ia menggeleng pelan, mengusir bayangan Abian dalam benaknya."Aku harap kamu berbahagia, Bi," bisiknya lagi. "Kamu mungkin udah bikin aku sehancur ini, tapi aku nggak akan pernah bisa hilangin rasa cinta aku buat kamu."Oke, sebutlah Carissa bodoh. Tapi memang begitulah kenyataannya. Carissa terlalu mencintai Abian."Mungkin aku harus simpen aja perasaanku buat di kehidupan yang lain, nanti. Semoga kamu dan Aneska selalu berbahagia."Apakah akan menyakitkan?Carissa takut mati, tapi hidup sama sekali tidak akan memberikan pilihan yang lebih baik. Ia melangkah menuju tengah jalan raya, menempatkan tubuhnya di sana, di mana sebuah sedan hitam sedang melaju dengan kencang.Jantung Carissa terasa bergemuruh, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sebab detik berikutnya, yang ia rasakan adalah hempasan kuat diikuti denyut menyakitkan."Semudah itu?" bisik Carissa tercekat. "Semudah itukah aku mati?"Rasa sakit itu masih berdenyut, namun bibir Carissa menyungging senyum. Benarkah kematian datang menjemputnya semudah itu?Sorot menyilaukan dari kejauhan menyapu penglihatan Carissa yang buram karena air mata bercampur air hujan. Netra gadis itu memicing, mencoba mendapatkan fokus yang lebih jelas. Tapi percuma sajalah, ia tidak akan bisa melihat di bawah guyuran hujan sederas ini. Lagipula, apa yang mau dilihatnya?Dengan langkah terhuyung, gadis itu maju. Tepat menyambut kala hantaman keras membuat tubuhnya terpental dan jatuh berdebam beberapa meter dari tempat sebelumnya.BRAKKK! Decit rem terdengar menekan aspal basah saat lelaki di balik kemudi itu memaksa sedan hitamnya untuk berhenti mendadak. Kesadarannya terkumpul dengan tiba-tiba begitu ia menoleh ke arah spion dan melihat sesuatu tergeletak di atas jalanan sepi, di bawah guyuran hujan. Ketakutan pelan-pelan naik merayapi tubuhnya. Terlintas dalam benak untuk kembali tancap gas dan meninggalkan sosok itu saja, tapi sisi kemanusiaannya menolak ide itu. Maka lelaki itu menyerah. Ia mengambil payung dan keluar dari mobil bersama sumpah serapah,
Astaga!Gara menoleh pelan. Selama beberapa saat, ia merasa tubuhnya membeku. Hingga ketika disadarinya siapa yang mengetuk dari balik kaca jendela itu, napasnya berhembus keras tanpa sadar.Itu sekuriti apartemen yang sudah ia kenal baik. Gara buru-buru menurunkan kaca jendela mobilnya."Pak Gara!""Ngagetin aja!" sembur Gara kesal."Kok lama banget nggak keluar-keluar? Pak Gara nggak apa-apa?" Pria berseragam itu memandang penuh perhatian. Ia bahkan sudah hapal kelakuan Tuan Muda satu ini jika pulang kemari pada larut malam seperti sekarang ; sudah pasti sedang mabuk!"Habis minum lagi, ya?" tebaknya, tepat sasaran."Emm ... ""Mau saya bantu ke atas? Pak Gara sama sekali nggak bisa jalan, kah?"Gara menggeleng pelan. Ia melirik dengan ekor mata ke arah kursi belakang mobilnya. Berpikir-pikir apakah pria sekuriti ini bisa menyimpan rahasia? Bagaimana reaksinya ketika mendapati Gara membawa pulang seorang gadis dalam keadaan tak sadarkan diri dan penuh luka seperti itu?Ya, Gara tahu
Carissa tersedu-sedan dengan isak tangis yang terdengar perih. Kedua tangannya meremas selimut putih yang menutupi sebagian tubuhnya di atas sofa. Beberapa plester tampak menempel di tangan itu.Sagara di hadapannya. Bersandar pada sekat ruangan yang memisahkan ruang tengah dengan dapur. Hastanya terlipat di depan dada dengan kedua netra kelam menyorot tajam. Menghujam gadis terisak yang hanya mampu menunduk dalam itu, dengan tatapan kesal."Bagaimana, mau pergi sekarang?"Carissa tidak bisa menjawab."Pintu terbuka lebar-lebar. Juga kalau kamu masih mau mati saja, aku nggak akan mencegah. Silakan berangkat sendiri, sana!"Masih tidak bisa menjawab."Jangan nggak tahu terimakasih begitu, makanya. Kamu pikir aku senang tertimpa musibah seperti ini?"Sapaan saya-anda yang tadi ia gunakan itu, sudah terhempas jauh. Sagara sebenarnya mau menggunakan lo-gue seperti ketika ia sedang bersama Radit, tapi menurutnya itu justru mengurangi wibawa. Maka begitulah sekarang. Setelah lelaki itu puas
"Hah?"Istrinya?Radit sudah membungkuk-bungkuk menahan tawa mendengar pernyataan polos gadis perawat itu, sementara Gara sendiri terbelalak dengan wajah merah padam."Pak, saya serius. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Memangnya Bapak nggak khawatir kah? Kasihan Ibu, Pak.""Hahaha ... " Tawa Radit meledak tanpa bisa dihentikan. "Istri anda kasihan loh, Bapak.""Terserah. Kalau kamu mau, bawa aja sana sendiri. Dan lo bisa diem nggak, Dit?"Masih dengan wajah kesal setengah mati, Gara berlalu meninggalkan ruangan apartemennya tanpa menoleh lagi. Meninggalkan sosok lemah yang sesekali masih merintih, mengatakan 'jangan pergi' berulang-ulang.Dan kenyataannya, Sagara justru melewati hari ini dengan buruk. Selain meeting evaluasi yang sarat kritikan pedas dari sang Direktur Utama dan berlangsung selama berjam-jam, Gara sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.Akhirnya, sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, pria dua puluh delapan tahun itu sudah beranjak dari ruanganny
"Cepetan Pak Gara, biar kata badan dia kecil begini, tapi berat nih!" Lelaki muda berseragam sekuriti itu mendesak, yang buru-buru direspon Gara dengan merapatkan tubuhnya ke pintu. Si sekuriti menerabas masuk kemudian, membaringkan tubuh Carissa di sofa yang belum juga sepuluh menit ditinggalkannya tadi."Lagian kok dibiarin aja temennya pergi sih, Pak?" Si sekuriti kembali melayangkan protes sembari memandang gadis di atas sofa itu dengan iba. "Kasihan atuh, untung aja tadi ketahuan saya. Bentar ya, kopernya saya ambilkan di lobby."Gara tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mematung membiarkan petugas keamanan itu berlari keluar. Sampai beberapa menit kemudian muncul kembali seraya menenteng koper besar di tangannya, Gara masih belum bergerak."Loh kok diam saja, Pak? Mau saya telponkan dokter?""Nggak," tolak Gara, barulah bisa menguasai diri lagi. "Makasih, Pak. Udah, biar saya aja yang urus."Urus dalam artian memandang saja dengan kedua alis menukik selama beberapa menit selanjutny
"Syarat, Kak?""Iya, dengan syarat, kamu nggak boleh keluar sama sekali dari apartemen ini. Aku nggak mau ada laporan yang sampai ke telinga ibuku kalau ada seorang gadis di dalam tempat ini. Ngerti?"Carissa tidak percaya, Tuhan masih sangat berbaik hati kepadanya dengan mengirimkan bantuan seperti ini. Gadis itu mengangguk cepat seraya menggumamkan terimakasih berkali-kali. Tak ada keberatan apapun dengan syarat yang Gara ajukan. Justru bagus, ia tidak perlu berurusan dengan dunia luar sementara. Masalah di mana ia akan tinggal nanti, itu biar dipikirkannya sendiri sembari memulihkan tubuh. Yang penting sekarang ia tidak terlantar di jalanan dengan kondisi babak belur seperti ini."Pakai kamar tamu sebelah sana, jangan diam di sofa. Kalau ada tamu datang, kamu nggak boleh keluar kamar sampai tamunya pulang." Gara merasa dirinya agak berlebihan dengan berkata begitu, tapi ya masa bodohlah. Tempat ini kan miliknya, jadi ia yang memegang kendali penuh."Baik, baik Kak ... ""Sagara.""
"Carissa, apa foto ini milikmu?"Carissa yang sudah selesai mencuci piring menoleh ke arah suara Gara di kamar tamu yang semalam ia tempati. Gadis itu bergegas mengayun langkah mendekat."Ya, Kak?""Ini milikmu?" Gara yang semula berjongkok, berdiri pelan-pelan. Mengulurkan selembar foto kecil itu kepada Carissa yang berdiri di hadapannya."Oh ... i-iya, punyaku." Kedua pipi gadis itu bersemu tiba-tiba. Ia menarik lembaran kecil itu dari sela-sela jemari Gara. Tidak berani membalas tatapan yang lebih tua, karena entah mengapa terasa begitu menusuk. "Mungkin aku nggak sengaja jatuhin ini semalam.""Itu siapamu?""Ah?" Carissa tercekat. Ia sempat mendongak sesaat hanya demi menemukan tatapan Gara yang benar-benar setajam belati, kemudian menunduk lagi. "Ini ... mantan tunanganku."Sebelah alis Gara terangkat kala mendengar penuturan itu. Mantan?Tatapan mata tajamnya kini terpancang lekat pada foto yang sekarang sedang digenggam erat oleh Rissa."I-ini, aku nggak sempet buang. Aku jaran
"Iya, Mi. Ini pacarnya Gara."Mulut Carissa terbuka lebar. Ia menatap Gara yang masih merangkul bahunya dengan mata terbelalak. "K-Kak ... ""Gara udah bilang berkali-kali sama Mami. Gara nggak mau dijodohin sama Tamara.""Kenapa nggak bilang sama Mami kalau kamu udah punya pacar?""Ah, itu ... " Sesaat, lelaki muda itu kelihatan sedikit bingung dan menghindari tatapan ibunya. "Gara belum siap kasih tau Mami.""Belum siap tapi kamu bawa dia tinggal satu atap, Sagara?" Wanita cantik itu berusaha tidak histeris. "Kalau sampai salah satu rekan Mami ada yang tahu, bagaimana? Kamu mau bikin Mami malu dunia akhirat, ha?"Gara buru-buru mendekat kala ibunya tampak memejamkan mata sembari memegangi kening dengan kedua tangan."Mami, maaf. Gara sama sekali nggak bermaksud begitu. Gara hanya nggak mau Mami jodohin sama Tamara. Ini rencananya juga udah mau Gara kenalin sama Mami, kok. Tapi Mami udah keburu tahu sendiri." Gara meringis dengan posisi jongkok, memijiti lutut ibunya. Dan Carissa ag