“Ha-hamil?” Feby mengucapkan satu kata barusan dengan sedikit terbata. Detik berikutnya dia menggeleng pelan sembari mencerna apa yang telah terjadi. Jadi dia sedang hamil? Lantas, bagaimana dengan kandungannya sekarang? Seketika rasa cemas pun muncul di saat yang bersamaan.“Seharusnya kau yang lebih tahu. Untunglah semua baik-baik saja. Dasar perempuan ceroboh!!” Kalimat tersebut memang diucapkan dengan suara keras. Namun, setidaknya Feby bisa bernapas lega.“Permisi!” sapa seorang perawat yang masuk ke dalam ruangan itu. “Silakan dimakan dulu ya, Bu. Setelahnya minum obat.”“I-iya. Makasih, Sus,” gumam Feby seraya menganggukkan kepala.&nbs
Haikal adalah putra tunggal yang dimiliki oleh Ares dari kedua pernikahannya. Pun kehadiran bocah tersebut yang menjadi salah satu alasan suaminya itu sangat mencintai Feby. Kalau sampai terjadi hal buruk pada sang anak, dirinya akan … ah. Memikirkan saja dia tak sanggup.“Haikal!!” Pekikan bergantian yang disuarakan oleh Feby dan ibunya tidak kunjung mendapatkan sahutan. Panik semakin melanda mereka. Hingga kemudian suara gemericik air di samping rumah lekas mengalihkan perhatian keduanya.“Ya ampun!!” sentak Feby yang pertama kali sampai di tempat suara berisik tersebut. Matanya melotot tajam dengan kedua tangan yang sudah berkacak pinggang. Sementara sang ibu yang muncul belakangan akhirny
“Aku mau bicara dengan Mas Ares.”[“Beliau sedang sarapan. Bersabarlah!”]“Ini penting, Ga,” desak Feby tidak sabaran. Sayangnya orang di seberang telepon sana memang keras kepala. Sama sekali tak mempedulikan keresahan yang Feby rasakan. Akibatnya wanita itu harus menunggu hingga lima belas kemudian. Dia pun mengembuskan napas lega ketika mendengar suara sang suami.[“Apa Widya sudah meneleponmu?”] Pertanyaan barusan sontak membuat Feby melebarkan kelopak matanya. Tunggu dulu. Apa pernikahan mereka sudah diketahui oleh istri pertama Ares?“I-iya, Mas,” jawab Feby pada akhirnya. “Mbak Widya minta ketemuan.” Feby kembali melanjutkan kalimatnya saat Ares tak berniat menjelaskan lebih lanjut. “Mas, aku beneran enggak ngerti. Maksudnya hmmm …apa yang bakalan terjadi nanti? Apa dia marah atau —“[“Widya sudah tahu. Lebih tepatnya sejak tiga bulan yang lalu.”]“Te-terus?”[“Maaf. Aku tidak memberitahu lebih awal karena waktu itu kondisimu juga sedang buruk, Feb.”
Mulut Feby setengah menganga karena mendengar kalimat yang dinilai cukup aneh tadi. Wanita normal yang sangat mencintai suaminya tidak akan sudi diduakan. Entahlah. Itu yang bisa ia pahami. Namun, keadaan Widya malah sebaliknya. Apa istri pertama suaminya tersebut sudah tidak memiliki perasaan seperti semula? Jelas ia bertanya-tanya.Dengan alis yang bertaut dan keningnya yang masih mengerut, Feby memberanikan diri untuk bersuara demi menuntaskan rasa penasaran di dalam hati. “Mbak bilang makasih? Kenapa?”Iya, Feb. Sebenarnya mbak ini sakit dan divonis dokter bahwa umur mbak enggak akan lama lagi. Jadi sejak jauh hari mbak minta Mas Ares untuk mencarikan istri pengganti. Jawaban tadi hanyalah angan-angan yang singgah di benak Feby saja. Tampaknya ia terlalu banyak membaca novel romansa rumah tangga dan menonton drama percintaan yang penuh sandiwara. Jadilah berdampak pada khayalannya sekarang. Lagi. Senyuman manis nan anggun yang disunggingk
“Iya. Siapa ya?”DEG!! Feby langsung membeku di tempatnya. Takut kalau Widya akan seperti serigala berbulu domba. Namun, pemikiran barusan sirna ketika dia merasakan rangkulan hangat dari wanita anggun itu.“Ini adek angkatku. Namanya Feby.” Widya memperkenalkan madunya itu dengan ramah. Membuat Feby semakin merasa terharu. “Ayo, Dek. Kenalin. Ini istri wakil Bupati Kembang, Bu Arumi. Yang lainnya para kabid humas.” Begitulah selanjutnya. Feby yang merasa tak nyaman memberikan kode lewat gerakan mata pada Widya agar segera pamit undur diri. Barulah ia bisa bernapas lega saat sudah berada di dalam mobil.“Mbak, tunggu!” panggil Feby ketika dirinya hendak melajukan kendaraan.“Iya. Kenapa, Feb?”“Makasih untuk hari ini ya. Tadinya aku takut ketemu sama Mbak,” aku Feby jujur sekali.Widya menggeleng pelan lalu setelahnya menganggukkan kepala. Tak pelak melambaikan tangan saat Feby mulai meninggalkan cafe tersebut.Sepanjang perjalanan Feby merasa lega bukan ma
Tidak. Sekarang bukan waktunya dia akan melahirkan. Masih ada sebulan lagi untuk menyambut kehadiran anak keduanya ini. Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan.KLIK! Dalam sekejap kamarnya sudah terang benderang. Feby lantas turun dari ranjang untuk memastikan diri. Lagi. Cairan bewarna kehijauan sudah mengalir dari sela pahanya. Membuat wanita itu panik bukan main. Gegas Feby berjalan menuju area samping rumah. Membuka pintu koneksi yang mengarah langsung pada kediaman keluarganya.“Bu!!” pekiknya sembari mengapitkan paha. Takut kalau cairan tadi akan keluar lebih banyak lagi. Sayang, tak ada yang menyahut dari dalam sana. Feby pun mengetuk pintu tadi berulang-ulang. “Bu! Sukma! Zaki! Tolong!!”Usahanya berhasil. Wajah Zaki muncul seketika.“Loh? Kenapa—““Kandunganku!!” potong Feby cepat. “Panggilin ibu, Zak!” Tanpa mengatakan apapun, adik lelaki Feby itu segera berbalik badan. Tak sampai satu menit kini seisi rumah sudah d
“HAIKAL!!” Feby langsung memekik keras begitu merasakan hawa panas di bagian dahi serta leher putranya. Wanita itu bergegas menggendong sang buah hati ke luar dari kamar. Tak lagi peduli dengan luka bekas operasi yang melintang di perutnya.“Kenapa, Kak?” tanya Sukma yang baru saja hendak pamit pulang ke rumah.“Badan Haikal panas. Suruh Zaki ke sini ya.”“Bang Zaki belum pulang, Kak,” jawab Sukma kemudian. “Aku panggilin ibu ya?” Tak ada jawaban dari Feby. Dirinya semakin mempercepat langkah menuju garasi.“Kau mau ke mana, Feb malam-malam begini?” tanya sang bapak yang baru tiba entah dari mana. Melihat Feby yang tampak kesusahan, dia pun lekas menawarkan diri. “Biar bapak yang antar. Kau duduklah di belakang.” Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Feby terus memeluk Haikal. Sementara ibunya hanya diam sembari memberikan kompresan pada cucu pertamanya itu, sedangkan sang ayah fokus pada jalanan yang ada di depan mata.“Biar ibu yang pangku
“Iya, Bu. Mbak Widya, istri pertama Mas Ares sudah tahu.” Feby pun mempertegas kalimatnya lagi. Sudah cukup rasanya menyembunyikan kenyataan dari sang ibu.“Terus, kau mau apa?” tanya ibunya setelah beberapa detik terdiam.“Aku cuma mau Mas Ares bersikap adil pada anak-anaknya.”“Kau lupa siapa suamimu, Feb? Dia itu seorang bupati,” sergah ibunya yang tidak setuju dengan rencana tersebut.“Suamiku bukan artis, Bu,” sanggah Feby yang bersikeras hati. “Dia hanya pejabat pemerintahan yang … mungkin enggak begitu dikenali oleh masyarakat. Dia bukan presiden.”“Jangan ceroboh kau, Feb!”“Aku hanya ingin anak-anakku mendapatkan kasih sayang dari papanya secara utuh. Bukan cuma bertemu dan bermain di rumah saja.”“Feb, kau—”“Jangan larang aku!” Beginilah sikap Feby yang kepala batu. Wanita itu merasa benar sendiri. Ibunya saja tak bisa mencegah kalau dia sudah berkeinginan.*** Kalau dia berhasil menarik perhatian Ares hingga pria tersebut mau menika
Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya
Rania memutus panggilan telepon tadi begitu melihat seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu kemudian berdecak sebal.Dialah Feby yang menatapnya dengan mata lembut. "Rania, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Kau berhak merasa seperti itu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara."Rania berdiri mematung sejenak, menatap Feby dengan pandangan tajam. "Kenapa Mbak harus menikah dengan ayahku? Mbak tahu aku sayang banget sama Ayah, tapi kenapa Mbak sembunyiin ini dariku?"Feby menelan ludah. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah. "Rania, aku tahu ini sangat berat buatmu. Dan aku... aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa dikhianati. Percayalah, aku enggak pernah berniat buat menyakiti perasaanmu. Aku dan Ayahmu... tidak pernah ingin menyakitimu."Rania mengalihkan pandangannya, menendang kerikil di tanah dengan ujung sepatunya. "Ayah enggak pernah cerita. Semua ini tiba-tiba. Aku kir
"Rania sayang, dengerin Ayah dulu," kata Sandi dengan suara bergetar, mencoba meredam emosi yang jelas terpancar dari wajah putrinya.Namun, Rania hanya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam."Jahat!" Rania membalas dengan nada yang meledak-ledak. Air matanya mulai mengalir, namun tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. "Kalian semua bohong! Ayah bilang kita bisa kembali jadi keluarga, tapi ternyata Ayah malah menikahi orang lain di belakangku! Orang yang selama ini aku anggap teman!"Feby mundur satu langkah, hatinya seolah tertusuk setiap kali mendengar kata-kata Rania. Ia ingin menjelaskan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat. Kata-kata apa pun sepertinya tidak akan cukup untuk meredakan amarah Rania saat ini."Rania, ini enggak seperti yang kau pikirkan," Sandi mencoba menjelaskan, meskipun dirinya tahu itu tidak akan mudah. "Ayah dan ibumu sudah lama berpisah, dan Ayah menikah lagi karena Ayah mencintai Feby. Tapi itu enggak pernah mengubah
Sandi terdiam lama menatap layar ponselnya. Panggilan dari mantan istrinya terus berdering, seolah menuntut jawaban. Suasana di antara Sandi dan Feby semakin tegang, dan Feby bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Sandi selanjutnya."Angkat saja." suara Feby terdengar pelan, hampir berbisik. Matanya menatap ponsel itu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Jika Sandi menjawab panggilan itu, apa artinya hubungan mereka?Sandi ragu. Ia meremas ponselnya dengan tangan yang semakin gemetar. "Aku..." suaranya terdengar ragu, menatap layar sejenak sebelum akhirnya ia mengambil keputusan cepat. Dengan satu gerakan tegas, Sandi menekan tombol "tolak" dan mematikan teleponnya.Feby menghela napas lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya tenang. "Om yakin tidak ingin bicara dengan dia?" tanya Feby hati-hati.Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku enggak mau mengulang semuanya lagi, Feb. Aku suda