**“Rissa, Aldric nggak ganggu kamu lagi, kan?”Carissa terpaku, tak jadi melangkah pergi. Ia menatap Tamara dengan wajah menyiratkan banyak pertanyaan. Mengapa kebetulan sekali?“Ah, apa dia ganggu kamu?” Perempuan itu menggigit bibir dengan wajah risau. Mendadak saja, Rissa ingat bahwa mungkin kesehatan mental Tamara belum stabil benar, jadi ia tidak bisa mengatakan sesuatu yang akan membuat gadis itu kembali banyak berpikir.“Aldric? Kenapa tiba-tiba banget tanyain dia, Tam?” Tamara menggeleng. “Dia nggak dipenjara kayak aku. Dia bebas, jadi aku takut kalau dia gangguin kamu di luar sana. Gimanapun, aku yang udah kenalin dia sama kamu, Ris. Aku ngerasa bersalah banget.”Carissa sontak bertukar pandang dengan Sagara setelah mendengar pernyataan itu. Sejujurnya, Gara masih tidak terima, namun sepertinya Rissa masih pula mengirimkan sinyal mengancam, kalau-kalau dirinya berbuat sesuatu yang bodoh. Maka, pria itu hanya bisa diam sembari menggendong si buah hati.“Rissa, Aldric itu jah
**Mobil hitam Gara berbelok ke halaman rumah setelah sekuriti membukakan pintu gerbang. Merapat ke garasi, kemudian Carissa terburu-buru membuka pintu dan menghambur masuk, membawa Stella dalam pelukannya. Sagara memandangnya dari belakang dengan wajah penuh tanya.“Udah kunci pintunya, Kak? Jangan lupa kunci pintunya!” Perempuan itu menatap dengan khawatir ke arah pintu depan.“Udah, Sayang. Sekarang kasih tahu, ada apa? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?”Menghela napas. Carissa baru bisa benar-benar merasa lega sekarang, setelah memastikan ia aman di dalam rumahnya sendiri. “Kamu bawa ponsel aku, kan?”Sagara menunjuk benda pipih berwarna hitam dalam genggamannya.“Coba hidupin, Kak. Tadi ada banyak chat dari Aldric.”“Kamu tahu itu dari Aldric?”“Siapa lagi yang chat aku dengan kata-kata mengerikan begitu? Coba deh, kamu lihat sendiri.”Tak habis pikir, Gara segera menghidupkan ponsel milik istrinya dan menunggu hingga benda itu menyala dengan sempurna. Nah, namun setelah beberap
**Carissa memandang nyalang ponselnya yang masih menyala dengan nama pemanggil private number tertera di layarnya. Kesal, sungguh. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk tidak akan takut lagi kali ini. Ia sungguh ingin tahu apa alasan Aldric melakukan semua itu kepadanya. Maka, Rissa memutuskan mengangkat panggilan teleponnya saja."Apa lagi maumu?" Ia menyalak segera setelah ponsel menempel pada telinganya. "Apa belum puas juga bikin aku nyaris mati?""Rissa, Sayang, terimakasih sudah mengangkat teleponnya.""Apa maumu, sial!""Aku merindukanmu."Diiringi decak keras, Rissa sudah akan mematikan sambungan teleponnya. Namun terlebih dahulu, lelaki di seberang sana itu kembali berucap. "Maaf, aku kemarin harus hapus kembali pesan yang aku kirim dari sini. Aku nggak mau kalau suamimu ribut lagi.""Dasar maniak!" Carissa mendesis penuh ancaman. "Kamu bisa mengganggu siapapun di muka bumi ini selain aku, Aldric!""Tapi aku maunya kamu.""Bangsat!""Ah, kamu nggak cocok ngomong kasar begi
**Carissa baru saja menutup pintu kamar Stella setelah menidurkan bayi kecilnya itu. Ia mengusap tengkuk dengan lelah, berniat istirahat di kamarnya sendiri.“Tolong jagain Stella ya, Mbak. Aku istirahat sebentar aja,” katanya kepada si asisten rumah tangga yang menunggu di depan pintu.“Beres, Bu. Nggak usah khawatir, Bu Rissa bisa istirahat sepuasnya.” Perempuan itu mengacungkan jempol.Rissa tertawa pelan. Gegas ia seret langkah, memasuki kamarnya sendiri dan menutupnya dari dalam. Berencana untuk tidur sebentar saja.Nah, namun apa yang terjadi, ternyata ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Awangnya seketika sibuk berkelana sesaat setelah ia letakkan kepala di atas bantal. Memikirkan ini dan itu, hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ia pikirkan.“Apa Tamara baik-baik aja? Dia kelihatan kurus, tapi masih jauh lebih baik dari terakhir kali kita ketemu pas dia kabur ke sini.” Rissa tersenyum sendirian, membayangkan gadis cantik itu. Bersyukur kiranya satu-persatu orang-orang ya
**“Halo, Tuan Sagara Aditama yang terhormat.”Carissa membeku di tempat. Ternyata Aldric tidak bercanda, ia benar-benar menelepon Sagara. Dan suaminya yang sudah mengangkat panggilan telepon itu, sekarang sedang diam di seberang sana. Rissa yakin sekali bahwa Gara mengenal suara itu. Prianya itu lebih dari cerdas untuk menebak hal-hal semacam ini.“Kenapa diam, Gara?” Aldric berujar lagi dengan seringai tercetak di bibirnya. Sebenarnya itu hanya senyum, namun untuk Carissa yang terlanjur ketakutan, bahkan senyum pun terlihat begitu mengerikan.“Aldric, jangan macam-macam dengan suamiku,” bisik Rissa penuh emosi. Ia tidak ingin pria itu mengatakan sesuatu yang akan membuat Gara terpaksa pulang dan mengemudi dalam keadaan kalut.“Ah, Gara, kamu masih di sana? Aku menelepon hanya untuk minta izin–”Tidak lagi punya kesabaran, Rissa terpaksa maju, menerjang ke arah lelaki rupawan itu dan merebut ponsel yang masih menempel di telinganya. Mudah saja, sebab Aldric tidak bermaksud menghindar
**“Abian!”Carissa menjerit, meraih bahu pria itu hanya sejengkal saja sebelum yang bersangkutan menghantamkan bogem mentahnya mengenai wajah Aldric.“Abian, nggak!”“Biar saja, Ris. Manusia busuk ini harus dikasih pelajaran!”“Aldric kamu pergi!” Rissa menunjuk wajah tampan pria yang satunya dengan terang-terangan. “Pergi atau aku bakalan bantuin Abian bunuh kamu! Pergi!”“Whoa. whoa, calm down, Honey! Oke, oke aku akan pergi. Jangan marah-marah begitu, dong. Karena–”Carissa habis sabar. Meski heran juga sebab entah mendapat kekuatan dari mana, perempuan itu menyeret lengan Aldric, kemudian menghempaskannya ke luar. Membanting pintunya kuat-kuat di hadapan muka pria itu kemudian, hingga seluruh isi rumah terasa bergetar. Emosi hingga rasanya nyaris terbakar, Rissa baru bisa menghentikan dirinya sendiri setelah mendengar suara tangis Stella dari dalam.“Rissa, kamu tenangin Stella dulu,” ujar Abian, yang juga tampak masih dikuasai emosi. “Kamu lihat Stella di dalam, biar aku urus ba
**“Rissa, Abian udah pulang, kan?”Carissa menghela napas kepada layar ponselnya yang menyala. Sementara meletakkan putri kecilnya di atas ranjang, ia menjawab telepon suaminya.“Udah, Kak. Aku udah suruh dia pulang, barusan. Daripada ribut sama kamu.”“Bentar, aku mau video call aja. aku butuh validasi.”Lagi, Rissa menghela napas. Sudahlah, ia iyakan saja apapun yang suaminya katakan, daripada urusan jadi panjang. Sebentar kemudian, panggilan telepon Gara sudah beralih menjadi panggilan video.Rissa tersenyum kepada lelaki tampan di dalam layar ponsel itu. Sepertinya Gara sedang berada di luar ruangan, sebab pada latar belakangnya ada beberapa orang yang lalu lalang.“Aku lagi di kafe. Abis ketemu sama klien,” tutur Gara tanpa diminta. Mengerti apa yang istrinya pikirkan.“Iya, Kak. Ini kelihatan. Aku sama Stella lagi rebahan di kamar, nih.” Rissa arahkan ponsel ke atas sementara ia merebahkan diri di samping sang putri yang masih asyik bermain boneka hadiah dari Abian.“Rissa?”“H
**“Kamu menyembunyikan hal sepenting ini dari aku, Ris?”Sagara tampak antara kecewa dan shock setelah mendengar segala yang Rissa ceritakan. Ah, sebenarnya tidak semua. Tentu saja perempuan itu mengurangi sedikit bagian yang mungkin bisa membuat suaminya murka. Meski demikian, poin utamanya masih tetap sama. Dan seperti yang sudah Rissa perkirakan sebelumnya, Gara sudah pasti marah. Ia sudah perkirakan sebelumnya, namun tetap saja hal itu terasa sedikit menakutkan.“Aku minta maaf.” Rissa buru-buru menyela. “Aku hanya nggak ingin ngerepotin. Belakangan kan kamu kelihatan banyak banget yang harus dikerjakan.”Gara masih menatap dengan alis terpaut. Jika saja perempuan yang sedang menunduk di depannya sembari memain-mainkan busa sabun itu bukan istrinya, entah apa yang akan terjadi.“Nggak ingin ngerepotin? Rissa, kamu itu istriku. Bisa-bisanya kamu pusingin masalah ngerepotin.”“Kak, aku beneran minta maaf.”“Demi Tuhan, Ris. Kamu nggak seharusnya ngelakuin hal ini. Kamu pikir aku ba