Feby menggenggam erat gelas minumannya sembari menatap sendu pemandangan yang menyesakkan itu. Bagaimana tidak, pria yang ada di sana tengah duduk di samping seorang wanita cantik. Apa boleh dia cemburu?
“Jangan terus dilihat kalau hanya akan membuatmu sakit hati.” Suara barusan membuat Feby menoleh cepat. Dia lantas bergumam pelan lalu bertanya, “Sudah berapa lama Mas Ares ada di kota ini?” “Kau tidak berhak bertanya, Feb,” tukas pria tersebut dengan nada dingin. “Pak Ares akan mengabarimu kalau memang sudah waktunya.” Feby pun berdecak pelan. “Kau itu hanya kacungnya Mas Ares. Jangan sok memerintahku!!” “Aku tahu diri. Kuharap kau pun sadar, Feb. Kau juga hanya wanita simpanan.” “Tutup mulumu, Angga! Aku juga istrinya,” sanggah Feby tak terima. “Walaupun … istri kedua.” Pria bernama Angga tersebut malah tersenyum miring. “Oh ya?? Orang bisa dikatakan sebagai istri kedua kalau diketahui yang pertama. Sementara kau? Statusmu dirahasikan. Dengan kata lain, hanya istri simpanan.” “Kau—” Ucapan Feby terpotong saat Angga bergerak mendekat. Pria itu menghalangi pemandangannya seketika. “Pergilah! Atau kau akan semakin sakit lagi nantinya.” Setelah mengatakan kalimat barusan, Angga lantas meninggalkan Feby yang masih membeku. Sama sekali tak ada niatan untuk mengikuti saran dari asisten pribadi suaminya tersebut. Benar. Angga tidak bercanda memang. Tak sampai lima menit kini beberapa orang turut bergabung di sana. Membuat Feby semakin dilanda perasaan iri luar biasa. Terlebih begitu melihat para bocah perempuan yang muncul dengan berbagai hadiah di tangan mereka. Feby tersenyum getir. Jauh di dalam hatinya sangat memimpikan momen tersebut. Namun, apakah mungkin bisa terjadi di dalam kehidupan nyata? Sepertinya mustahil karena bahkan sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa dirinya untuk seorang Ares Dwi Pranata. “Hei, Cantik!” “Eh, lagi bunting tuh! Masih aja lo godain!!” Langkah kaki Feby yang hendak tiba di area parkiran berhenti. Dia melirik sebentar ke arah samping kanan untuk memastikan siapa sang penggoda barusan. Senyumnya pun terbit usai melihat dua orang pemuda seumuran dengan adiknya tersebut. “Maaf, Mbak. Enggak tahu kalau lagi hamil. Sorry ye!” celetuk salah satu di antara mereka. Feby tak merespon lewat kata-kata. Dirinya hanya mengibaskan tangan ke udara. Lantas kembali melanjutkan langkah. “Ki, menurutmu … umurku sekarang berapaan?” tanya Feby tiba-tiba. Adiknya yang sedari tadi fokus pada kemudi pun mengerutkan dahi. “Dua lima. Memangnya kenapa sih?” Wanita berbadan dua itu berdecak sebal. “Jangan lihat dari tahun lahirku, Ki. Ya … kalau kau lihat sekilas.” Zaki malah mengendikkan bahu. “Mana kutahu.” “Aku memang cantik karena makeup atau apa sih?” “Ckck. Apaan sih, Kak?” Zaki pun terbahak. “Tumben kau tanya-tanya segala. Kalau kau jelek, Mas Ares mana mungkin bisa tergoda. Eh? Bu-bukan.” Zaki langsung gelagapan karena merasa salah bicara. Pria lulusan SMA itu bahkan sudah menepuk-nepuk bibirnya berulang kali. Namun, apa yang terucap tidak bisa ditelan kembali. Jadilah yang ada hanya penyesalan saja. Sementara Feby kini tersenyum getir. Terlebih setelah mendengar kalimat terus terang dari adiknya tadi. “Aku mau nyetir sendiri, Ki. Tolong berhentiin mobilnya di simpang sana ya.” “Lah?!” Zaki pun semakin ketar-ketir. “Maaf, Kak Feb. A-aku tadi keceplosan.” “Udah dimaafin!” “Aku jangan ditinggal ya, Kak?” Feby yang sudah terlanjur kesal tak bisa mengubah keputusannya. Dia lantas mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya di atas paha Zaki. “Ini cukup buatmu untuk beli baju baru sama naik ojek!!” “Kak!!” Apa Feby peduli? Jawabannya tidak. Wanita itu kemudian lekas memasang sabuk pengaman lalu mengemudikan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Salah satu hotel bintang lima yang ada di kota adalah tujuannya saat ini. Pulang ke rumah pun percuma. Yang ada sang ibu kemungkinan akan mengusik ketenangannya. Itulah yang ada di benak Feby sekarang. [Makasih ya, Honey untuk surprise hari ini. Kirain lupa sama hari anniversary kita. Hehe.] Postingan di akun media sosial tersebut mulai dibanjiri komentar oleh para netizen. Tampaknya mereka senang dengan foto dan caption penuh bunga tadi. Mungkin hanya Feby sendiri yang sedang terbakar hatinya saat ini. “Menikahlah denganku. Segala yang kau butuhkan akan kupenuhi.” Kalimat enam bulan yang lalu kini kembali terngiang di benak Feby. Pria tampan bernama Ares yang tengah dalam keadaan kacau melamarnya dengan janji yang begitu manis. Jelas dia tak menolak karena kala itu tengah terbuai dengan asmara yang terlarang. Di sinilah Feby sekarang. Tengah berendam di dalam bathub sembari mengenang masa-masa indahnya bersama sang suami. Sayang, malam ini dirinya harus sadar bahwa ia adalah istri bayangan. Jangankan menuntut hak, bahkan perhatian juga sepertinya sangat sulit. TING! Denting ponsel barusan segera membuka kelopak mata Feby yang hendak menutup. Senyumnya merekah usai melihat pesan dari Ares. [Sudah tidur?] Feby yang usil lantas berinisiatif untuk mengirimkan fotonya sekarang. Bermandikan buih di dalam bak dengan pose yang memancing hasrat seorang pria. Tebak apa balasan dari orang di seberang sana? Feby bahkan terbahak ketika mendengarm ponselnya yang berdering tidak karuan. “Hai!” sapanya sambil mengulum senyuman termanis. [“Sayang, kau sedang apa? Dengan siapa? Di mana sekarang?”] Alih-alih menjawab deretan pertanyaan tadi, Feby malah memilih untuk tetap mempertahankan senyum di wajahnya. Membuat sang suami tampan semakin dilanda penasaran. “Menurutmu di mana, Mas?” Feby merengek manja. “Aku kangen. Jadinya pengen ke hotel yang biasa kita singgahi. Apa aku salah?” Ares sontak membelalakkan matanya. Jelas kaget bukan main. Membuat Feby kemudian segera mengerutkan dahi. [“Jangan bercanda, Feb!”] “Aku serius, Mas. Kenapa?” Ares menyugar kasar rambutnya ke arah belakang lalu mengembuskan napas kasar. [“Aku, Widya dan anak-anak juga menginap di sini.”] “Oh.” Hanya itu yang Feby katakana sebagai respon. “Apa masalahnya? Enggak ada yang tahu kalau aku ke sini bersama dengan Mas seperti biasa. Santai sajalah. Malahan … Mas bisa ‘kan main kemari?” [“Feby?”] “Ayolah, Mas. Aku kangen. Udah sebulan kita enggak ketemu ‘kan?” [“Kalau bisa akan kubari. Sudah dulu ya.”] Meskipun belum pasti apakah sang suami akan bertandang, tetapi Feby tetap saja mempersiapkan diri sebaik mungkin. *** Entah jam berapa sekarang. Feby tak peduli walaupun dia tadi sempat memejamkan mata. Namun, yang menjadi fokusnya saat ini adalah benda pipih yang berada di atas nakas. [Buka pintunya.] Mungkin karena malam semakin larut atau suaminya yang masih mengantuk. Jadilah pesan tadi terbaca sedikit datar. Tidak biasanya. Meskipun begitu, Feby tetap melangkah dengan suka cita. Masih mengenakan bathrobe bewarna merah menyala dia pun berjalan menuju ambang pintu. Lantas segera menyambut kedatangan prianya itu. Hingga beberapa detik kemudian … “KAU??”“Kau terkejut bukan??”“Mana Mas Ares??” Feby sontak menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. Sungguh tak menyangka bahwa yang akan datang adalah pria itu.“Kenapa, hah??” Angga tersenyum miring sambil menatap jijik ke arah Feby. “Kau haus belaian ya? Mau bermain denganku?”“Jangan kurang ajar!!” Feby langsung membolakan matanya. Angga menggeram lalu memajukan tubuhnya hingga membuat Feby refleks mundur beberapa langkah. “Aku juga tak sudi menyentuh barang bekas sepertimu!”“Diam! Mau apa kau ke sini??” Angga tidak menjawab. Namun, pria itu segera mengeluarkan sebuah kotak beludru bewarna keemasan di balik saku kemejanya.“Dari Pak Ares untukmu. Hadiah karena kau sudah mengandung anak laki-laki,” gumam Angga begitu datar.Feby menggeleng lemah. Raut kecewa pun mulai muncul dari wajah cantiknya. “Mas Ares ke mana?” Kali ini suaranya terdengar lirih.“Kau masih bertanya juga?? Ck ck. Jelas Pak Ares sedang menikmati kehangatan bersama istrinya. Jangan lupa
Percakapan para wanita tadi ternyata masih mengusik pikiran Feby. Bahkan ketika ia sudah kembali ke rumahnya. Tidak. Ares bukanlah termasuk pria yang dibicarakan oleh kaum sosialita tersebut. Suaminya jelas berbeda karena sudah terbukti dengan bersedia terlibat dalam pernikahan walaupun secara siri. Itulah yang berusaha Feby tanamkan di dalam benaknya sekarang. Hingga dering ponsel berhasil membuyarkan lamunannya dalam hitungan detik.“Halo, Mas!” sapa Feby dengan senyum yang merekah. Seketika wajah tampan Ares mampu menghipnotis rasa galaunya.[“Maaf ya, Sayang. Kita tidak jadi bertemu lagi. Tadi malam anak-anakku merengek ingin dibacakan dongeng. Mana mungkin aku menolak bukan?”]Feby mengangguk-angguk. Berusaha mengerti walaupun saat ini tengah berperang dengan hatinya sendiri. “Aku ngerti kok. Lagian memang kalau kita ketemuan risikonya besar, tapi … lain kali jangan suruh Angga yang datang.”[“Iya, maaf ya. Aku takut mood-mu memburuk ka
“Mau apa dia?” Feby jelas kesal bukan main. Waktu berharganya bersama Ares terusik karena panggilan dari istri pertama pria itu. Barulah ia sadar siapa dirinya sekarang. Sementara kini Ares tengah mengupingi gawai sembari melirik ke arah Feby yang mulai manyun. Tak pelak dia mengusap kepala istri keduanya itu dengan lembut. Seolah memberikan kode bahwa keadaan masih bisa terkendali.[“Iya, Mi. Papi tahu.”][“…”][“Iya. Sudah ya. Papi sedang sibuk sekarang.”]KLIK! Panggilan selama kurang lebih dua menit tadi pun berakhir. Ares mengembuskan napas lega, sedangkan Feby masih saja kelihatan misuh-misuh.“Marah ya, hmm?” Ares menjiwil lembut ujung dagu Feby. Pria itu lantas mendaratkan bibirnya di tempat yang sama pula. Feby yang tak mau merusak suasana pun menggeleng lalu mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. “Aku kangen. Tahu enggak sih, Mas?”“Iya, Sayang. Aku ‘kan di sini sekarang.” Masih banyak lagi kata-kata manis yang
Tidak ada gunanya larut dalam kesedihan. Feby harus sadar bahwa inilah jalan hidup yang ia pilih. Pernikahannya dengan Ares sebentar lagi akan menghadirkan buah cinta mereka. Jadi lebih baik fokus pada tujuan ke depan saja. Itulah yang ia pikirkan sekarang.“Masih memikirkan obrolan kita yang tadi?” tanya Ares yang sudah berada tepat di sampingnya.Feby menggeleng sambil tersenyum manis. “Enggak, Mas. Aku cuma masih kangen. Oh ya. Besok Mas jam berapa harus balik dari sini?”“Setelah menyuapimu sarapan tentunya.” Ares mengecup singkat bahu Feby yang terbuka itu lalu mendaratkan kepalanya di sana. Perlakuan lembut yang tentu saja mampu meredam rasa sedih di hati sang istri.“Masih ada waktu sekitar sembilan jam lagi sampai sarapan pagi. Boleh temani aku nonton?” tanya Feby kemudian. Anggukan cepat pria tampan tersebut membuat Feby bersemangat kembali. Dirinya pun bergegas menyambar remote TV lalu memilih saluran yang dianggap menarik.
“Saya yang bertanggung jawab untuk saya sendiri.” Feby menyerahkan KTP beserta kartu debet-nya kepada petugas administrasi rumah sakit. Berusaha tersenyum walaupun tengah ditatap penuh selidik oleh gadis muda di hadapannya itu.“Baik, Mbak. Sebentar ya,” ucap petugas tersebut yang kemudian segera melakukan entri data. Tak lama. Setelahnya Feby bergegas menuju kamar rawatan yang sudah dipesan sejak jauh hari. Di sanalah dia menantikan momen untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Sekilas memang tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Bahkan untuk biaya hidup sampai beberapa tahun ke depan bisa dipastikan sudah tercukupi. Namun, masalahnya masih sama. Feby harus menguatkan hati lantaran di masa yang akan datang ia akan tetap merasa sendirian. Suara derit pintu yang perlahan terbuka mengalihkan perhatian Feby. Seorang wanita paruh baya muncul dari sana dengan wajah pias.“Si Zaki ke mana? Katanya sudah di rumah sakit.”Feby menjawabn
[“Jadi beneran??”]Feby hampir lupa caranya bernapas. Apa istri pertama Ares itu sudah tahu tentang pernikahan siri mereka? Gawat kalau iya![“Apalagi sih, Mi? Enggak lihat papi lagi apa? Banyak agenda yang harus dibaca. Papi sibuk memang.”][“Ck. Anak-anak pengen liburan ke Bali, Pi. Udah lama kita enggak ngabisin waktu sama mereka loh.”] Barulah Feby bisa lega setelah mendengar lebih lanjut lagi. Tidak. Dunianya masih aman karena Tuhan belum mengungkap rahasia yang ia pendam bersama sang suami. Ya. Sepertinya tadi Ares hendak menjawab panggilan telepon, tetapi urung lantaran mendengar suara istri pertamanya. Entah sampai kapan memang dirinya akan menjadi istri simpanan yang tak diketahui oleh publik. Meskipun begitu, untuk saat ini dia tetap beruntung. Begitu yang bisa disyukuri sekarang. Alhasil Feby pun mengakhiri panggilan via udara tadi. Tahu bahwa kondisi tidak memungkinkan setelah mendengar pertengkaran pasangan suami ist
“Kalau si Feby dengar gimana? Bisa habis kita.”“Iya. Dia enggak akan mau minjemin kita duit lagi,” imbuh yang lain pula. Terlambat sudah. Apa yang dicemaskan oleh para tetangga julid tersebut telah terjadi. Namun, Feby yang menyimak obrolan mereka tadi hanya mematung dan berusaha menulikan telinganya. Dia lebih memilih berjalan santai melewati orang-orang penjilat barusan. Bukannya tidak tersinggung, Feby lebih ingin mewaraskan pikirannya sendiri. Tahu bahwa menanggapi orang-orang itu akan semakin membuat ia lebih terpuruk lagi.“Feb, Pak Ustaz udah datang. Kau ke mana saja sih?” gerutu sang ibu.Alih-alih menjawab pertanyaan tadi, Feby hanya merespon dengan anggukan singkat. “Haikal di mana?”“Udah di ayunan. Tadi ibu titip dia ke Sukma.” Di sinilah Feby sekarang. Wanita itu tampak anggun menggunakan dress model kaftan bewarna putih gading sembari memangku buah hatinya. Semua pandangan fokus pada kedua ibu dan anak tersebut tanpa terkecuali.
Feby hanya mengatupkan bibir saat sang ibu sedang mengomel panjang kali lebar. Sudah seperempat jam berlalu. Pun Angga tidak lagi berada di sana. Namun, agaknya wanita yang melahirkannya tersebut masih belum puas juga mengeluarkan uneg-uneg yang ada.“Mau taruh di mana wajah ibu ini, Feb? Kau memang bikin malu saja,” ujar sang ibu di sela-sela omelannya.Dengan santainya Feby menjawab, “Ya enggak di mana-mana sih, Bu. Wajah ibu yang cantik itu masih menempel di tempat biasa. Sudahlah. Yang tadi itu cuma salah paham.”“Tapi mereka mengira kalau —““Oke. Kalau Ibu belum puas juga, kita adakan konferensi pers. Kumpulin semua teman-teman Ibu tadi supaya bisa dengerin aku. Gimana?” Wajah ibunya semakin memberengut kesal. Sementara Feby bangkit dari posisi duduknya lalu segera menggendong sang anak.“Kau memang keterlaluan, Feb!!”“Apalagi sih, Bu? Aku capek. Tolong jangan ngajak berantem lagi ya,” gumam Feby kemudian. Setibanya di kamar Feby pun me
Rania memutus panggilan telepon tadi begitu melihat seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu kemudian berdecak sebal.Dialah Feby yang menatapnya dengan mata lembut. "Rania, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Kau berhak merasa seperti itu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara."Rania berdiri mematung sejenak, menatap Feby dengan pandangan tajam. "Kenapa Mbak harus menikah dengan ayahku? Mbak tahu aku sayang banget sama Ayah, tapi kenapa Mbak sembunyiin ini dariku?"Feby menelan ludah. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah. "Rania, aku tahu ini sangat berat buatmu. Dan aku... aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa dikhianati. Percayalah, aku enggak pernah berniat buat menyakiti perasaanmu. Aku dan Ayahmu... tidak pernah ingin menyakitimu."Rania mengalihkan pandangannya, menendang kerikil di tanah dengan ujung sepatunya. "Ayah enggak pernah cerita. Semua ini tiba-tiba. Aku kir
"Rania sayang, dengerin Ayah dulu," kata Sandi dengan suara bergetar, mencoba meredam emosi yang jelas terpancar dari wajah putrinya.Namun, Rania hanya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam."Jahat!" Rania membalas dengan nada yang meledak-ledak. Air matanya mulai mengalir, namun tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. "Kalian semua bohong! Ayah bilang kita bisa kembali jadi keluarga, tapi ternyata Ayah malah menikahi orang lain di belakangku! Orang yang selama ini aku anggap teman!"Feby mundur satu langkah, hatinya seolah tertusuk setiap kali mendengar kata-kata Rania. Ia ingin menjelaskan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat. Kata-kata apa pun sepertinya tidak akan cukup untuk meredakan amarah Rania saat ini."Rania, ini enggak seperti yang kau pikirkan," Sandi mencoba menjelaskan, meskipun dirinya tahu itu tidak akan mudah. "Ayah dan ibumu sudah lama berpisah, dan Ayah menikah lagi karena Ayah mencintai Feby. Tapi itu enggak pernah mengubah
Sandi terdiam lama menatap layar ponselnya. Panggilan dari mantan istrinya terus berdering, seolah menuntut jawaban. Suasana di antara Sandi dan Feby semakin tegang, dan Feby bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Sandi selanjutnya."Angkat saja." suara Feby terdengar pelan, hampir berbisik. Matanya menatap ponsel itu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Jika Sandi menjawab panggilan itu, apa artinya hubungan mereka?Sandi ragu. Ia meremas ponselnya dengan tangan yang semakin gemetar. "Aku..." suaranya terdengar ragu, menatap layar sejenak sebelum akhirnya ia mengambil keputusan cepat. Dengan satu gerakan tegas, Sandi menekan tombol "tolak" dan mematikan teleponnya.Feby menghela napas lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya tenang. "Om yakin tidak ingin bicara dengan dia?" tanya Feby hati-hati.Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku enggak mau mengulang semuanya lagi, Feb. Aku suda
Feby masih berdiri terpaku, air mata terus mengalir deras di pipinya. Tatapan kosong Haikal menghantam hatinya lebih kuat dari apapun. Di depannya sang putra tampak ketakutan, enggan mendekat. Seolah-olah dia benar-benar hantu dari masa lalu yang tak lagi diinginkan.“Mas...” Feby bergumam, suaranya hampir tidak terdengar, tertahan oleh sesak di dadanya. “Bicara dengan anak kita sekarang. Perbaiki ini.”Ares menelan ludah, kemudian berjongkok di depan Haikal, memegang bahu kecil anaknya itu dengan sangat hati-hati. “Haikal, dengar, Papi salah,” katanya, suaranya lembut namun tegas. “Mama tidak pernah pergi selamanya. Mama tidak meninggalkanmu. Semua yang Papi katakan itu salah, Papi berbohong.”Haikal mengerutkan kening, tatapannya beralih dari Ares ke Feby, bingung. “Tapi... Papi bilang...”“Iya, Papi salah,” Ares memotong dengan cepat, suaranya mulai bergetar. “Papi hanya taku
“Haikal!” teriak Feby penuh emosi. Sesuatu dalam dirinya berharap saat itu juga bisa memeluk anaknya erat-erat, berharap dapat membasuh semua kesalahpahaman dengan satu pelukan.Haikal, yang sedang berlari riang bersama seorang anak lelaki tadi mendadak berhenti. Tatapan bocah itu mengunci pada Feby. Mata hitam kecilnya membulat, namun bukan karena senang. Sebaliknya, ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan di wajah mungilnya.“Bang Haikal, itu mama ya?” tanya teman bermainnya lagi yang segera menoleh pada Feby dengan senyum penuh penasaran.Haikal tidak menjawab. Tubuh kecilnya bergetar, mundur perlahan seperti hendak menjauh. Sementara itu, Feby berjalan mendekat, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.“Sayang...” bisik Feby dengan suara bergetar. “Mama di sini. Mama kangen sama kamu, Nak.”Namun, saat ia hendak mendekat, Haikal semakin mundur, wajahnya terlihat pucat. "Mama jangan datang lagi!" teriaknya tiba-tiba. "Mama sudah pergi selamanya! Papi bilang, mama jahat!"Kat
Feby menatap layar monitor yang menampilkan denyut jantung Kayla yang semakin lemah. Sementara Ares, meskipun hatinya diliputi amarah dan kebingungan, ia tak bisa menahan diri untuk tidak peduli. Bagaimanapun, Kayla adalah anak yang telah ia cintai dan besarkan sejak lahir. Tatapan cemasnya tak teralihkan dari jendela ICU, sementara perasaan bersalah mulai merayapi diri. Apakah tuduhannya terlalu jauh?Di tengah ketegangan yang menghantui, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter berwajah serius masuk. Ada sesuatu yang berbeda sepertinya kali ini. Seolah-olah ada yang baru ditemukan."Pak Ares, Bu Feby..." dokter itu memulai, menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Kami telah memeriksa kembali data hasil tes DNA, dan kami menemukan sesuatu yang tidak biasa."Feby menoleh dengan lemah. "Apa maksud dokter?""Saya mohon maaf sebelumnya. Hasil tes yang pertama kami keluarkan mungkin tidak sepenuhnya akurat," jawab dokter itu, terlihat sedikit
"Jawab, Feby! Siapa saja yang sudah tidur denganmu, hah?!"Ares berteriak dengan penuh kemarahan, menghentak seluruh ruangan dengan suaranya yang lantang. Dia berdiri di hadapan Feby yang masih terduduk lemas, wajahnya pucat seakan seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Tubuh Feby sedikit gemetar, mencoba mengatur napas setelah baru saja siuman dari pingsannya yang terdahulu. Namun, mantan suaminya itu tidak memberinya waktu. Kemarahan dan kebingungan pria itu terus menghantamnya tanpa ampun."A-apa?" Feby tergagap, merasa seperti baru saja disambar petir. Pandangannya kabur, namun wajah Ares yang penuh kemarahan tampak jelas di hadapannya.“Jangan berlagak bodoh! Selama ini siapa saja yang kau layani di atas ranjang, hah?” sentak Ares lagi.Feby menatap Ares dengan mata berkaca-kaca, hatinya tertekan oleh tuduhan yang terus menerus menghujani dirinya. “Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Mas,” katanya dengan suara yang hampir tenggelam dalam tangisnya.Ares semakin frustrasi.
"Ya. Saat ini pasien membutuhkan penanganan intensif. Namun, ada satu hal yang perlu kalian ketahui, hal ini berkaitan dengan hasil tes genetika yang kami lakukan sebagai bagian dari diagnosa lebih lanjut."Feby, yang tadinya masih terisak di pelukan Sandi, mendongak perlahan. "Tes genetika? Apa maksudnya, Dok?"Dokter itu menatap mereka satu per satu, lalu menarik napas dalam. "Kami mendeteksi sesuatu yang tidak biasa. Tes menunjukkan bahwa... Kayla bukanlah anak biologis dari Ares."Feby terpaku di tempatnya. Matanya membesar, dan wajahnya memucat. "Apa...?" suaranya bergetar.Ares langsung melangkah maju, wajahnya berubah menjadi merah padam. "Apa maksudmu, Dok? Bagaimana bisa Kayla bukan anakku?"Dokter mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Hasil tes DNA menunjukkan ketidakcocokan antara Anda, Pak Ares, dan Kayla. Ini sangat jelas dalam hasil kami."Feby merasa bumi seakan runtuh di sekelilingnya. Tangannya mencengkeram lengan Sandi leb
Feby mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi ruang tunggu di luar rumah sakit. Pandangannya tak lepas dari pintu ICU tempat Kayla dirawat. Namun, meski mereka sudah tiba di rumah sakit, mereka belum bisa bertemu dengan karena Ares menghalangi setiap upaya mereka.Sementara kini Sandi berdiri di dekat jendela, punggungnya tegang. Sudah beberapa kali dia mencoba berbicara dengan pihak rumah sakit, tetapi semuanya berakhir sia-sia. Feby dapat merasakan kegelisahan suaminya, dan itu membuatnya semakin resah."Sampai kapan kita harus menunggu seperti ini, Om?" tanya Feby, suaranya penuh frustrasi. "Aku tidak bisa hanya duduk di sini sementara Kayla ada di dalam. Dia butuh aku."Sandi menatapnya sejenak, lalu mendekat dan meraih tangannya. "Aku tahu, Feb. Tapi Ares punya kekuatan di sini. Kita tidak bisa melawan langsung, bukan tanpa rencana."Pada saat itulah Widya muncul dari ujung koridor. Wanita itu tampak anggun meskipun wajahnya menu