Astaga!
Gara menoleh pelan. Selama beberapa saat, ia merasa tubuhnya membeku. Hingga ketika disadarinya siapa yang mengetuk dari balik kaca jendela itu, napasnya berhembus keras tanpa sadar.Itu sekuriti apartemen yang sudah ia kenal baik. Gara buru-buru menurunkan kaca jendela mobilnya."Pak Gara!""Ngagetin aja!" sembur Gara kesal."Kok lama banget nggak keluar-keluar? Pak Gara nggak apa-apa?" Pria berseragam itu memandang penuh perhatian. Ia bahkan sudah hapal kelakuan Tuan Muda satu ini jika pulang kemari pada larut malam seperti sekarang ; sudah pasti sedang mabuk!"Habis minum lagi, ya?" tebaknya, tepat sasaran."Emm ... ""Mau saya bantu ke atas? Pak Gara sama sekali nggak bisa jalan, kah?"Gara menggeleng pelan. Ia melirik dengan ekor mata ke arah kursi belakang mobilnya. Berpikir-pikir apakah pria sekuriti ini bisa menyimpan rahasia? Bagaimana reaksinya ketika mendapati Gara membawa pulang seorang gadis dalam keadaan tak sadarkan diri dan penuh luka seperti itu?Ya, Gara tahu lelaki itu adalah orang baik."Pak, saya boleh minta tolong, nggak?""Lah, dari tadi saya nawarin bantuan, loh.""Bisa bantu bawa dia ke atas? Saya pusing," tunjuk Gara kepada sosok yang meringkuk di kursi belakang itu, sementara menggeser posisinya sedikit. Membuat sekuriti yang bersangkutan memekik tertahan dengan kedua mata membulat ngeri."Astaga, Pak!""Kepala saya pusing.""Bapak apakan dia? D-dia sudah ... ? Pak, saya nggak mau ikut-ikut! Saya nggak–""Ssshh!""Saya nggak mau dipenjara! Saya nggak–""Heh!"Gara mendelik kesal, membuat pria muda itu kian ketakutan. Bukan salah si sekuriti, pun. Lagipula, siapa yang tidak mengira Gara adalah penjahat jika menemukan kondisi seperti ini? Larut malam membawa pulang anak gadis orang dengan keadaan yang mengenaskan."Dia pingsan di tengah jalan, makanya saya tolong. Jangan mikir yang aneh-aneh, deh!""Bagaimana? Nolong?""Iyalah. Emangnya saya kelihatan mirip penjahat apa? Saya nggak bisa bawa sendiri. Kepala saya beneran pusing ini. Udah cepetan, mobil saya basah semua, tuh!""T-tapi, Pak–""Nih, buat bapak." Gara menarik dompet dari dashboard dan menarik lima lembar uang merah, kemudian menyorongkan ke tangan lelaki sekuriti itu, yang jelas tidak bisa ditolak. Uang membereskan segala masalah, benar?Maka dalam waktu singkat saja, tubuh basah gadis tadi sudah berpindah ke atas sofa dalam unit apartemen Gara, lengkap dengan koper besarnya sekalian.Iya, di atas sofa. Gara tidak mau ranjangnya basah."Tapi sofanya juga jadi basah, kan?" Menggerutu lagi. Kedua alis presisi milik lelaki tampan itu bertaut. Sagara Aditama adalah lelaki yang sangat perfeksionis, termasuk masalah kenyamanan tempat tinggalnya. Sofa yang basah jelas bukan ide bagus."Nggak ada pilihan lain," sungutnya kesal. "Nanti kalo dia bangun, bisa langsung aku usir sekalian minta ganti rugi. Ah, hari apa sih ini? Kenapa dari pagi sial terus?"Gara melepas jas dan kemeja kerjanya yang juga basah kuyup, lantas membuka lemari setinggi dua meter yang isinya tersusun sangat rapi. Decak kesalnya terdengar lagi kala dilihatnya hanya ada baju pribadinya yang jelas akan kebesaran dipakai si gadis basah. Lebih daripada itu, benarkah dia yang harus menggantikan baju si gadis?Lelaki rupawan itu sekali lagi mengerang frustasi."Sialan!"*Carissa tidak tahu apakah orang mati bisa merasa kesulitan membuka mata seperti ini? Ah, apakah orang mati masih perlu membuka mata? Carissa tidak tahu, tapi ia merasa perlu. Entah dirinya ini benar-benar mati atau tidak.Gadis itu menggeser posisinya, dan segera saja meringis karena sengatan nyeri terasa hampir di setiap bagian tubuh. Kedua manik cokelatnya mengerjap untuk memperoleh atensi yang lebih baik, dan dia tercengang. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan mewah di sekelilingnya. Nah, apakah ini surga?Saat suara kecil terdengar dari pintu di seberangnya, ia menoleh pelan dan tercengang untuk kali kedua.Malaikat?Wah, jadi dia benar sudah mati dan sedang berada si surga saat ini?"Sudah bangun?"Astaga, bahkan suaranya saja tampan."S-siapa ... ""Saya pemilik tempat ini. Kalau anda sudah merasa lebih baik, silakan angkat kaki dari sini segera. Sebenarnya saya tidak menerima tamu dalam bentuk apapun."Kernyitan dalam tercetak di kening Carissa yang pusing. Jadi maksudnya bagaimana? Seingatnya surga adalah milik semua orang yang beriman dan patuh kepada Tuhan. Bisa-bisanya orang ini mengaku memilikinya secara pribadi.Tunggu, apa dia ini manusia?"Di mana ini?" Akhirnya, gadis itu bersuara."Apartemen milik saya.""Apartemen?" Kedua manik cokelat Carissa membola penuh. Raut wajahnya mendadak diselimuti kekecewaan mendalam. Ia diam selama beberapa saat sebelum kembali bersuara lirih. "Jadi ternyata aku nggak mati?""Maaf?"Menggeleng lesu. Carissa mendesah kecil. "Bagaimana saya ada di sini?""Hm? Sama sekali nggak ingat?""Kenapa saya selamat?" Gadis itu mendongak, menatap pria tampan yang sedang balas memandangnya dengan raut penuh tanya. "Kenapa saya bisa selamat dan nggak mati?""Ap–""Kenapa anda selamatkan saya? Kenapa anda nggak biarkan saya mati aja?""Hei–""Saya mau mati! Saya hanya mau mati!!""Hei! Hei!"Sagara yang sempat tercengang itu terburu-buru mendekat. Diraihnya kedua tangan Carissa yang berusaha menjambak rambutnya sendiri."Berhenti, hei!""Biarkan saya mati! Saya nggak mau hidup, saya mau mati!""Nona, jangan begitu–""Saya mau mati! Kenapa kamu nggak biarkan saya mati? Kenapa?" Carissa histeris. Gadis itu mencengkeram erat tangan Gara."Astaga, demi Tuhan, Nona!" Sagara menyentak, dan itu membuat Carissa bungkam seketika. "Silakan saja kalau mau mati, tapi tolong jangan di sini! Saya nggak peduli apa masalah anda, dan saya sama sekali nggak mau terlibat. Silakan pergi dari sini sekarang juga kalau anda mau mati!""Ka-kamu ... ""Pergi dari sini!"Carissa tersedu-sedan dengan isak tangis yang terdengar perih. Kedua tangannya meremas selimut putih yang menutupi sebagian tubuhnya di atas sofa. Beberapa plester tampak menempel di tangan itu.Sagara di hadapannya. Bersandar pada sekat ruangan yang memisahkan ruang tengah dengan dapur. Hastanya terlipat di depan dada dengan kedua netra kelam menyorot tajam. Menghujam gadis terisak yang hanya mampu menunduk dalam itu, dengan tatapan kesal."Bagaimana, mau pergi sekarang?"Carissa tidak bisa menjawab."Pintu terbuka lebar-lebar. Juga kalau kamu masih mau mati saja, aku nggak akan mencegah. Silakan berangkat sendiri, sana!"Masih tidak bisa menjawab."Jangan nggak tahu terimakasih begitu, makanya. Kamu pikir aku senang tertimpa musibah seperti ini?"Sapaan saya-anda yang tadi ia gunakan itu, sudah terhempas jauh. Sagara sebenarnya mau menggunakan lo-gue seperti ketika ia sedang bersama Radit, tapi menurutnya itu justru mengurangi wibawa. Maka begitulah sekarang. Setelah lelaki itu puas
"Hah?"Istrinya?Radit sudah membungkuk-bungkuk menahan tawa mendengar pernyataan polos gadis perawat itu, sementara Gara sendiri terbelalak dengan wajah merah padam."Pak, saya serius. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera. Memangnya Bapak nggak khawatir kah? Kasihan Ibu, Pak.""Hahaha ... " Tawa Radit meledak tanpa bisa dihentikan. "Istri anda kasihan loh, Bapak.""Terserah. Kalau kamu mau, bawa aja sana sendiri. Dan lo bisa diem nggak, Dit?"Masih dengan wajah kesal setengah mati, Gara berlalu meninggalkan ruangan apartemennya tanpa menoleh lagi. Meninggalkan sosok lemah yang sesekali masih merintih, mengatakan 'jangan pergi' berulang-ulang.Dan kenyataannya, Sagara justru melewati hari ini dengan buruk. Selain meeting evaluasi yang sarat kritikan pedas dari sang Direktur Utama dan berlangsung selama berjam-jam, Gara sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.Akhirnya, sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, pria dua puluh delapan tahun itu sudah beranjak dari ruanganny
"Cepetan Pak Gara, biar kata badan dia kecil begini, tapi berat nih!" Lelaki muda berseragam sekuriti itu mendesak, yang buru-buru direspon Gara dengan merapatkan tubuhnya ke pintu. Si sekuriti menerabas masuk kemudian, membaringkan tubuh Carissa di sofa yang belum juga sepuluh menit ditinggalkannya tadi."Lagian kok dibiarin aja temennya pergi sih, Pak?" Si sekuriti kembali melayangkan protes sembari memandang gadis di atas sofa itu dengan iba. "Kasihan atuh, untung aja tadi ketahuan saya. Bentar ya, kopernya saya ambilkan di lobby."Gara tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mematung membiarkan petugas keamanan itu berlari keluar. Sampai beberapa menit kemudian muncul kembali seraya menenteng koper besar di tangannya, Gara masih belum bergerak."Loh kok diam saja, Pak? Mau saya telponkan dokter?""Nggak," tolak Gara, barulah bisa menguasai diri lagi. "Makasih, Pak. Udah, biar saya aja yang urus."Urus dalam artian memandang saja dengan kedua alis menukik selama beberapa menit selanjutny
"Syarat, Kak?""Iya, dengan syarat, kamu nggak boleh keluar sama sekali dari apartemen ini. Aku nggak mau ada laporan yang sampai ke telinga ibuku kalau ada seorang gadis di dalam tempat ini. Ngerti?"Carissa tidak percaya, Tuhan masih sangat berbaik hati kepadanya dengan mengirimkan bantuan seperti ini. Gadis itu mengangguk cepat seraya menggumamkan terimakasih berkali-kali. Tak ada keberatan apapun dengan syarat yang Gara ajukan. Justru bagus, ia tidak perlu berurusan dengan dunia luar sementara. Masalah di mana ia akan tinggal nanti, itu biar dipikirkannya sendiri sembari memulihkan tubuh. Yang penting sekarang ia tidak terlantar di jalanan dengan kondisi babak belur seperti ini."Pakai kamar tamu sebelah sana, jangan diam di sofa. Kalau ada tamu datang, kamu nggak boleh keluar kamar sampai tamunya pulang." Gara merasa dirinya agak berlebihan dengan berkata begitu, tapi ya masa bodohlah. Tempat ini kan miliknya, jadi ia yang memegang kendali penuh."Baik, baik Kak ... ""Sagara.""
"Carissa, apa foto ini milikmu?"Carissa yang sudah selesai mencuci piring menoleh ke arah suara Gara di kamar tamu yang semalam ia tempati. Gadis itu bergegas mengayun langkah mendekat."Ya, Kak?""Ini milikmu?" Gara yang semula berjongkok, berdiri pelan-pelan. Mengulurkan selembar foto kecil itu kepada Carissa yang berdiri di hadapannya."Oh ... i-iya, punyaku." Kedua pipi gadis itu bersemu tiba-tiba. Ia menarik lembaran kecil itu dari sela-sela jemari Gara. Tidak berani membalas tatapan yang lebih tua, karena entah mengapa terasa begitu menusuk. "Mungkin aku nggak sengaja jatuhin ini semalam.""Itu siapamu?""Ah?" Carissa tercekat. Ia sempat mendongak sesaat hanya demi menemukan tatapan Gara yang benar-benar setajam belati, kemudian menunduk lagi. "Ini ... mantan tunanganku."Sebelah alis Gara terangkat kala mendengar penuturan itu. Mantan?Tatapan mata tajamnya kini terpancang lekat pada foto yang sekarang sedang digenggam erat oleh Rissa."I-ini, aku nggak sempet buang. Aku jaran
"Iya, Mi. Ini pacarnya Gara."Mulut Carissa terbuka lebar. Ia menatap Gara yang masih merangkul bahunya dengan mata terbelalak. "K-Kak ... ""Gara udah bilang berkali-kali sama Mami. Gara nggak mau dijodohin sama Tamara.""Kenapa nggak bilang sama Mami kalau kamu udah punya pacar?""Ah, itu ... " Sesaat, lelaki muda itu kelihatan sedikit bingung dan menghindari tatapan ibunya. "Gara belum siap kasih tau Mami.""Belum siap tapi kamu bawa dia tinggal satu atap, Sagara?" Wanita cantik itu berusaha tidak histeris. "Kalau sampai salah satu rekan Mami ada yang tahu, bagaimana? Kamu mau bikin Mami malu dunia akhirat, ha?"Gara buru-buru mendekat kala ibunya tampak memejamkan mata sembari memegangi kening dengan kedua tangan."Mami, maaf. Gara sama sekali nggak bermaksud begitu. Gara hanya nggak mau Mami jodohin sama Tamara. Ini rencananya juga udah mau Gara kenalin sama Mami, kok. Tapi Mami udah keburu tahu sendiri." Gara meringis dengan posisi jongkok, memijiti lutut ibunya. Dan Carissa ag
"Penawaran lain?" Carissa mengerjapkan mata. Rasanya ia tidak mau peduli lagi pada apapun yang Gara tawarkan kepadanya sekarang. Namun, mengingat kembali ke mana dirinya harus pergi jika harus angkat kaki dari tempat itu sekarang juga, Carissa terpaksa harus menelan kembali seluruh ego dan harga diri yang dijunjungnya setinggi langit.Ah, harga diri apanya? Ia bahkan memohon-mohon untuk diijinkan tinggal kan, kemarin?"Penawaran bagus." Gara menampakkan smirk, yang demi apapun tidak bisa Carissa tampik ; sangat menawan. "Kita menikah agar ibuku tidak terus memaksa menjodohkan dengan perempuan yang aku nggak suka. Dan kamu, bisa membalaskan sakit hatimu kepada Abian Danurendra. Is that win-win solution?""Bagaimana?" Carissa mengerutkan dahi. Sampai sini, ia belum sepenuhnya mengerti. "Kenapa Abi harus sakit hati, Kak? Dia udah mutusin aku dalam segala hal termasuk komunikasi. Nggak mungkin dia denger kabar kalaupun aku menikah.""Ya tentu saja ... " Senyum Gara semakin lebar sekarang
"Ris ... "Sagara diam di ambang pintu. Tampak kedua manik kelamnya menyorot datar kepada Carissa yang sudah selesai didandani oleh pegawai salon. Gadis itu sekarang juga tengah berdiri kikuk, membalas pandangan Gara dengan jengah."Kenapa, Kak?" tanyanya dengan nada gusar. "Aneh banget, ya? Nggak pantas, ya?"Gara hanya mengangkat sebelah alisnya sebelum berbalik dan keluar lagi tanpa mengatakan sesuatu. Membuat Carissa terpaksa harus mengejar dengan langkah-langkah lebar. Itu sulit, asal tahu saja. Carissa sedang mengenakan heels."Kak, beneran aneh, ya?" Carissa mengulangi ketika Gara sudah membuka pintu mobilnya. "Aku nggak pede, Kak. Ini jelek, ya?"Gara menghentikan gerakan. Menatap gadis di sisi lain mobilnya itu dengan tatapan menelisik. "Ini salon punya ibuku. Jangan sembarangan deh, bilang kalau hasilnya jelek."Apa? Duh, Rissa salah bicara."Mak-maksud aku, bukan salonnya yang jelek, Kak. Salonnya bagus sekali, kok. Cuma objeknya aja yang nggak bagus." Carissa tersenyum kak