**“Kamu menyembunyikan hal sepenting ini dari aku, Ris?”Sagara tampak antara kecewa dan shock setelah mendengar segala yang Rissa ceritakan. Ah, sebenarnya tidak semua. Tentu saja perempuan itu mengurangi sedikit bagian yang mungkin bisa membuat suaminya murka. Meski demikian, poin utamanya masih tetap sama. Dan seperti yang sudah Rissa perkirakan sebelumnya, Gara sudah pasti marah. Ia sudah perkirakan sebelumnya, namun tetap saja hal itu terasa sedikit menakutkan.“Aku minta maaf.” Rissa buru-buru menyela. “Aku hanya nggak ingin ngerepotin. Belakangan kan kamu kelihatan banyak banget yang harus dikerjakan.”Gara masih menatap dengan alis terpaut. Jika saja perempuan yang sedang menunduk di depannya sembari memain-mainkan busa sabun itu bukan istrinya, entah apa yang akan terjadi.“Nggak ingin ngerepotin? Rissa, kamu itu istriku. Bisa-bisanya kamu pusingin masalah ngerepotin.”“Kak, aku beneran minta maaf.”“Demi Tuhan, Ris. Kamu nggak seharusnya ngelakuin hal ini. Kamu pikir aku ba
**“Ah! The Lord Sagara Aditama!”Ingin rasanya Gara menendang wajah yang sama sekali tidak tampak berdosa itu, namun ia masih penasaran dengan motif aldric mendatangi kantornya siang-siang begini.Jadi ada apa?“Kalau tujuanmu ke sini hanya buang-buang waktuku, aku bersumpah akan menendangmu sampai kau terpental keluar!” Ah, sial! Gara gagal beramah-tamah. Pada dasarnya, memang ia bukan manusia yang pandai berpura-pura. Jika tidak senang dengan sesuatu, ia akan ucapkan secara gamblang tanpa repot-repot menyembunyikan.Sementara itu, Aldric tampak tercengang. Ia menampilkan wajah pura-pura terluka yang terlihat begitu asli kepalsuannya.“Tidak bisakah ramah sedikit kepadaku? Aku tamu, loh.”“Tutup mulutmu dan cepat katakan apa yang kau inginkan. Aldric!”“Oke, baiklah, baiklah.” Pria itu berjalan santai dan menghenyakkan diri di atas sofa tanpa ada yang mempersilakan. “Apa yang membawaku ke sini? Tentu saja kerjasama bisnis.”Gara masih belum menanggapi. Masih memantau apa saja yang a
**CEO MELLIFLUOUS MENGHAJAR PUTRA KELUARGA FERNANDEZ HINGGA KOMA. “Kak Gara!” Carissa tanpa sadar berteriak keras. Sampai mengalihkan perhatian Yasmin yang sedang bermain dengan cucu kesayangannya.“Apa, sih? Bikin kaget aja kamu.”“Mami, Kak Gara!” Rissa menyodorkan ponselnya kepada sang ibu mertua. Yang kemudian dengan mau tak mau dilihat juga oleh wanita itu.“Gara?” Yasmin mengerutkan alis saat sudah membaca beritanya. “Apa-apaan itu? Siapa yang bikin berita kayak gitu? Coba kamu telepon Gara, Ris. Kamu tanyain langsung aja, bener nggak itu berita?”Luar biasa, sementara Carissa sudah nyaris menangis saking kagetnya, Yasmin masih sempat bersikap biasa-biasa saja dan menanggapi dengan kepala dingin. Ini adalah salah satu poin favorit yang sama sekali tidak bisa ditiru oleh Rissa dari sang ibu mertua kesayangan.“Te-telepon?”“Nggak usah gemeteran begitu. Aku yakin Gara nggak lagi kenapa-kenapa.”Rissa mengangguk, kemudian. Ia mendial nomor sang suami dan berusaha menenangkan napa
**Benar. Aldric Fernandez itu jahat. Carissa tahu itu, tapi tidak mengira bahwa ia akan sejahat ini. Sedetik setelah Gara berusaha menenangkan dirinya dengan kata-katanya, pria itu justru dijemput oleh polisi. Meninggalkan Rissa yang histeris sebab Yasmin pun tak ada tindakan. Hanya menatap sepasang polisi yang menggelandang putranya ke dalam mobil di luar.“Mami kenapa nggak melakukan apapun?” Perempuan itu berseru, membuat sang mertua berjengit tidak senang.“Kamu akan tahu sendiri ceritanya nanti.”“Cerita apa lagi, Mam? Ini kenapa Mami bisa santai begitu, sih? Kak Gara dibawa polisi loh, Mam!”“Hah, sudah.” Yasmin melambaikan tangan sambil lalu. “Kamu kasih Stella minum dulu, siapa tahu nanti kamu dijemput juga sama polisi.”Astaga, apa-apaan? Carissa ingin melayangkan banyak sekali protes lebih lanjut, namun putri kecilnya ternyata juga sudah merengek minta asi. Maka, ia lantas mendahulukan kewajibannya dan menyimpan protesnya untuk nanti.“Aku nggak ngerti sama Mami,” desah Car
**Sudah larut malam saat mobil yang ditumpangi Gara dan Rissa merapat kembali ke halaman mansion. Pria rupawan itu ragu-ragu sejenak sebelum turun. Apakah harus membangunkan sang istri yang baru saja jatuh terlelap? Tapi akhirnya ia tidak tega dan memutuskan mengangkat dan membawa masuk pelan-pelan saja tubuh istrinya.“Terimakasih,” ucapnya kepada petugas kepolisian yang mengantar. Yang ditanggapi dengan anggukan mantap sebelum orang-orang tersebut membawa pergi mobil mereka, menjauh dari rumah besar.“Kak?” Rissa lalu bergumam pelan tanpa membuka mata. “Turunin, badanku berat.”“Kamu minta turunin, tapi buka mata aja nggak sanggup. Mau tidur di lantai?”“Hmm ….” Rissa mendusal dengan manja. menghadap ceruk leher sang suami, membuat pria itu terpaksa menelan saliva.“Ris, jangan mancing-mancing begitu, lah. Kamu pasti cuma mau ghosting, kan?”“Hm?”“Aku bilang jangan mancing, deh. Kamu tahu sendiri, aku nggak bisa kalau hanya test drive. Kita lagi di rumah besar, kecuali kamu nggak
**“Boleh aku berkunjung ke tempat Tamara, Kak?” Pagi ini sebelum Gara berangkat ke kantor, Rissa meminta izin kepadanya. Rissa bosan di rumah sendirian, sebab Yasmin, Henry, atau Abian, semuanya juga harus pergi bekerja. Ah, ya. Pasangan suami istri itu masih berada di rumah besar, omong-omong.“Itu kan jauh?” sela Yasmin sebelum Gara sendiri sempat menjawab. “Kamu mau pergi sendirian? Yang bener ajalah!”“Kan dianterin sama driver, Mam. Kalau Mami masih khawatir, Rissa juga nggak keberatan ditemenin sama staff rumah.”Yasmin berdecak. Jelas sajalah ia keberatan. Rumah sakit jiwa tempat Tamara dirawat agak jauh dari rumah. Sekitar satu jam perjalanan, dua jam pulang pergi.“Mau aku temani?” Giliran Abian yang menawarkan bantuan. “Pesawatku ke Makassar masih siang nanti. Aku bisa temani kamu–”“Nggak!” Namun, Sagara memotong dengan kejam. “Kalau kamu harus banget pergi, minta temenin Santi sama bawa satu staff buat nemenin selain driver. Everybody except you, Abian!”“Dih.” Abian berd
**"Abian, Tam."Tamara terpaku di depan pintu rumah paviliun yang ia tempati. Memandang dengan wajah tidak yakin kepada Carissa. Ah, ya, Rissa sudah mendengar hal ini dari petugas di front office tadi, bahwa mungkin Tamara akan sedikit terganggu jika ia bertemu dengan laki-laki asing. Bagaimanapun, pertemuan dengan Aldric meninggalkan trauma yang cukup mendalam pada dirinya."Boleh masuk, ya? Abian cuma anterin aku, kok. Karena Kak Gara nggak bisa anterin ke sini. Kerjaan dia di kantor nggak bisa ditinggal, katanya."Mengangguk ragu-ragu, akhirnya. Namun Tamara mengangguk dan mundur sedikit untuk memberikan Rissa dan Abian jalan."Rissa, mau minum apa?""Jangan repot-repot, Tam. Duduk sini aja. Kan aku tujuannya ke sini pengen ngobrol sama kamu."Perempuan cantik itu tersenyum. Ia mengeluarkan sekotak besar jus jeruk dan tiga buah gelas, kemudian. Membawanya ke ruang tamu di mana Rissa dan Abian duduk menunggu."Ibu menyusui harus banyak minum jus buah biar asinya lancar. Diminum, Ri
**Private number.Rissa mengedarkan pandang kepada dua yang lain di hadapannya. Meminta pendapat tentang hal ini.“Ini pasti Aldric,” tuturnya dengan gelisah. “Dia selalu pakai private number kalau nelepon. Haruskah aku angkat? Kalau enggak, soalnya dia bakalan neror terus sampai nanti aku capek terus akhirnya terpaksa angkat juga.”“Coba angkat aja, Ris,” saran Abian kemudian. “Aku pengen tahu dia mau ngomong apa. Jangan lupa loudspeaker.”Rissa akhirnya menekan tombol hijau sebelum meletakkan ponselnya di atas meja agar yang lain bisa mendengar.“Halo, Baby?”Dan seketika berjengit mendengar sapaan itu. Suara baritone yang dalam terdengar melalui speaker ponsel. Rissa kembali lemparkan pandang kepada dua yang lain sembari menggeleng. Ingin rasanya ia matikan saat itu juga ponselnya, namun Abian masih mengisyaratkan kepadanya untuk melanjutkan.“Ah, kamu dateng ketemu Tamara sama mantan tunanganmu. Apa suamimu baik-baik saja?”Seketika kedua netra Carissa melebar. Dari mana pria ini