**“Boleh aku berkunjung ke tempat Tamara, Kak?” Pagi ini sebelum Gara berangkat ke kantor, Rissa meminta izin kepadanya. Rissa bosan di rumah sendirian, sebab Yasmin, Henry, atau Abian, semuanya juga harus pergi bekerja. Ah, ya. Pasangan suami istri itu masih berada di rumah besar, omong-omong.“Itu kan jauh?” sela Yasmin sebelum Gara sendiri sempat menjawab. “Kamu mau pergi sendirian? Yang bener ajalah!”“Kan dianterin sama driver, Mam. Kalau Mami masih khawatir, Rissa juga nggak keberatan ditemenin sama staff rumah.”Yasmin berdecak. Jelas sajalah ia keberatan. Rumah sakit jiwa tempat Tamara dirawat agak jauh dari rumah. Sekitar satu jam perjalanan, dua jam pulang pergi.“Mau aku temani?” Giliran Abian yang menawarkan bantuan. “Pesawatku ke Makassar masih siang nanti. Aku bisa temani kamu–”“Nggak!” Namun, Sagara memotong dengan kejam. “Kalau kamu harus banget pergi, minta temenin Santi sama bawa satu staff buat nemenin selain driver. Everybody except you, Abian!”“Dih.” Abian berd
**"Abian, Tam."Tamara terpaku di depan pintu rumah paviliun yang ia tempati. Memandang dengan wajah tidak yakin kepada Carissa. Ah, ya, Rissa sudah mendengar hal ini dari petugas di front office tadi, bahwa mungkin Tamara akan sedikit terganggu jika ia bertemu dengan laki-laki asing. Bagaimanapun, pertemuan dengan Aldric meninggalkan trauma yang cukup mendalam pada dirinya."Boleh masuk, ya? Abian cuma anterin aku, kok. Karena Kak Gara nggak bisa anterin ke sini. Kerjaan dia di kantor nggak bisa ditinggal, katanya."Mengangguk ragu-ragu, akhirnya. Namun Tamara mengangguk dan mundur sedikit untuk memberikan Rissa dan Abian jalan."Rissa, mau minum apa?""Jangan repot-repot, Tam. Duduk sini aja. Kan aku tujuannya ke sini pengen ngobrol sama kamu."Perempuan cantik itu tersenyum. Ia mengeluarkan sekotak besar jus jeruk dan tiga buah gelas, kemudian. Membawanya ke ruang tamu di mana Rissa dan Abian duduk menunggu."Ibu menyusui harus banyak minum jus buah biar asinya lancar. Diminum, Ri
**Private number.Rissa mengedarkan pandang kepada dua yang lain di hadapannya. Meminta pendapat tentang hal ini.“Ini pasti Aldric,” tuturnya dengan gelisah. “Dia selalu pakai private number kalau nelepon. Haruskah aku angkat? Kalau enggak, soalnya dia bakalan neror terus sampai nanti aku capek terus akhirnya terpaksa angkat juga.”“Coba angkat aja, Ris,” saran Abian kemudian. “Aku pengen tahu dia mau ngomong apa. Jangan lupa loudspeaker.”Rissa akhirnya menekan tombol hijau sebelum meletakkan ponselnya di atas meja agar yang lain bisa mendengar.“Halo, Baby?”Dan seketika berjengit mendengar sapaan itu. Suara baritone yang dalam terdengar melalui speaker ponsel. Rissa kembali lemparkan pandang kepada dua yang lain sembari menggeleng. Ingin rasanya ia matikan saat itu juga ponselnya, namun Abian masih mengisyaratkan kepadanya untuk melanjutkan.“Ah, kamu dateng ketemu Tamara sama mantan tunanganmu. Apa suamimu baik-baik saja?”Seketika kedua netra Carissa melebar. Dari mana pria ini
**Beberapa hari berikutnya, berlalu dalam kedamaian yang agak menegangkan. Carissa harap-harap cemas menunggu masalah apa lagi yang akan ditimbulkan oleh Aldric, namun ternyata tak ada apapun yang terjadi. Rissa belum melaksanakan niatnya melaporkan pria itu ke polisi sebab ia rasa semakin ke sini pergerakan Aldric semakin pasif.“Rissa?”Perempuan yang sedang menggendong bayinya di ambang jendela kamar itu menoleh pelan ketika mendengar suara memanggilnya. Mendapati sang suami yang baru saja memasuki kamar dengan menenteng jas di tangan.“Sudah pulang, Kak?” Rissa menyapa dengan senyum mengembang. Ia mendekat untuk menyambut. “Gimana hari ini? Kamu baru pulang dari kantor polisi, kan? Apa tuntutan yang kamu bikin udah diproses?Pria itu mendesah dengan wajah lelah. Rissa buru-buru menidurkan bayinya yang sudah pulas dalam gendongan ke atas tempat tidur sebelum kembali menghadapi sang suami.“Seperti yang kita semua bisa tebak.” Pria itu mengangkat bahu. “Keluarga Aldric terlalu puny
**“Aku bilang, hentikan kebodohanmu itu! Apa tidak apa perempuan lain yang bisa kau kejar? Sungguh, Aldric, kamu hampir tiga puluh tahun! Berhenti bersikap seperti kamu remaja kemarin sore yang kelebihan hormon begitu. Jangan lagi bikin malu keluarga!”Aldric hanya bisa menatap dengan bosan saat ayahnya menunjuk-nunjuk wajahnya dengan air muka penuh dengan amarah. Ini yang ketiga kalinya dalam minggu ini ia dimarahi sebab ketahuan masih menguntit menantu keluarga Aditama setelah kekacauan yang sudah-sudah.“Tapi aku suka dia, Pi.”“Suka?” Pria separuh baya yang tidak mirip dengan Aldric itu kembali melotot dengan garang. “Kamu bisa mendapatkan satu juta wanita seperti itu di luar sana! Ada apa denganmu ini?”“Tapi satu juta wanita di luar sana bukan Carissa.”“Demi Tuhan, Aldric! Perempuan itu sudah bersuami, dan suaminya adalah satu kompetitor terbesar Papi. Kamu boleh saja merebut istri laki-laki yang lain di luar sana, asal jangan milik petinggi Mellifluous itu. Papi nggak mau car
**Seperti yang Carissa harapkan, hari-hari berlalu dalam damai sesudahnya. Ia pikir Aldric memang sudah benar-benar bosan dan menyerah mengganggunya lagi. Tak ada gangguan apapun selama beberapa hari yang sudah terlewati ini, jadi ia pikir hidupnya telah kembali damai dan kondusif.Pagi ini, selepas sarapan Carissa sedang bercengkerama dengan suami dan anaknya di ruang tengah saat ia dengar ponselnya berdering.“Ada yang nelepon?” tanya Gara dengan dahi berkerut. “Kamu biasa dapet telepon pada jam-jam segini?”“Ih, nggak pernah!” sangkal Rissa dengan dahi yang turut berkerut pula. Perempuan itu beranjak dari sofa untuk menghampiri si ponsel yang masih berdering di atas nakas. Hari ini bukan weekend, namun Sagara sengaja mengambil cuti untuk bermalas-malasan di rumah saja bersama istri dan putrinya. Ini agak mengherankan, mengingat seorang Sagara Aditama seperti diciptakan Tuhan hanya untuk bekerja saja. Pria itu nyaris tak pernah mengambil libur kecuali sangat amat urgent.“Siapa ya
**“Hari ini aku mau belanja ke supermarket ya, Kak. Boleh kan?” Carissa minta izin kepada suaminya pagi ini, saat Gara akan berangkat bekerja.“Supermarket?” Pria itu mengernyit. “Kamu mau ke supermarket sendirian?”“Kenapa? Kan hanya supermarket, Kak. Itu juga nggak jauh dari sini, kok.”Gara meletakkan cangkir kopi yang sebelumnya ia pegang. Menatap menelisik kepada sang istri yang memandangnya balik dari seberang meja makan. “Kamu yakin, Ris?”“Berhari-hari ini udah nggak ada gangguan lagi, kok. Kayak yang aku bilang sebelumnya, Aldric mungkin udah bosen gangguin aku. Jadi kemungkinan besar udah nggak apa-apa.”Gara melanjutkan menyeruput kopinya. Ya, istrinya benar. Memang beberapa hari ini berlalu dalam tenteram dan damai. Sepertinya benar demikian, Aldric sudah melupakan kegilaannya setelah Gara melaporkan pada polisi dan berita omong kosongnya tersebar ke seluruh pelosok negeri.“Baiklah kalau begitu,” putus Gara akhirnya. “Kamu mau pergi sama Stella?”Rissa menggeleng. “Stell
**"A-Aldric!" Carissa terhuyung mundur. Kedua bola matanya membeliak panik saat melihat siapa yang berada di hadapannya. "A-apa yang kamu lakukan di sini?""Mengikutimu." Pria itu menjawab tegas seraya menyeringai, menatap Rissa dengan sorot mata horor yang intimidatif. Carissa tidak suka, tentu saja."Jangan mengikutiku. Pergilah, dan aku akan melupakan kejadian ini.""Pergi? Setelah sekian lama aku menunggu dan bersabar demi kesempatan seperti ini?"Hati Rissa terasa mencelos. Ternyata ia salah besar jika selama ini menganggap keadaan sudah cukup aman. Nyatanya Aldric justru menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi. Dan sekaranglah waktu yang tepat itu. Ia sama sekali tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. "Sayang, kamu tahu aku bukanlah orang yang suka bersabar," lanjut Aldric sembari melangkah maju, membuat Rissa kembali serampangan menjauh."A-Aldric, please. Apa yang kamu inginkan dariku? Aku nggak punya apapun yang bisa membuat kamu tertarik. Apa yang kamu ingink