**Beberapa hari berikutnya, berlalu dalam kedamaian yang agak menegangkan. Carissa harap-harap cemas menunggu masalah apa lagi yang akan ditimbulkan oleh Aldric, namun ternyata tak ada apapun yang terjadi. Rissa belum melaksanakan niatnya melaporkan pria itu ke polisi sebab ia rasa semakin ke sini pergerakan Aldric semakin pasif.“Rissa?”Perempuan yang sedang menggendong bayinya di ambang jendela kamar itu menoleh pelan ketika mendengar suara memanggilnya. Mendapati sang suami yang baru saja memasuki kamar dengan menenteng jas di tangan.“Sudah pulang, Kak?” Rissa menyapa dengan senyum mengembang. Ia mendekat untuk menyambut. “Gimana hari ini? Kamu baru pulang dari kantor polisi, kan? Apa tuntutan yang kamu bikin udah diproses?Pria itu mendesah dengan wajah lelah. Rissa buru-buru menidurkan bayinya yang sudah pulas dalam gendongan ke atas tempat tidur sebelum kembali menghadapi sang suami.“Seperti yang kita semua bisa tebak.” Pria itu mengangkat bahu. “Keluarga Aldric terlalu puny
**“Aku bilang, hentikan kebodohanmu itu! Apa tidak apa perempuan lain yang bisa kau kejar? Sungguh, Aldric, kamu hampir tiga puluh tahun! Berhenti bersikap seperti kamu remaja kemarin sore yang kelebihan hormon begitu. Jangan lagi bikin malu keluarga!”Aldric hanya bisa menatap dengan bosan saat ayahnya menunjuk-nunjuk wajahnya dengan air muka penuh dengan amarah. Ini yang ketiga kalinya dalam minggu ini ia dimarahi sebab ketahuan masih menguntit menantu keluarga Aditama setelah kekacauan yang sudah-sudah.“Tapi aku suka dia, Pi.”“Suka?” Pria separuh baya yang tidak mirip dengan Aldric itu kembali melotot dengan garang. “Kamu bisa mendapatkan satu juta wanita seperti itu di luar sana! Ada apa denganmu ini?”“Tapi satu juta wanita di luar sana bukan Carissa.”“Demi Tuhan, Aldric! Perempuan itu sudah bersuami, dan suaminya adalah satu kompetitor terbesar Papi. Kamu boleh saja merebut istri laki-laki yang lain di luar sana, asal jangan milik petinggi Mellifluous itu. Papi nggak mau car
**Seperti yang Carissa harapkan, hari-hari berlalu dalam damai sesudahnya. Ia pikir Aldric memang sudah benar-benar bosan dan menyerah mengganggunya lagi. Tak ada gangguan apapun selama beberapa hari yang sudah terlewati ini, jadi ia pikir hidupnya telah kembali damai dan kondusif.Pagi ini, selepas sarapan Carissa sedang bercengkerama dengan suami dan anaknya di ruang tengah saat ia dengar ponselnya berdering.“Ada yang nelepon?” tanya Gara dengan dahi berkerut. “Kamu biasa dapet telepon pada jam-jam segini?”“Ih, nggak pernah!” sangkal Rissa dengan dahi yang turut berkerut pula. Perempuan itu beranjak dari sofa untuk menghampiri si ponsel yang masih berdering di atas nakas. Hari ini bukan weekend, namun Sagara sengaja mengambil cuti untuk bermalas-malasan di rumah saja bersama istri dan putrinya. Ini agak mengherankan, mengingat seorang Sagara Aditama seperti diciptakan Tuhan hanya untuk bekerja saja. Pria itu nyaris tak pernah mengambil libur kecuali sangat amat urgent.“Siapa ya
**“Hari ini aku mau belanja ke supermarket ya, Kak. Boleh kan?” Carissa minta izin kepada suaminya pagi ini, saat Gara akan berangkat bekerja.“Supermarket?” Pria itu mengernyit. “Kamu mau ke supermarket sendirian?”“Kenapa? Kan hanya supermarket, Kak. Itu juga nggak jauh dari sini, kok.”Gara meletakkan cangkir kopi yang sebelumnya ia pegang. Menatap menelisik kepada sang istri yang memandangnya balik dari seberang meja makan. “Kamu yakin, Ris?”“Berhari-hari ini udah nggak ada gangguan lagi, kok. Kayak yang aku bilang sebelumnya, Aldric mungkin udah bosen gangguin aku. Jadi kemungkinan besar udah nggak apa-apa.”Gara melanjutkan menyeruput kopinya. Ya, istrinya benar. Memang beberapa hari ini berlalu dalam tenteram dan damai. Sepertinya benar demikian, Aldric sudah melupakan kegilaannya setelah Gara melaporkan pada polisi dan berita omong kosongnya tersebar ke seluruh pelosok negeri.“Baiklah kalau begitu,” putus Gara akhirnya. “Kamu mau pergi sama Stella?”Rissa menggeleng. “Stell
**"A-Aldric!" Carissa terhuyung mundur. Kedua bola matanya membeliak panik saat melihat siapa yang berada di hadapannya. "A-apa yang kamu lakukan di sini?""Mengikutimu." Pria itu menjawab tegas seraya menyeringai, menatap Rissa dengan sorot mata horor yang intimidatif. Carissa tidak suka, tentu saja."Jangan mengikutiku. Pergilah, dan aku akan melupakan kejadian ini.""Pergi? Setelah sekian lama aku menunggu dan bersabar demi kesempatan seperti ini?"Hati Rissa terasa mencelos. Ternyata ia salah besar jika selama ini menganggap keadaan sudah cukup aman. Nyatanya Aldric justru menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi. Dan sekaranglah waktu yang tepat itu. Ia sama sekali tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. "Sayang, kamu tahu aku bukanlah orang yang suka bersabar," lanjut Aldric sembari melangkah maju, membuat Rissa kembali serampangan menjauh."A-Aldric, please. Apa yang kamu inginkan dariku? Aku nggak punya apapun yang bisa membuat kamu tertarik. Apa yang kamu ingink
**“Apa saja kerjamu, ha? Apa kamu sudah bosan hidup sampai membiarkan hal seperti ini terjadi kepada istriku? Sudah bosan hidup kau, ha?”Radit terpaksa menarik belakang kerah baju sahabatnya kala Sagara lepas kendali begitu sampai di pelataran supermarket. Pria itu sudah nyaris melayangkan bogem mentah dan menghajar sang supir yang sudah meringkuk ketakutan. “Gar, jangan cari perkara tambahan, deh. Inget lo sekarang lagi banyak problem, nggak ada waktu buat ngurusin masalah-masalah baru dalam hidup lo! Lagian bukannya lo udah denger sendiri kalo supir lo dikunciin di kamar mandi?” desis Radit.Tangannya sudah nyaris tidak kuat menahan tubuh Gara yang memang lebih besar dan kekar dari tubuhnya sendiri.“Bangsat!”Entah ditujukan kepada siapa umpatan barusan, namun sesudahnya, ia beralih menjauh dari pria pegawainya yang masih ketakutan. Wajahnya masih penuh amarah pula.“Cari istri gue sampe dapet, Dit! Gue nggak peduli kalau pun lo harus cari sampai ujung dunia. Cari istri gue sampa
**“Jangan mendekat, jangan mendekat, tolong ….” Carissa berujar dengan masih berurai air mata saat lelaki di hadapannya menggeser posisi lebih dekat ke arahnya. “Aldric, jangan sentuh aku. Tolong lepaskan aku ….”Pria itu berdecak tidak senang. Raut wajahnya terlihat menegang sebab Carissa terus saja merengek kepadanya. Aldric bukanlah laki-laki yang memiliki kesabaran besar. Ia biasa berbuat sesukanya kepada siapapun. Tak peduli apakah orang itu laki-laki atau perempuan.“Aku sama sekali belum menyentuhmu, Carissa,” tandasnya tajam, “Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah aku ini adalah laki-laki bejat.”Tak sadar diri. Padahal memang demikian adanya. Carissa membekap mulutnya dengan telapak tangan agar isaknya tak semakin menjadi-jadi. Ia takut sekali Aldric akan nekat melakukan sesuatu yang jahat kepadanya. Bagaimanapun, mereka berdua berada dalam kamar tertutup.“Kamu makan dulu ya, Sayang?” Pria itu kemudian merendahkan intonasi suaranya setelah menghela napas dalam-dalam untuk m
**Abian menggendong keponakan tersayangnya yang nampak mengantuk akibat terlalu banyak menangis pada hari kemarin. Pria itu berjalan pelan melintasi koridor-koridor sepi mansion orang tuanya. Sesekali membalas pandangan polos si bayi Stella dengan hangat.“Mengantuk, ya?” tanyanya, yang tentu saja tidak bisa dijawab dengan jawaban verbal. Bayi dalam gendongannya yang masih berusia delapan bulan itu hanya mendengung, mengoceh pelan.“Sabar, ya. Sementara kamu sama Papa kecil dulu karena Daddy-mu sibuk. Semoga Mamamu bisa segera ditemukan, ya? Kami semua sedang berusaha. Dan terimakasih karena kamu udah nggak rewel hari ini.”Stella secara ajaib terlihat mengerti dengan apa yang omnya katakan. Bayi itu menelungkupkan kepalanya ke pundak Abian, membuat yang bersangkutan gemas sendiri. Abian tepuk-tepuk lembut punggung keponakannya sembari sedikit mengeratkan dekapan.“Oh, Bian!”Di ujung koridor, ternyata disambut oleh Henry. Pria paruh baya itu sama dengan semua orang dalam rumah besar