**Jika saja Sagara bisa menukar apapun yang ia miliki dengan keberadaan istrinya saat ini, ia pasti dengan senang hati melakukannya. Ini sudah hari kelima Carissa menghilang. Sekarang ponsel perempuan itu sudah mati sama sekali setelah beberapa hari yang lalu masih sempat aktif. Putus asa dan duka mendalam Sagara rasakan. Sementara itu pihak kepolisian seperti sama sekali tak bisa diandalkan. Selain orang-orang yang biasa bekerja untuk Gara, orang-orang dari resort kepolisian setempat seperti tidak begitu antusias menanggapi kasus Rissa tersebut."Lo harus pulang ke rumah sebentar aja, Gar. Istirahatin badan lo sebentar aja," tutur Radit siang ini. Pria itu baru datang dari kantor setelah membereskan pekerjaan di sana. Menemui Sagara yang masih berada di basecamp pencarian sejak hari kemarin."Lo pasti nggak tidur lagi kan semalem? Pikirin kesehatan lo!" imbuh Radit. Mengawasi lingkaran pekat di bawah mata sahabatnya.Gara menggeleng lesu. "Sama sekali belum ada kabar tentang keberad
**“Wanna try my taste, Baby?”Carissa terus memaksa mundur walau punggungnya sudah merapat pada headboard. Ia membekap mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan isak dan jeritan yang nyaris lolos. Meskipun heran sendiri, mengapa pula ia harus menahan-nahannya? Justru bagus jika akan ada yang mendengar teriakannya dan mungkin bisa menyelamatkan dirinya dari situasi ini, kan?“A-Aldric, aku akan berteriak kalau kamu nggak berhenti!” ancamnya setelah mengumpulkan sedikit keberanian yang terserak. Namun sial, Aldric justru terbahak keras.“Berteriak, Sayang?”“Aldric, aku nggak bercanda!”“Nggak usah marah-marah begitu, Darling. Kalau kamu mau teriak ya silakan saja. Aku nggak akan melarang.” Pria itu, di luar dugaan justru beranjak dan tidak jadi mendekat. Ia berjalan ke arah tirai tinggi yang menghampar di seberang ruangan, menyingkap kain berwarna krem itu dan menampakkan kaca jendela selebar dinding. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuat Carissa terbelalak penuh.“Karena
**“Rissa! Kamu nggak akan pernah bisa pergi dariku!”Jantung Carissa seperti benar-benar lepas dari tempatnya bertengger setelah cekalan keras pada pergelangan tangan menariknya kembali menjauh dari pintu lift yang tadinya sudah hampir ia capai. Bersamaan dengan itu, Rissa merasa harapannya runtuh saat tubuhnya yang terhempas kembali ke dalam pelukan pria tampan namun seperti iblis di belakangnya.“Mau mencoba kabur, Sayang?”“Aldric, lepas! Lepaskan aku!”“Kamu membuat kesabaranku habis, Carissa.” Suara baritone Aldric menggeram, sementara membawa perempuan dalam cengkeramannya kembali ke dalam kamar dengan cara memanggulnya di pundak. Rissa memukul-mukul punggung Aldric sekuat yang ia bisa, namun hal itu hanya terasa bagai ketukan kecil bagi si empunya punggung.“Bajingan kamu. Aldric!”“Ya, ya. Terserahmu sajalah. Asal jangan mencoba kabur lagi seperti ini, Sayang. Nanti aku yang repot.”“Sialan, sialan, kau!” Rissa sepenuh hati melupakan sikap lemah lembutnya. Ia memberontak seku
**Tamara terbelalak, sejenak sempat nyaris melupakan Stella yang masih berada di atas pangkuannya. Hingga kemudian suara rengekan bayi itu sebab mainannya terjatuh, membuat Tamara bernapas kembali.“Kamu bilang … Aldric yang bawa Rissa?”Abian mengangguk lesu. “Rissa lagi di supermarket waktu tiba-tiba aja nggak bisa ditemukan. Driver yang temenin dia kekunci di kamar mandi waktu itu. Pas si driver ini berhasil keluar, dia cari-cari Rissa udah nggak ada.”“Kalian tahu Aldric yang bawa?”“Kelihatan dari kamera CCTV. Sepertinya memang sengaja diperlihatkan waktu kejadian. Karena sebelum dan sesudah kejadian, rekamannya udah nggak bisa diakses. kamu tahu, Aldric bisa lakukan apa saja dengan kuasanya.”“Ya Tuhan ….” Perempuan cantik itu menyerahkan kembali Stella kepada Abian sebab merasa tubuhnya lemas seketika dan takut si bayi terjatuh. Ia mengusap wajah kemudian, diam selama beberapa saat dengan raut penuh duka. “Udah berapa lama, Bi?”“Satu minggu.”“Satu Minggu!” Tamara mendadak be
**Cloud Cottage, Apartemen Pearl, dan Babel Tower.Sagara mencatat baik-baik tiga nama itu dalam kepalanya. Ia bimbang, memutuskan akan pergi ke mana dulu, sebab tiga tim berangkat bersamaan.“Cloud Cottage itu villa milik keluarga Fernandez yang terletak di pesisir pantai perbatasan utara kota, Gar,” terang Radit yang juga berada di lokasi, sesaat sebelum mobil berangkat. “Entah kenapa kok gue nggak yakin kalo Rissa ada di sana. Nggak tahu apa yang bikin nggak yakin, tapi gue nggak yakin aja.”Gara menghela napas, sejujurnya ia juga merasa demikian. Bukan karena Radit mengatakan itu, tapi dari awal Gara memang sudah tidak tertarik dengan tempat tersebut hanya dari namanya saja. Memang konyol, tapi tuan muda tetap menganggap itu adalah firasat.“Gue ikut mobil yang ke Babel Tower aja, Dit,” putus Gara kemudian, membuat sahabatnya seketika mengerutkan alis dengan heran.Babel Tower adalah sebuah apartemen eksklusif yang megah, namun sudah lumayan tua. Banyak penghuni apartemen yang su
***DRAK! DRAK!Carissa dan Aldric mendadak membatu, diam bersamaan. Jelas sekali suara pintu digedor dari luar, membuat secercah harapan seperti kembali berpijar di tengah benak Rissa yang hampir putus asa dan akan menyerah kepada takdir. Dan oleh sebab Aldric yang masih dilanda gelombang kejut hingga tak bisa bergerak, Rissa mengambil kesempatan itu untuk menendang tulang rusuknya kuat-kuat.“Argh!” Pria itu terpelanting, jatuh dari atas tubuh Carissa ke atas lantai. “Bangsat! Beraninya kamu! Awas kamu ya, Ris!”Panik dan terburu-buru, perempuan itu melompat menuju pintu untuk membalas gedoran siapapun yang berada di luar sana.“Tolong! Siapapun, tolong aku! To–”“Aku nggak akan melepaskanmu, Ris! Aku lebih baik melihatmu mati saja.” Pria itu menggeram keras, berdiri dari tempatnya terjatuh dan meraih kembali tubuh Rissa yang sudah nyaris menyentuh daun pintu.“Tolong!” Rissa menjerit keras. “Siapapun di luar, tolong aku dari manusia gila ini! Tolong!”“Diam, Sayang!”“Tolong, hmpp!
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa