“Kapan pulang, Mas?” “Apa aku harus menjawab pertanyaanmu itu??” Kalau boleh memilih takdir, aku ingin hidup sederhana saja asalkan setiap hari bisa bertemu dengan suami. Namun, penyesalan memang selalu datang terlambat. Mas Ares tidak akan pernah bisa pulang karena aku bukanlah rumahnya.
View More“Gimana?”
Pertanyaan barusan dijawab oleh Feby lewat gelengan kepala. Lantas dia tersenyum kecut sembari menatap layar ponsel yang sudah menggelap. “Mas Ares mungkin …masih ada rapat. Jadi enggak bisa dihubungi dari tadi,” gumam Feby setelahnya. “Kau yakin??” tanya perempuan yang ada di hadapannya itu sekarang. “Bisa jadi ‘kan dia lagi sibuk sama—“ “Bu!” potong Feby cepat. Wanita paruh baya tersebut tak lagi melanjutkan kalimatnya. Terlebih begitu melihat Feby yang sudah memasang wajah masam. “Ya sudahlah. Sekali lagi ibu ingatin, kalau kau jangan terlalu banyak berharap.” Setelahnya suasana hening karena Feby memilih kabur ke kamar. Menumpahkan segala keresahan yang sedari tadi ia sembunyikan seorang diri. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya pria yang sejak lama dinantikan telah terbebas dari jadwal sibuknya. Membuat Feby yang masih terjaga lekas mendekat ke arah nakas. TING!! [Sudah tidur, Sayang?] Feby mengulum senyum usai membaca pesan barusan. Tak lama setelah itu ponselnya pun berdering. “Halo, Mas!” pekiknya kegirangan. “Ke mana aja sih? Satu harian aku nunggu kabar darimu.” Rengekan manja ke luar dari bibir manis Feby begitu saja. Mengungkapkan segala keluh kesah sebagai pelampiasan karena dirinya diabaikan oleh orang di seberang sana. Tidak lama. Hanya sekitar satu menit lantaran waktu mereka mengobrol memang cukup terbatas. [“Iya, Sayang. Maaf ya. Tadi aku pikir acaranya selesai sampai sore. Eh ternyata kata si Angga dilanjut sampai makan malam.”] Feby belum merespon penjelasan tersebut. Namun, dia mulai mengalihkan mode komunikasi mereka menjadi panggilan bervideo. Hingga dalam beberapa detik wajah tampan si pria muncul di layar gawainya. “Oke. Aku maafin deh.” [“Makasih. Oh ya. Ada kabar apa hari ini, hmm?”] Alih-alih menjawab pertanyaan barusan, Feby malah cekikikan sendiri. Tak pelak tangannya mengelus perut yang semakin membuncit. “Anak kita laki-laki, Mas.” Mata Feby berbinar cerah. Seolah mewakili bagaimana rasa senangnya mengungkapkan pengumuman tadi. Berharap respon yang sama akan terlihat dari wajah pria di depan layar sana. [“Oh ya??”] Sesuai dugaan semula. Suaminya itu terkejut sembari menampakkan senyuman ceria. Feby pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Bahkan dengan semangat yang menggebu dia memamerkan hasil cetak foto sang calon bayi yang terlampir di lembaran buku pemeriksaannya. “Gimana? Mas senang?” [“Iyalah, Sayang. Pasti ganteng kayak aku.”] Feby pun menceritakan apa saja yang ia dengarkan dari dokter saat pemeriksaan sore tadi. Sementara suaminya masih setia menyimak sambil tersenyum. “Aku kangen, Mas.” Feby mulai merengek lagi. [“Iya. Sabar ya. Nanti kalau sudah ada jadwal yang cocok kita ketemuan. Kata Angga, Pak Gubernur mau ikut meresmikan proyek baru itu juga. Jadi kami masih sibuk.”] Feby menghela napas pasrah. Tahu sekali bahwa dia tak bisa memaksakan diri. Pun dia juga tidaklah mungkin menyusul karena kondisi yang memang harus dimaklumi pula. Pada akhirnya dia kembali mengalah entah untuk yang ke berapa kali. Lagi-lagi rasa rindu yang sudah menggunung harus dipendam seorang diri. *** Berita kehamilan seorang artis di layar kaca membuat Feby mengerucutkan bibir. Ada perasaan cemburu karena dia menginginkan kehadiran sang suami di sisi. Terlebih setelah seminggu yang lalu pria yang dicintainya itu belum memberikan kabar. Jadilah wanita hamil tersebut tampak murung. “Gimana rasanya, Feb? Hidup bergelimah harta tapi kesepian ‘kan?” Suara barusan membuat Feby memutar malas bola mata. Bukannya menghibur, sang ibu malah menyindir pula. “Ini pilihan aku, Bu,” kata Feby akhirya. Ibunya mengangguk pelan. “Ibu tahu, Feb. Menyesal pun enggak akan berguna. Toh kau sudah hamil begini.” Kalau terus dilanjutkan, bisa jadi obrolan mereka akan memanas. Feby yang tak mau terlibat adu mulut pun segera mengganti saluran televisi di depan mata. Sayangnya yang terpilih lagi-lagi berita serupa. “Ibu mau nonton? Aku udah ngantuk. Kalau iya, aku biarin TV-nya nyala,” ucap Feby yang sudah bangkit dari posisi duduknya. Sang ibu mengangguk. “Ngantuk apa …mau sembunyi di kamar?” “Terserah aku. Ngobrol sama ibu buat sakit hati terus!” ketus Feby yang mulai kesal. Beruntung pilihan tindakannya tadi berbuah manis. Tak berapa lama ponsel pun berdering. Layarnya menampilkan nama orang yang sangat dirindukan. [“Maaf ya, Sayang. Hape sengaja aku nonaktifkan untuk jaga-jaga supaya aman.”] “Hu um.” Feby yang masih sebal pun mengembuskan napas kasar. Perubahan hormon selama kehamilan menjadikan wanita cantik itu harus pandai mengatur suasana hatinya. Pun karena sang suami tidak ada di sisinya saat ini. [“Hei! Kenapa malah diam lagi?”] “Menurutmu gimana coba, Mas? Aku kangen tapi enggak ada obatnya!!” rengek Feby hampir menangis. [“Maaf ya. Kondisinya enggak memungkinkan, Sayang.”] “Kapan pulang, Mas?” Pada akhirnya pertanyaan yang tak pernah terpikirkan itu terlontar juga dari mulut Feby. Dia tak tahu entah mengapa tiba-tiba saja bisa mengucapkannya. Suasana mendadak hening. Feby bahkan sudah menumpahkan air matanya karena perasaan yang sangat menyulitkan saat ini. Sementara di seberang sana pria tersebut juga kehilangan suara. Hingga kemudian … [“Apa aku harus menjawab pertanyaanmu itu??”] “Maaf, Mas.” Tangis Feby semakin tak terbendung. “A-aku hanya kangen.” [“Seharusnya kau sadar diri, Feb!!”] “Apa katamu, Mas??”Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya
Rania memutus panggilan telepon tadi begitu melihat seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu kemudian berdecak sebal.Dialah Feby yang menatapnya dengan mata lembut. "Rania, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Kau berhak merasa seperti itu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara."Rania berdiri mematung sejenak, menatap Feby dengan pandangan tajam. "Kenapa Mbak harus menikah dengan ayahku? Mbak tahu aku sayang banget sama Ayah, tapi kenapa Mbak sembunyiin ini dariku?"Feby menelan ludah. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah. "Rania, aku tahu ini sangat berat buatmu. Dan aku... aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa dikhianati. Percayalah, aku enggak pernah berniat buat menyakiti perasaanmu. Aku dan Ayahmu... tidak pernah ingin menyakitimu."Rania mengalihkan pandangannya, menendang kerikil di tanah dengan ujung sepatunya. "Ayah enggak pernah cerita. Semua ini tiba-tiba. Aku kir
"Rania sayang, dengerin Ayah dulu," kata Sandi dengan suara bergetar, mencoba meredam emosi yang jelas terpancar dari wajah putrinya.Namun, Rania hanya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam."Jahat!" Rania membalas dengan nada yang meledak-ledak. Air matanya mulai mengalir, namun tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. "Kalian semua bohong! Ayah bilang kita bisa kembali jadi keluarga, tapi ternyata Ayah malah menikahi orang lain di belakangku! Orang yang selama ini aku anggap teman!"Feby mundur satu langkah, hatinya seolah tertusuk setiap kali mendengar kata-kata Rania. Ia ingin menjelaskan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat. Kata-kata apa pun sepertinya tidak akan cukup untuk meredakan amarah Rania saat ini."Rania, ini enggak seperti yang kau pikirkan," Sandi mencoba menjelaskan, meskipun dirinya tahu itu tidak akan mudah. "Ayah dan ibumu sudah lama berpisah, dan Ayah menikah lagi karena Ayah mencintai Feby. Tapi itu enggak pernah mengubah
Sandi terdiam lama menatap layar ponselnya. Panggilan dari mantan istrinya terus berdering, seolah menuntut jawaban. Suasana di antara Sandi dan Feby semakin tegang, dan Feby bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Sandi selanjutnya."Angkat saja." suara Feby terdengar pelan, hampir berbisik. Matanya menatap ponsel itu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Jika Sandi menjawab panggilan itu, apa artinya hubungan mereka?Sandi ragu. Ia meremas ponselnya dengan tangan yang semakin gemetar. "Aku..." suaranya terdengar ragu, menatap layar sejenak sebelum akhirnya ia mengambil keputusan cepat. Dengan satu gerakan tegas, Sandi menekan tombol "tolak" dan mematikan teleponnya.Feby menghela napas lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya tenang. "Om yakin tidak ingin bicara dengan dia?" tanya Feby hati-hati.Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku enggak mau mengulang semuanya lagi, Feb. Aku suda
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments