**“Jangan mendekat, jangan mendekat, tolong ….” Carissa berujar dengan masih berurai air mata saat lelaki di hadapannya menggeser posisi lebih dekat ke arahnya. “Aldric, jangan sentuh aku. Tolong lepaskan aku ….”Pria itu berdecak tidak senang. Raut wajahnya terlihat menegang sebab Carissa terus saja merengek kepadanya. Aldric bukanlah laki-laki yang memiliki kesabaran besar. Ia biasa berbuat sesukanya kepada siapapun. Tak peduli apakah orang itu laki-laki atau perempuan.“Aku sama sekali belum menyentuhmu, Carissa,” tandasnya tajam, “Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah aku ini adalah laki-laki bejat.”Tak sadar diri. Padahal memang demikian adanya. Carissa membekap mulutnya dengan telapak tangan agar isaknya tak semakin menjadi-jadi. Ia takut sekali Aldric akan nekat melakukan sesuatu yang jahat kepadanya. Bagaimanapun, mereka berdua berada dalam kamar tertutup.“Kamu makan dulu ya, Sayang?” Pria itu kemudian merendahkan intonasi suaranya setelah menghela napas dalam-dalam untuk m
**Abian menggendong keponakan tersayangnya yang nampak mengantuk akibat terlalu banyak menangis pada hari kemarin. Pria itu berjalan pelan melintasi koridor-koridor sepi mansion orang tuanya. Sesekali membalas pandangan polos si bayi Stella dengan hangat.“Mengantuk, ya?” tanyanya, yang tentu saja tidak bisa dijawab dengan jawaban verbal. Bayi dalam gendongannya yang masih berusia delapan bulan itu hanya mendengung, mengoceh pelan.“Sabar, ya. Sementara kamu sama Papa kecil dulu karena Daddy-mu sibuk. Semoga Mamamu bisa segera ditemukan, ya? Kami semua sedang berusaha. Dan terimakasih karena kamu udah nggak rewel hari ini.”Stella secara ajaib terlihat mengerti dengan apa yang omnya katakan. Bayi itu menelungkupkan kepalanya ke pundak Abian, membuat yang bersangkutan gemas sendiri. Abian tepuk-tepuk lembut punggung keponakannya sembari sedikit mengeratkan dekapan.“Oh, Bian!”Di ujung koridor, ternyata disambut oleh Henry. Pria paruh baya itu sama dengan semua orang dalam rumah besar
**Jika saja Sagara bisa menukar apapun yang ia miliki dengan keberadaan istrinya saat ini, ia pasti dengan senang hati melakukannya. Ini sudah hari kelima Carissa menghilang. Sekarang ponsel perempuan itu sudah mati sama sekali setelah beberapa hari yang lalu masih sempat aktif. Putus asa dan duka mendalam Sagara rasakan. Sementara itu pihak kepolisian seperti sama sekali tak bisa diandalkan. Selain orang-orang yang biasa bekerja untuk Gara, orang-orang dari resort kepolisian setempat seperti tidak begitu antusias menanggapi kasus Rissa tersebut."Lo harus pulang ke rumah sebentar aja, Gar. Istirahatin badan lo sebentar aja," tutur Radit siang ini. Pria itu baru datang dari kantor setelah membereskan pekerjaan di sana. Menemui Sagara yang masih berada di basecamp pencarian sejak hari kemarin."Lo pasti nggak tidur lagi kan semalem? Pikirin kesehatan lo!" imbuh Radit. Mengawasi lingkaran pekat di bawah mata sahabatnya.Gara menggeleng lesu. "Sama sekali belum ada kabar tentang keberad
**“Wanna try my taste, Baby?”Carissa terus memaksa mundur walau punggungnya sudah merapat pada headboard. Ia membekap mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan isak dan jeritan yang nyaris lolos. Meskipun heran sendiri, mengapa pula ia harus menahan-nahannya? Justru bagus jika akan ada yang mendengar teriakannya dan mungkin bisa menyelamatkan dirinya dari situasi ini, kan?“A-Aldric, aku akan berteriak kalau kamu nggak berhenti!” ancamnya setelah mengumpulkan sedikit keberanian yang terserak. Namun sial, Aldric justru terbahak keras.“Berteriak, Sayang?”“Aldric, aku nggak bercanda!”“Nggak usah marah-marah begitu, Darling. Kalau kamu mau teriak ya silakan saja. Aku nggak akan melarang.” Pria itu, di luar dugaan justru beranjak dan tidak jadi mendekat. Ia berjalan ke arah tirai tinggi yang menghampar di seberang ruangan, menyingkap kain berwarna krem itu dan menampakkan kaca jendela selebar dinding. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuat Carissa terbelalak penuh.“Karena
**“Rissa! Kamu nggak akan pernah bisa pergi dariku!”Jantung Carissa seperti benar-benar lepas dari tempatnya bertengger setelah cekalan keras pada pergelangan tangan menariknya kembali menjauh dari pintu lift yang tadinya sudah hampir ia capai. Bersamaan dengan itu, Rissa merasa harapannya runtuh saat tubuhnya yang terhempas kembali ke dalam pelukan pria tampan namun seperti iblis di belakangnya.“Mau mencoba kabur, Sayang?”“Aldric, lepas! Lepaskan aku!”“Kamu membuat kesabaranku habis, Carissa.” Suara baritone Aldric menggeram, sementara membawa perempuan dalam cengkeramannya kembali ke dalam kamar dengan cara memanggulnya di pundak. Rissa memukul-mukul punggung Aldric sekuat yang ia bisa, namun hal itu hanya terasa bagai ketukan kecil bagi si empunya punggung.“Bajingan kamu. Aldric!”“Ya, ya. Terserahmu sajalah. Asal jangan mencoba kabur lagi seperti ini, Sayang. Nanti aku yang repot.”“Sialan, sialan, kau!” Rissa sepenuh hati melupakan sikap lemah lembutnya. Ia memberontak seku
**Tamara terbelalak, sejenak sempat nyaris melupakan Stella yang masih berada di atas pangkuannya. Hingga kemudian suara rengekan bayi itu sebab mainannya terjatuh, membuat Tamara bernapas kembali.“Kamu bilang … Aldric yang bawa Rissa?”Abian mengangguk lesu. “Rissa lagi di supermarket waktu tiba-tiba aja nggak bisa ditemukan. Driver yang temenin dia kekunci di kamar mandi waktu itu. Pas si driver ini berhasil keluar, dia cari-cari Rissa udah nggak ada.”“Kalian tahu Aldric yang bawa?”“Kelihatan dari kamera CCTV. Sepertinya memang sengaja diperlihatkan waktu kejadian. Karena sebelum dan sesudah kejadian, rekamannya udah nggak bisa diakses. kamu tahu, Aldric bisa lakukan apa saja dengan kuasanya.”“Ya Tuhan ….” Perempuan cantik itu menyerahkan kembali Stella kepada Abian sebab merasa tubuhnya lemas seketika dan takut si bayi terjatuh. Ia mengusap wajah kemudian, diam selama beberapa saat dengan raut penuh duka. “Udah berapa lama, Bi?”“Satu minggu.”“Satu Minggu!” Tamara mendadak be
**Cloud Cottage, Apartemen Pearl, dan Babel Tower.Sagara mencatat baik-baik tiga nama itu dalam kepalanya. Ia bimbang, memutuskan akan pergi ke mana dulu, sebab tiga tim berangkat bersamaan.“Cloud Cottage itu villa milik keluarga Fernandez yang terletak di pesisir pantai perbatasan utara kota, Gar,” terang Radit yang juga berada di lokasi, sesaat sebelum mobil berangkat. “Entah kenapa kok gue nggak yakin kalo Rissa ada di sana. Nggak tahu apa yang bikin nggak yakin, tapi gue nggak yakin aja.”Gara menghela napas, sejujurnya ia juga merasa demikian. Bukan karena Radit mengatakan itu, tapi dari awal Gara memang sudah tidak tertarik dengan tempat tersebut hanya dari namanya saja. Memang konyol, tapi tuan muda tetap menganggap itu adalah firasat.“Gue ikut mobil yang ke Babel Tower aja, Dit,” putus Gara kemudian, membuat sahabatnya seketika mengerutkan alis dengan heran.Babel Tower adalah sebuah apartemen eksklusif yang megah, namun sudah lumayan tua. Banyak penghuni apartemen yang su
***DRAK! DRAK!Carissa dan Aldric mendadak membatu, diam bersamaan. Jelas sekali suara pintu digedor dari luar, membuat secercah harapan seperti kembali berpijar di tengah benak Rissa yang hampir putus asa dan akan menyerah kepada takdir. Dan oleh sebab Aldric yang masih dilanda gelombang kejut hingga tak bisa bergerak, Rissa mengambil kesempatan itu untuk menendang tulang rusuknya kuat-kuat.“Argh!” Pria itu terpelanting, jatuh dari atas tubuh Carissa ke atas lantai. “Bangsat! Beraninya kamu! Awas kamu ya, Ris!”Panik dan terburu-buru, perempuan itu melompat menuju pintu untuk membalas gedoran siapapun yang berada di luar sana.“Tolong! Siapapun, tolong aku! To–”“Aku nggak akan melepaskanmu, Ris! Aku lebih baik melihatmu mati saja.” Pria itu menggeram keras, berdiri dari tempatnya terjatuh dan meraih kembali tubuh Rissa yang sudah nyaris menyentuh daun pintu.“Tolong!” Rissa menjerit keras. “Siapapun di luar, tolong aku dari manusia gila ini! Tolong!”“Diam, Sayang!”“Tolong, hmpp!