Percakapan para wanita tadi ternyata masih mengusik pikiran Feby. Bahkan ketika ia sudah kembali ke rumahnya.
Tidak. Ares bukanlah termasuk pria yang dibicarakan oleh kaum sosialita tersebut. Suaminya jelas berbeda karena sudah terbukti dengan bersedia terlibat dalam pernikahan walaupun secara siri. Itulah yang berusaha Feby tanamkan di dalam benaknya sekarang. Hingga dering ponsel berhasil membuyarkan lamunannya dalam hitungan detik. “Halo, Mas!” sapa Feby dengan senyum yang merekah. Seketika wajah tampan Ares mampu menghipnotis rasa galaunya. [“Maaf ya, Sayang. Kita tidak jadi bertemu lagi. Tadi malam anak-anakku merengek ingin dibacakan dongeng. Mana mungkin aku menolak bukan?”] Feby mengangguk-angguk. Berusaha mengerti walaupun saat ini tengah berperang dengan hatinya sendiri. “Aku ngerti kok. Lagian memang kalau kita ketemuan risikonya besar, tapi … lain kali jangan suruh Angga yang datang.” [“Iya, maaf ya. Aku takut mood-mu memburuk karena sedang hamil. Makanya aku suruh dia yang berikan kalung itu. Kau suka?”] “Suka,” balas Feby cepat walaupun dia hanya melihat sekilas lantaran masih terbesit rasa kesal di hati. Setelahnya perbincangan mereka berhenti begitu saja. Sudah menjadi hal yang biasa karena memang waktu yang tidak memungkinkan. Apa Feby sakit hati? Jangan ditanya lagi. Inilah risiko yang harus dirasakan karena berani menjadi seorang istri simpanan. *** Perut semakin membuncit. Kandungan Feby sudah memasuki usia delapan bulan. Sampai sekarang pun dia dan sang suami masih belum bersua juga. Meskipun begitu, aliran dana yang diterima selalu mengucur deras. Jadilah dia tidak terlalu memikirkan nasib malang yang sempat melanda hati seperti saat sebelumnya. “Suaminya belum pulang ya, Bu?” Feby yang tengah berbaring di ranjang pemeriksaan menunjukkan cengiran kudanya. “Minggu lalu dia ke sini, Dok. Cuma sekarang udah balik kerja lagi.” Sang dokter pun mengangguk pelan usai menangkap foto terbaik janin yang ada di kandungan Feby. “Paham sih saya. Harus kuat hati dan mental memang ya kalau tengah hamil gini. Bisa aja mungkin sampai melahirkan suaminya enggak bisa nemenin. Soalnya ada saudara yang punya suami sebagai pengabdi negara juga kayak Ibu nasibnya.” UHUK! UHUK!! Adalah sang ibu yang terbatuk usai mendengar kalimat dari dokter barusan. Sementara Feby langsung mendelikkan pandangan sebagai ungkapan protesnya. “Abdi negara ya?” Ibunya malah mengulang dua kata barusan sambil geleng-geleng kepala. Berhubung sang dokter sudah kembali ke meja kerjanya, kini hanya tinggal Feby dan wanita yang melahirkannya itu yang ada di dalam ruang pemeriksaan. “Apa? Mana mungkin aku ngomongin Mas Ares di depan orang, Bu! Karirnya bisa hancur,” desis Feby yang mulai kesal. “Kau bilang suamimu kerja apa, heh? Polisi atau tentara? Pintar juga kau mengarang ternyata.” “Aku enggak ngarang,” ketus Feby yang sudah berdiri dari posisi berbaringnya tadi. “Suamiku memang kerja untuk negara juga. Jadi ya terserah dokter mau nyimpulin gimana.” “Ya ya. Terserah kau sajalah.” Ibunya tak lagi ingin berdebat. Kali ini kedua wanita beda usia tersebut terlihat kompak ketika berada di toko perlengkapan bayi. Sejenak melupakan perang dingin di antara mereka lantaran terlalu asyik berbelanja. Wajar memang. Terlebih karena ini adalah momen manis untuk menyambut kelahiran cucu pertama bagi ibunya pula. Bahkan Zaki pun turut menjadi amat antusias juga. “Stroller ‘kan udah dibeli, Zak. Kau lupa ya?” tegur ibunya. Adik lelaki Feby itu kemudian terkekeh. “Yang ini lucu, Bu. Lihat! Bisa dipake sampai anaknya Kak Feby umur enam bulan. Multifungsi loh. Ganti popok juga oke di sini.” “Sudah. Ambil saja,” putus Feby yang tidak merasa keberatan walaupun nominal harganya terkesan cukup mahal bagi sang ibu. Semua perintilan untuk menyambut kelahiran sang anak sudah dirasa lengkap. Ketiga orang itu barulah pergi setelah dua jam berkeliling lamanya. Feby yang merasa kelelahan pun segera mengupingi gawai untuk memanggil tukang pijat langganan. Namun, niatan tadi terhenti begitu melihat pesan masuk dari benda pipih tersebut. [Aku stay dua hari untukmu. Bersiaplah.] Saking senangnya Feby pun bertepuk tangan bagai anak kecil. Membuat ibu dan adiknya melongo keheranan. “Pasti nih karena Mas Ares ya? Biar kutebak, dia mau ke sini ‘kan?” Feby tidak menjawab. Wanita itu hanya terkekeh sembari mengetikkan balasan untuk pesan barusan. Setelahnya dia pun segera melipir ke salon. Menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambut kedatangan sang suami. Tak tanggung-tanggung. Feby memilih paket khusus pengantin untuk memanjakan dirinya. Terlebih harus ia akui bahwa hormon kehamilan turut menunjang keinginan bermesraan dengan sang suami. Malam pun tiba. Seperti biasa. Feby akan menanti prianya di dalam kamar hotel. Lantaran sudah lama tidak bertemu, jadilah dia dilanda kegugupan luar biasa. Terlebih rindu yang ia tahan dengan susah payah akan terbayarkan sebentar lagi. “Hai!” sapa Ares dengan senyum dan wajah tampan yang sudah ada di depan mata Feby. Sungguh rasanya seperti mimpi. Setelah hampir tiga bulan mereka tidak bertemu langsung, kali ini orang yang ia cintai berdiri tegak di hadapannya. Feby bahkan meletakkan telapak tangan kanannya untuk membelai lembut pipi pria tersebut. “Aku pikir Mas enggak datang,” rengek Feby yang lekas menghamburkan diri ke pelukan suaminya. Dia tergelak saat menyadari perut buncit yang menghalangi pertautan mereka kini. “Kau makin cantik, Sayang. Padahal sedang hamil,” bisik Ares yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas ranjang. Pria itu kemudian menyingsingkan lengan kemeja dan menyambar lembut kedua kaki Feby. Feby tersenyum malu. Rasa kesal yang selama ini terpendam mendadak terbang entah ke mana. Berganti menjadi tumpukan cinta dan kasih yang mengalir seiring dengan manisnya perlakuan Ares saat ini. Sang suami bahkan sudi untuk memijat kakinya yang sedikit membengkak. Jelas ia merasa spesial dan telah membuang jauh pikiran negatif terkait pria jahat di luaran sana. “Aku kangen, Mas.” “I’m here, Baby.” Bukan hanya Ares yang tergoda dengan pesona Feby. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Sebagai seorang wanita yang haus akan pujian dan perlakuan lembut, jelas suaminya itu telah memberikan apa yang ia inginkan. Lagi. Feby terbuai dengan pria berusia matang tersebut. Bahkan sejenak melupakan siapa statusnya sekarang. “Mas,” rengek Feby setelah pertempuran panas yang mereka lakukan. “Ya, Sayang. Kau semakin hot,” kekeh Ares usai menggeram penuh kepuasan. “Kau memang pintar.” “Aku akan memberikan yang terbaik untuk suamiku ini.” Feby pun mengerling nakal. Tidak peduli jika lelah tengah ia rasakan. Wanita itu bersiap hendak menawarkan diri lagi. Namun, suara jeritan ponsel berhasil merebut atensi keduanya. Wajah Ares yang tadi dipenuhi gairah mendadak tegang usai melihat nama sang pemanggil. Pria itu buru-buru berdehem dan menegakkan badan. “Siapa, Mas?” tanya Feby yang langsung manyun. “Widya.”“Mau apa dia?” Feby jelas kesal bukan main. Waktu berharganya bersama Ares terusik karena panggilan dari istri pertama pria itu. Barulah ia sadar siapa dirinya sekarang. Sementara kini Ares tengah mengupingi gawai sembari melirik ke arah Feby yang mulai manyun. Tak pelak dia mengusap kepala istri keduanya itu dengan lembut. Seolah memberikan kode bahwa keadaan masih bisa terkendali.[“Iya, Mi. Papi tahu.”][“…”][“Iya. Sudah ya. Papi sedang sibuk sekarang.”]KLIK! Panggilan selama kurang lebih dua menit tadi pun berakhir. Ares mengembuskan napas lega, sedangkan Feby masih saja kelihatan misuh-misuh.“Marah ya, hmm?” Ares menjiwil lembut ujung dagu Feby. Pria itu lantas mendaratkan bibirnya di tempat yang sama pula. Feby yang tak mau merusak suasana pun menggeleng lalu mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. “Aku kangen. Tahu enggak sih, Mas?”“Iya, Sayang. Aku ‘kan di sini sekarang.” Masih banyak lagi kata-kata manis yang
Tidak ada gunanya larut dalam kesedihan. Feby harus sadar bahwa inilah jalan hidup yang ia pilih. Pernikahannya dengan Ares sebentar lagi akan menghadirkan buah cinta mereka. Jadi lebih baik fokus pada tujuan ke depan saja. Itulah yang ia pikirkan sekarang.“Masih memikirkan obrolan kita yang tadi?” tanya Ares yang sudah berada tepat di sampingnya.Feby menggeleng sambil tersenyum manis. “Enggak, Mas. Aku cuma masih kangen. Oh ya. Besok Mas jam berapa harus balik dari sini?”“Setelah menyuapimu sarapan tentunya.” Ares mengecup singkat bahu Feby yang terbuka itu lalu mendaratkan kepalanya di sana. Perlakuan lembut yang tentu saja mampu meredam rasa sedih di hati sang istri.“Masih ada waktu sekitar sembilan jam lagi sampai sarapan pagi. Boleh temani aku nonton?” tanya Feby kemudian. Anggukan cepat pria tampan tersebut membuat Feby bersemangat kembali. Dirinya pun bergegas menyambar remote TV lalu memilih saluran yang dianggap menarik.
“Saya yang bertanggung jawab untuk saya sendiri.” Feby menyerahkan KTP beserta kartu debet-nya kepada petugas administrasi rumah sakit. Berusaha tersenyum walaupun tengah ditatap penuh selidik oleh gadis muda di hadapannya itu.“Baik, Mbak. Sebentar ya,” ucap petugas tersebut yang kemudian segera melakukan entri data. Tak lama. Setelahnya Feby bergegas menuju kamar rawatan yang sudah dipesan sejak jauh hari. Di sanalah dia menantikan momen untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Sekilas memang tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Bahkan untuk biaya hidup sampai beberapa tahun ke depan bisa dipastikan sudah tercukupi. Namun, masalahnya masih sama. Feby harus menguatkan hati lantaran di masa yang akan datang ia akan tetap merasa sendirian. Suara derit pintu yang perlahan terbuka mengalihkan perhatian Feby. Seorang wanita paruh baya muncul dari sana dengan wajah pias.“Si Zaki ke mana? Katanya sudah di rumah sakit.”Feby menjawabn
[“Jadi beneran??”]Feby hampir lupa caranya bernapas. Apa istri pertama Ares itu sudah tahu tentang pernikahan siri mereka? Gawat kalau iya![“Apalagi sih, Mi? Enggak lihat papi lagi apa? Banyak agenda yang harus dibaca. Papi sibuk memang.”][“Ck. Anak-anak pengen liburan ke Bali, Pi. Udah lama kita enggak ngabisin waktu sama mereka loh.”] Barulah Feby bisa lega setelah mendengar lebih lanjut lagi. Tidak. Dunianya masih aman karena Tuhan belum mengungkap rahasia yang ia pendam bersama sang suami. Ya. Sepertinya tadi Ares hendak menjawab panggilan telepon, tetapi urung lantaran mendengar suara istri pertamanya. Entah sampai kapan memang dirinya akan menjadi istri simpanan yang tak diketahui oleh publik. Meskipun begitu, untuk saat ini dia tetap beruntung. Begitu yang bisa disyukuri sekarang. Alhasil Feby pun mengakhiri panggilan via udara tadi. Tahu bahwa kondisi tidak memungkinkan setelah mendengar pertengkaran pasangan suami ist
“Kalau si Feby dengar gimana? Bisa habis kita.”“Iya. Dia enggak akan mau minjemin kita duit lagi,” imbuh yang lain pula. Terlambat sudah. Apa yang dicemaskan oleh para tetangga julid tersebut telah terjadi. Namun, Feby yang menyimak obrolan mereka tadi hanya mematung dan berusaha menulikan telinganya. Dia lebih memilih berjalan santai melewati orang-orang penjilat barusan. Bukannya tidak tersinggung, Feby lebih ingin mewaraskan pikirannya sendiri. Tahu bahwa menanggapi orang-orang itu akan semakin membuat ia lebih terpuruk lagi.“Feb, Pak Ustaz udah datang. Kau ke mana saja sih?” gerutu sang ibu.Alih-alih menjawab pertanyaan tadi, Feby hanya merespon dengan anggukan singkat. “Haikal di mana?”“Udah di ayunan. Tadi ibu titip dia ke Sukma.” Di sinilah Feby sekarang. Wanita itu tampak anggun menggunakan dress model kaftan bewarna putih gading sembari memangku buah hatinya. Semua pandangan fokus pada kedua ibu dan anak tersebut tanpa terkecuali.
Feby hanya mengatupkan bibir saat sang ibu sedang mengomel panjang kali lebar. Sudah seperempat jam berlalu. Pun Angga tidak lagi berada di sana. Namun, agaknya wanita yang melahirkannya tersebut masih belum puas juga mengeluarkan uneg-uneg yang ada.“Mau taruh di mana wajah ibu ini, Feb? Kau memang bikin malu saja,” ujar sang ibu di sela-sela omelannya.Dengan santainya Feby menjawab, “Ya enggak di mana-mana sih, Bu. Wajah ibu yang cantik itu masih menempel di tempat biasa. Sudahlah. Yang tadi itu cuma salah paham.”“Tapi mereka mengira kalau —““Oke. Kalau Ibu belum puas juga, kita adakan konferensi pers. Kumpulin semua teman-teman Ibu tadi supaya bisa dengerin aku. Gimana?” Wajah ibunya semakin memberengut kesal. Sementara Feby bangkit dari posisi duduknya lalu segera menggendong sang anak.“Kau memang keterlaluan, Feb!!”“Apalagi sih, Bu? Aku capek. Tolong jangan ngajak berantem lagi ya,” gumam Feby kemudian. Setibanya di kamar Feby pun me
“Oh ya? Aku jadi enggak sabar, Mas.” Feby mengerling nakal. Lantas segera menarik tubuh Ares hingga menghilang dari balik pintu. Keduanya berpagutan mesra selama beberapa detik dan harus berakhir karena mendengar suara protes dari makhluk kecil di atas ranjang besar sana.“Anak kita marah karena mamanya sudah lebih dulu mencuri start,” gumam Ares yang lekas merengkuh pinggang Feby. Kini keduanya berjalan cepat menuju tempat sang anak yang sudah menangis kencang. Feby pun bergegas menyiapkan susu formula. Sementara Ares buru-buru menimang buah cinta mereka itu. Dari tempatnya berdiri, Feby ikut menyaksikan bagaimana kedua ayah dan anak tersebut saling menatap satu sama lain. Pemandangan yang manis tentu saja. Terlebih melihat Ares tampak piawai menggendong bayi. Membuat dirinya bahkan nyaris lupa bahwa pria itu juga pernah menimang ketiga buah hatinya dari istri pertama.“Senang ya sudah ketemu papa, hmm?” kata Feby yang kemudian duduk di sampi
Ucapan Ares kala itu tidak hanya rencana saja. Terbukti dengan setiap bulan dirinya rutin berkunjung untuk menemui Feby dan Haikal. Jelas membuat keduanya senang sekali. Sepertinya do’a Feby terkabul. Mungkin inilah cara Tuhan untuk membayar kesabarannya yang terdahulu. Itulah yang bisa ia simpulkan.“Haikal mau ke mana, Sayang?”“Mu papa.”“Duh. Nenek jadi kesepian doang kalau Haikal pergi.” Sang nenek memasang wajah cemberutnya. Menggoda cucu kesayangan yang tampak kebingungan.“Enggak pa-pa, Nek. Besok juga Haikal udah balik. Ya Sayang?” gumam Feby mewakili putranya untuk menjawab. Wanita cantik tersebut kemudian berjongkok untuk memasangkan kedua sepatu sang buah hati. Lantas segera berdiri untuk menggamit lengannya.“Hati-hati, Feb,” pesan sang ibu kemudian.“Iya, Bu. Kami pergi dulu ya.” Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, Haikal terus saja berceloteh riang. Sementara Feby fokus pada kemudi sembari melirik ke arah pu
Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya
Rania memutus panggilan telepon tadi begitu melihat seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu kemudian berdecak sebal.Dialah Feby yang menatapnya dengan mata lembut. "Rania, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Kau berhak merasa seperti itu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara."Rania berdiri mematung sejenak, menatap Feby dengan pandangan tajam. "Kenapa Mbak harus menikah dengan ayahku? Mbak tahu aku sayang banget sama Ayah, tapi kenapa Mbak sembunyiin ini dariku?"Feby menelan ludah. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah. "Rania, aku tahu ini sangat berat buatmu. Dan aku... aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa dikhianati. Percayalah, aku enggak pernah berniat buat menyakiti perasaanmu. Aku dan Ayahmu... tidak pernah ingin menyakitimu."Rania mengalihkan pandangannya, menendang kerikil di tanah dengan ujung sepatunya. "Ayah enggak pernah cerita. Semua ini tiba-tiba. Aku kir
"Rania sayang, dengerin Ayah dulu," kata Sandi dengan suara bergetar, mencoba meredam emosi yang jelas terpancar dari wajah putrinya.Namun, Rania hanya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam."Jahat!" Rania membalas dengan nada yang meledak-ledak. Air matanya mulai mengalir, namun tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. "Kalian semua bohong! Ayah bilang kita bisa kembali jadi keluarga, tapi ternyata Ayah malah menikahi orang lain di belakangku! Orang yang selama ini aku anggap teman!"Feby mundur satu langkah, hatinya seolah tertusuk setiap kali mendengar kata-kata Rania. Ia ingin menjelaskan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat. Kata-kata apa pun sepertinya tidak akan cukup untuk meredakan amarah Rania saat ini."Rania, ini enggak seperti yang kau pikirkan," Sandi mencoba menjelaskan, meskipun dirinya tahu itu tidak akan mudah. "Ayah dan ibumu sudah lama berpisah, dan Ayah menikah lagi karena Ayah mencintai Feby. Tapi itu enggak pernah mengubah
Sandi terdiam lama menatap layar ponselnya. Panggilan dari mantan istrinya terus berdering, seolah menuntut jawaban. Suasana di antara Sandi dan Feby semakin tegang, dan Feby bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Sandi selanjutnya."Angkat saja." suara Feby terdengar pelan, hampir berbisik. Matanya menatap ponsel itu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Jika Sandi menjawab panggilan itu, apa artinya hubungan mereka?Sandi ragu. Ia meremas ponselnya dengan tangan yang semakin gemetar. "Aku..." suaranya terdengar ragu, menatap layar sejenak sebelum akhirnya ia mengambil keputusan cepat. Dengan satu gerakan tegas, Sandi menekan tombol "tolak" dan mematikan teleponnya.Feby menghela napas lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya tenang. "Om yakin tidak ingin bicara dengan dia?" tanya Feby hati-hati.Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku enggak mau mengulang semuanya lagi, Feb. Aku suda