**“Rissa, Abian udah pulang, kan?”Carissa menghela napas kepada layar ponselnya yang menyala. Sementara meletakkan putri kecilnya di atas ranjang, ia menjawab telepon suaminya.“Udah, Kak. Aku udah suruh dia pulang, barusan. Daripada ribut sama kamu.”“Bentar, aku mau video call aja. aku butuh validasi.”Lagi, Rissa menghela napas. Sudahlah, ia iyakan saja apapun yang suaminya katakan, daripada urusan jadi panjang. Sebentar kemudian, panggilan telepon Gara sudah beralih menjadi panggilan video.Rissa tersenyum kepada lelaki tampan di dalam layar ponsel itu. Sepertinya Gara sedang berada di luar ruangan, sebab pada latar belakangnya ada beberapa orang yang lalu lalang.“Aku lagi di kafe. Abis ketemu sama klien,” tutur Gara tanpa diminta. Mengerti apa yang istrinya pikirkan.“Iya, Kak. Ini kelihatan. Aku sama Stella lagi rebahan di kamar, nih.” Rissa arahkan ponsel ke atas sementara ia merebahkan diri di samping sang putri yang masih asyik bermain boneka hadiah dari Abian.“Rissa?”“H
**“Kamu menyembunyikan hal sepenting ini dari aku, Ris?”Sagara tampak antara kecewa dan shock setelah mendengar segala yang Rissa ceritakan. Ah, sebenarnya tidak semua. Tentu saja perempuan itu mengurangi sedikit bagian yang mungkin bisa membuat suaminya murka. Meski demikian, poin utamanya masih tetap sama. Dan seperti yang sudah Rissa perkirakan sebelumnya, Gara sudah pasti marah. Ia sudah perkirakan sebelumnya, namun tetap saja hal itu terasa sedikit menakutkan.“Aku minta maaf.” Rissa buru-buru menyela. “Aku hanya nggak ingin ngerepotin. Belakangan kan kamu kelihatan banyak banget yang harus dikerjakan.”Gara masih menatap dengan alis terpaut. Jika saja perempuan yang sedang menunduk di depannya sembari memain-mainkan busa sabun itu bukan istrinya, entah apa yang akan terjadi.“Nggak ingin ngerepotin? Rissa, kamu itu istriku. Bisa-bisanya kamu pusingin masalah ngerepotin.”“Kak, aku beneran minta maaf.”“Demi Tuhan, Ris. Kamu nggak seharusnya ngelakuin hal ini. Kamu pikir aku ba
**“Ah! The Lord Sagara Aditama!”Ingin rasanya Gara menendang wajah yang sama sekali tidak tampak berdosa itu, namun ia masih penasaran dengan motif aldric mendatangi kantornya siang-siang begini.Jadi ada apa?“Kalau tujuanmu ke sini hanya buang-buang waktuku, aku bersumpah akan menendangmu sampai kau terpental keluar!” Ah, sial! Gara gagal beramah-tamah. Pada dasarnya, memang ia bukan manusia yang pandai berpura-pura. Jika tidak senang dengan sesuatu, ia akan ucapkan secara gamblang tanpa repot-repot menyembunyikan.Sementara itu, Aldric tampak tercengang. Ia menampilkan wajah pura-pura terluka yang terlihat begitu asli kepalsuannya.“Tidak bisakah ramah sedikit kepadaku? Aku tamu, loh.”“Tutup mulutmu dan cepat katakan apa yang kau inginkan. Aldric!”“Oke, baiklah, baiklah.” Pria itu berjalan santai dan menghenyakkan diri di atas sofa tanpa ada yang mempersilakan. “Apa yang membawaku ke sini? Tentu saja kerjasama bisnis.”Gara masih belum menanggapi. Masih memantau apa saja yang a
**CEO MELLIFLUOUS MENGHAJAR PUTRA KELUARGA FERNANDEZ HINGGA KOMA. “Kak Gara!” Carissa tanpa sadar berteriak keras. Sampai mengalihkan perhatian Yasmin yang sedang bermain dengan cucu kesayangannya.“Apa, sih? Bikin kaget aja kamu.”“Mami, Kak Gara!” Rissa menyodorkan ponselnya kepada sang ibu mertua. Yang kemudian dengan mau tak mau dilihat juga oleh wanita itu.“Gara?” Yasmin mengerutkan alis saat sudah membaca beritanya. “Apa-apaan itu? Siapa yang bikin berita kayak gitu? Coba kamu telepon Gara, Ris. Kamu tanyain langsung aja, bener nggak itu berita?”Luar biasa, sementara Carissa sudah nyaris menangis saking kagetnya, Yasmin masih sempat bersikap biasa-biasa saja dan menanggapi dengan kepala dingin. Ini adalah salah satu poin favorit yang sama sekali tidak bisa ditiru oleh Rissa dari sang ibu mertua kesayangan.“Te-telepon?”“Nggak usah gemeteran begitu. Aku yakin Gara nggak lagi kenapa-kenapa.”Rissa mengangguk, kemudian. Ia mendial nomor sang suami dan berusaha menenangkan napa
**Benar. Aldric Fernandez itu jahat. Carissa tahu itu, tapi tidak mengira bahwa ia akan sejahat ini. Sedetik setelah Gara berusaha menenangkan dirinya dengan kata-katanya, pria itu justru dijemput oleh polisi. Meninggalkan Rissa yang histeris sebab Yasmin pun tak ada tindakan. Hanya menatap sepasang polisi yang menggelandang putranya ke dalam mobil di luar.“Mami kenapa nggak melakukan apapun?” Perempuan itu berseru, membuat sang mertua berjengit tidak senang.“Kamu akan tahu sendiri ceritanya nanti.”“Cerita apa lagi, Mam? Ini kenapa Mami bisa santai begitu, sih? Kak Gara dibawa polisi loh, Mam!”“Hah, sudah.” Yasmin melambaikan tangan sambil lalu. “Kamu kasih Stella minum dulu, siapa tahu nanti kamu dijemput juga sama polisi.”Astaga, apa-apaan? Carissa ingin melayangkan banyak sekali protes lebih lanjut, namun putri kecilnya ternyata juga sudah merengek minta asi. Maka, ia lantas mendahulukan kewajibannya dan menyimpan protesnya untuk nanti.“Aku nggak ngerti sama Mami,” desah Car
**Sudah larut malam saat mobil yang ditumpangi Gara dan Rissa merapat kembali ke halaman mansion. Pria rupawan itu ragu-ragu sejenak sebelum turun. Apakah harus membangunkan sang istri yang baru saja jatuh terlelap? Tapi akhirnya ia tidak tega dan memutuskan mengangkat dan membawa masuk pelan-pelan saja tubuh istrinya.“Terimakasih,” ucapnya kepada petugas kepolisian yang mengantar. Yang ditanggapi dengan anggukan mantap sebelum orang-orang tersebut membawa pergi mobil mereka, menjauh dari rumah besar.“Kak?” Rissa lalu bergumam pelan tanpa membuka mata. “Turunin, badanku berat.”“Kamu minta turunin, tapi buka mata aja nggak sanggup. Mau tidur di lantai?”“Hmm ….” Rissa mendusal dengan manja. menghadap ceruk leher sang suami, membuat pria itu terpaksa menelan saliva.“Ris, jangan mancing-mancing begitu, lah. Kamu pasti cuma mau ghosting, kan?”“Hm?”“Aku bilang jangan mancing, deh. Kamu tahu sendiri, aku nggak bisa kalau hanya test drive. Kita lagi di rumah besar, kecuali kamu nggak
**“Boleh aku berkunjung ke tempat Tamara, Kak?” Pagi ini sebelum Gara berangkat ke kantor, Rissa meminta izin kepadanya. Rissa bosan di rumah sendirian, sebab Yasmin, Henry, atau Abian, semuanya juga harus pergi bekerja. Ah, ya. Pasangan suami istri itu masih berada di rumah besar, omong-omong.“Itu kan jauh?” sela Yasmin sebelum Gara sendiri sempat menjawab. “Kamu mau pergi sendirian? Yang bener ajalah!”“Kan dianterin sama driver, Mam. Kalau Mami masih khawatir, Rissa juga nggak keberatan ditemenin sama staff rumah.”Yasmin berdecak. Jelas sajalah ia keberatan. Rumah sakit jiwa tempat Tamara dirawat agak jauh dari rumah. Sekitar satu jam perjalanan, dua jam pulang pergi.“Mau aku temani?” Giliran Abian yang menawarkan bantuan. “Pesawatku ke Makassar masih siang nanti. Aku bisa temani kamu–”“Nggak!” Namun, Sagara memotong dengan kejam. “Kalau kamu harus banget pergi, minta temenin Santi sama bawa satu staff buat nemenin selain driver. Everybody except you, Abian!”“Dih.” Abian berd
**"Abian, Tam."Tamara terpaku di depan pintu rumah paviliun yang ia tempati. Memandang dengan wajah tidak yakin kepada Carissa. Ah, ya, Rissa sudah mendengar hal ini dari petugas di front office tadi, bahwa mungkin Tamara akan sedikit terganggu jika ia bertemu dengan laki-laki asing. Bagaimanapun, pertemuan dengan Aldric meninggalkan trauma yang cukup mendalam pada dirinya."Boleh masuk, ya? Abian cuma anterin aku, kok. Karena Kak Gara nggak bisa anterin ke sini. Kerjaan dia di kantor nggak bisa ditinggal, katanya."Mengangguk ragu-ragu, akhirnya. Namun Tamara mengangguk dan mundur sedikit untuk memberikan Rissa dan Abian jalan."Rissa, mau minum apa?""Jangan repot-repot, Tam. Duduk sini aja. Kan aku tujuannya ke sini pengen ngobrol sama kamu."Perempuan cantik itu tersenyum. Ia mengeluarkan sekotak besar jus jeruk dan tiga buah gelas, kemudian. Membawanya ke ruang tamu di mana Rissa dan Abian duduk menunggu."Ibu menyusui harus banyak minum jus buah biar asinya lancar. Diminum, Ri
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh