**Private number.Rissa mengedarkan pandang kepada dua yang lain di hadapannya. Meminta pendapat tentang hal ini.“Ini pasti Aldric,” tuturnya dengan gelisah. “Dia selalu pakai private number kalau nelepon. Haruskah aku angkat? Kalau enggak, soalnya dia bakalan neror terus sampai nanti aku capek terus akhirnya terpaksa angkat juga.”“Coba angkat aja, Ris,” saran Abian kemudian. “Aku pengen tahu dia mau ngomong apa. Jangan lupa loudspeaker.”Rissa akhirnya menekan tombol hijau sebelum meletakkan ponselnya di atas meja agar yang lain bisa mendengar.“Halo, Baby?”Dan seketika berjengit mendengar sapaan itu. Suara baritone yang dalam terdengar melalui speaker ponsel. Rissa kembali lemparkan pandang kepada dua yang lain sembari menggeleng. Ingin rasanya ia matikan saat itu juga ponselnya, namun Abian masih mengisyaratkan kepadanya untuk melanjutkan.“Ah, kamu dateng ketemu Tamara sama mantan tunanganmu. Apa suamimu baik-baik saja?”Seketika kedua netra Carissa melebar. Dari mana pria ini
**Beberapa hari berikutnya, berlalu dalam kedamaian yang agak menegangkan. Carissa harap-harap cemas menunggu masalah apa lagi yang akan ditimbulkan oleh Aldric, namun ternyata tak ada apapun yang terjadi. Rissa belum melaksanakan niatnya melaporkan pria itu ke polisi sebab ia rasa semakin ke sini pergerakan Aldric semakin pasif.“Rissa?”Perempuan yang sedang menggendong bayinya di ambang jendela kamar itu menoleh pelan ketika mendengar suara memanggilnya. Mendapati sang suami yang baru saja memasuki kamar dengan menenteng jas di tangan.“Sudah pulang, Kak?” Rissa menyapa dengan senyum mengembang. Ia mendekat untuk menyambut. “Gimana hari ini? Kamu baru pulang dari kantor polisi, kan? Apa tuntutan yang kamu bikin udah diproses?Pria itu mendesah dengan wajah lelah. Rissa buru-buru menidurkan bayinya yang sudah pulas dalam gendongan ke atas tempat tidur sebelum kembali menghadapi sang suami.“Seperti yang kita semua bisa tebak.” Pria itu mengangkat bahu. “Keluarga Aldric terlalu puny
**“Aku bilang, hentikan kebodohanmu itu! Apa tidak apa perempuan lain yang bisa kau kejar? Sungguh, Aldric, kamu hampir tiga puluh tahun! Berhenti bersikap seperti kamu remaja kemarin sore yang kelebihan hormon begitu. Jangan lagi bikin malu keluarga!”Aldric hanya bisa menatap dengan bosan saat ayahnya menunjuk-nunjuk wajahnya dengan air muka penuh dengan amarah. Ini yang ketiga kalinya dalam minggu ini ia dimarahi sebab ketahuan masih menguntit menantu keluarga Aditama setelah kekacauan yang sudah-sudah.“Tapi aku suka dia, Pi.”“Suka?” Pria separuh baya yang tidak mirip dengan Aldric itu kembali melotot dengan garang. “Kamu bisa mendapatkan satu juta wanita seperti itu di luar sana! Ada apa denganmu ini?”“Tapi satu juta wanita di luar sana bukan Carissa.”“Demi Tuhan, Aldric! Perempuan itu sudah bersuami, dan suaminya adalah satu kompetitor terbesar Papi. Kamu boleh saja merebut istri laki-laki yang lain di luar sana, asal jangan milik petinggi Mellifluous itu. Papi nggak mau car
**Seperti yang Carissa harapkan, hari-hari berlalu dalam damai sesudahnya. Ia pikir Aldric memang sudah benar-benar bosan dan menyerah mengganggunya lagi. Tak ada gangguan apapun selama beberapa hari yang sudah terlewati ini, jadi ia pikir hidupnya telah kembali damai dan kondusif.Pagi ini, selepas sarapan Carissa sedang bercengkerama dengan suami dan anaknya di ruang tengah saat ia dengar ponselnya berdering.“Ada yang nelepon?” tanya Gara dengan dahi berkerut. “Kamu biasa dapet telepon pada jam-jam segini?”“Ih, nggak pernah!” sangkal Rissa dengan dahi yang turut berkerut pula. Perempuan itu beranjak dari sofa untuk menghampiri si ponsel yang masih berdering di atas nakas. Hari ini bukan weekend, namun Sagara sengaja mengambil cuti untuk bermalas-malasan di rumah saja bersama istri dan putrinya. Ini agak mengherankan, mengingat seorang Sagara Aditama seperti diciptakan Tuhan hanya untuk bekerja saja. Pria itu nyaris tak pernah mengambil libur kecuali sangat amat urgent.“Siapa ya
**“Hari ini aku mau belanja ke supermarket ya, Kak. Boleh kan?” Carissa minta izin kepada suaminya pagi ini, saat Gara akan berangkat bekerja.“Supermarket?” Pria itu mengernyit. “Kamu mau ke supermarket sendirian?”“Kenapa? Kan hanya supermarket, Kak. Itu juga nggak jauh dari sini, kok.”Gara meletakkan cangkir kopi yang sebelumnya ia pegang. Menatap menelisik kepada sang istri yang memandangnya balik dari seberang meja makan. “Kamu yakin, Ris?”“Berhari-hari ini udah nggak ada gangguan lagi, kok. Kayak yang aku bilang sebelumnya, Aldric mungkin udah bosen gangguin aku. Jadi kemungkinan besar udah nggak apa-apa.”Gara melanjutkan menyeruput kopinya. Ya, istrinya benar. Memang beberapa hari ini berlalu dalam tenteram dan damai. Sepertinya benar demikian, Aldric sudah melupakan kegilaannya setelah Gara melaporkan pada polisi dan berita omong kosongnya tersebar ke seluruh pelosok negeri.“Baiklah kalau begitu,” putus Gara akhirnya. “Kamu mau pergi sama Stella?”Rissa menggeleng. “Stell
**"A-Aldric!" Carissa terhuyung mundur. Kedua bola matanya membeliak panik saat melihat siapa yang berada di hadapannya. "A-apa yang kamu lakukan di sini?""Mengikutimu." Pria itu menjawab tegas seraya menyeringai, menatap Rissa dengan sorot mata horor yang intimidatif. Carissa tidak suka, tentu saja."Jangan mengikutiku. Pergilah, dan aku akan melupakan kejadian ini.""Pergi? Setelah sekian lama aku menunggu dan bersabar demi kesempatan seperti ini?"Hati Rissa terasa mencelos. Ternyata ia salah besar jika selama ini menganggap keadaan sudah cukup aman. Nyatanya Aldric justru menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi. Dan sekaranglah waktu yang tepat itu. Ia sama sekali tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. "Sayang, kamu tahu aku bukanlah orang yang suka bersabar," lanjut Aldric sembari melangkah maju, membuat Rissa kembali serampangan menjauh."A-Aldric, please. Apa yang kamu inginkan dariku? Aku nggak punya apapun yang bisa membuat kamu tertarik. Apa yang kamu ingink
**“Apa saja kerjamu, ha? Apa kamu sudah bosan hidup sampai membiarkan hal seperti ini terjadi kepada istriku? Sudah bosan hidup kau, ha?”Radit terpaksa menarik belakang kerah baju sahabatnya kala Sagara lepas kendali begitu sampai di pelataran supermarket. Pria itu sudah nyaris melayangkan bogem mentah dan menghajar sang supir yang sudah meringkuk ketakutan. “Gar, jangan cari perkara tambahan, deh. Inget lo sekarang lagi banyak problem, nggak ada waktu buat ngurusin masalah-masalah baru dalam hidup lo! Lagian bukannya lo udah denger sendiri kalo supir lo dikunciin di kamar mandi?” desis Radit.Tangannya sudah nyaris tidak kuat menahan tubuh Gara yang memang lebih besar dan kekar dari tubuhnya sendiri.“Bangsat!”Entah ditujukan kepada siapa umpatan barusan, namun sesudahnya, ia beralih menjauh dari pria pegawainya yang masih ketakutan. Wajahnya masih penuh amarah pula.“Cari istri gue sampe dapet, Dit! Gue nggak peduli kalau pun lo harus cari sampai ujung dunia. Cari istri gue sampa
**“Jangan mendekat, jangan mendekat, tolong ….” Carissa berujar dengan masih berurai air mata saat lelaki di hadapannya menggeser posisi lebih dekat ke arahnya. “Aldric, jangan sentuh aku. Tolong lepaskan aku ….”Pria itu berdecak tidak senang. Raut wajahnya terlihat menegang sebab Carissa terus saja merengek kepadanya. Aldric bukanlah laki-laki yang memiliki kesabaran besar. Ia biasa berbuat sesukanya kepada siapapun. Tak peduli apakah orang itu laki-laki atau perempuan.“Aku sama sekali belum menyentuhmu, Carissa,” tandasnya tajam, “Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah aku ini adalah laki-laki bejat.”Tak sadar diri. Padahal memang demikian adanya. Carissa membekap mulutnya dengan telapak tangan agar isaknya tak semakin menjadi-jadi. Ia takut sekali Aldric akan nekat melakukan sesuatu yang jahat kepadanya. Bagaimanapun, mereka berdua berada dalam kamar tertutup.“Kamu makan dulu ya, Sayang?” Pria itu kemudian merendahkan intonasi suaranya setelah menghela napas dalam-dalam untuk m
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh