**Satu atau dua bulan berlalu dalam baik-baik saja. Tak ada insiden apapun —jika Yasmin yang bersikeras memboyong menantu dan cucunya pulang ke rumah besar tidak bisa dianggap insiden.Sagara sudah cukup tenang kembali menyibukkan diri di kantor, meninggalkan sang istri dan putri kecilnya di rumah bersama seorang asisten rumah tangga baru. Kali ini Gara benar-benar memeriksa dengan ketat data-data asisten baru tersebut, tak ingin kecolongan lagi, seperti yang sudah-sudah."Sayang, mungkin hari ini aku pulangnya agak telat. Kamu mau ke rumah besar aja, nggak?" tawar Gara pagi ini, ketika sedang sarapan sebelum berangkat ke kantornya."Kenapa pulang telat?" Rissa yang sedang menyeruput jus sambil menggendong Stella menimpali."Ada meeting sama Papa dan Abian di kantor Arctic. Besok ada kunjungan investor, jadi banyak yang harus disiapin."Rissa mengangguk saja. Sebenarnya hanya iseng bertanya. Sebab tentu ia tahu alasan sang suami pulang terlambat. Sudah pasti masalah pekerjaan, kan?"
**"Tamara!"Carissa berseru panik ketika mendapati tubuh itu jatuh menghantam pintu gerbang dengan keras."Astaga! Cepat tolong! Tolong dia dan bawa masuk ke dalam rumah!""T-tapi, Bu—""Apa yang kamu tunggu? Ayo, bawa masuk! Bawa sekarang!"Sekuriti muda itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nyonya muda. Meski ini berisiko tinggi sebab bertentangan dengan apa yang dikatakan Tuan mudanya tadi. Tapi apa boleh buat, kan?"Baringkan di atas sofa saja, sini." Rissa panik sendiri, menunjuk sofa ruang tamu kepada sekuriti rumahnya yang menggendong tubuh lunglai Tamara."Apa saya perlu tunggu di sini, Bu? Takutnya kalau dia cuma pura-pura pingsan.""Astaga, apa kamu nggak lihat gimana keadaan dia tadi? Mana mungkin yang begini kamu bilang pura-pura!" Carissa sama sekali tidak bermaksud berkata kasar, namun rasa panik berlebihan yang membuatnya seperti itu. Nah, lebih daripada itu, pria muda berseragam itu tampaknya juga maklum. Sebab ia sendiri merasa tubuh Tamara panas
**"Gara ... Sagara ... ."Carissa tertegun. Pun, sang pemilik nama yang sama sekali tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi. Gara mengerling perlahan kepada sang istri, khawatir jika mungkin perempuan itu akan marah. Namun tidak, Rissa justru menghampiri tubuh Tamara yang tidak jadi diangkat oleh petugas dan membisikan sesuatu dalam telinganya."Tamara, Kak Gara ada di sini. Tenang aja, dia udah maafin kamu."Dan betapa anehnya, dua butir air mata menyeruak menetes melalui celah mata gadis itu, yang masih menutup. Meluncur menuruni pelipisnya, berkilau ditimpa cahaya lampu. Ia diam, racauannya berhenti."Whoa ...." Sagara bergumam, separuh kagum, separuh jengkel. "Apa-apaan? Kok bisa-bisanya dia malah ngomong begitu?""Semua orang sudah memaafkanmu. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Lanjutkan hidup dengan baik saja." Rissa menepuk pelan puncak kepala Tamara sebelum kembali bangkit dan membiarkan para petugas membawa tubuh ringkih itu keluar, menuju mobil yang terparkir di halaman."
**"Carissa, bagaimana kabarmu, Sayang?"Rissa otomatis menjauhkan ponsel dari telinganya. Kedua matanya membulat ngeri, menatap layar ponselnya yang masih menyala, seakan-akan ada orang yang memelototinya dari dalam layar ponsel itu.Perlahan-lahan, ia menempelkan kembali ponsel ke telinganya untuk mengecek apakah suaranya masih ada."Kenapa kaget, hm? Aku kan cuma tanya kabar kamu."Rissa seketika matikan ponselnya dan melemparkan benda itu ke atas sofa. Seluruh buku kuduknya seperti berdiri mendengar suara berat seorang pria di seberang sana. Masih menatap si ponsel dengan pandangan horor, ia pelan-pelan mendekati boks tempat Stella tidur. Bergidik tanpa sadar, dan memutuskan tidak akan menggubris benda pipih itu lagi, jika nanti berbunyi kembali."Aku kenal suaranya." Ia bergumam lirih kepada dirinya sendiri. "Itu Aldric. Suaranya jelas banget. Tapi gimana mungkin Aldric nelepon? Bukannya dia juga lagi di penjara?"Carissa mengusap tengkuknya. Rasa ngeri itu tak hilang-hilang juga
**Carissa reflek melemparkan ponselnya ke sembarang arah. Matanya terbelalak dengan iris bergetar ketakutan setelah mendengar pengakuan si penelepon gelap. Ya, ternyata itu memang Aldric. Rissa benar dengan tebakannya."Aldric?" Perempuan itu berbisik. Menatap ponsel yang tergeletak di atas lantai dengan layar menyala. Tanda panggilan tengah berlangsung, masih tampak jelas di sana. Aldric belum menutup panggilannya."Mau apa dia nelepon-nelepon kayak begitu? Ngeri banget, ih." Rissa bergidik tanpa sadar. Mendadak saja dunia di sekelilingnya seperti dipenuhi prasangka."Rissa, kamu kenapa, Sayang?"Terkesiap, Carissa menoleh dan melihat suaminya terjaga. Dengan mata sedikit terbuka, pria itu memandang istrinya dengan wajah keheranan."Mimpi buruk." Rissa menjawab refleks. "Hanya mimpi buruk, Kak. Jangan khawatir.""Bener?" Sagara masih memandang dengan skeptis. Rissa melayangkan senyum manis untuk menenangkan."Serius. Tuh, ponsel aku sampai aku lempar. Aku mimpi ditelepon hantu soaln
**"Apakah Carissa sudah menerima bunganya?" Aldric berbicara dengan ponselnya. Bertanya kepada toko bunga di mana ia memesan buket mawar besar tadi.Sepertinya orang dalam telepon itu memberikan jawaban yang memuaskan, sebab Aldric kemudian terlihat senang selepas ponsel ia matikan."Ah, sialan!" Pria rupawan berparas latin itu mengumpat pelan. Pandangannya kosong, menerawang kepada hamparan pemandangan kota di malam hari, di luar jendela apartemennya. "Kenapa sih denganku ini? Bisa-bisanya menggoda perempuan bersuami begitu?"Ia tidak ingat kapan mulai tertarik dengan Carissa. Hal terakhir yang ia ingat adalah, ia terkejut setengah mati dengan perbuatan nekat Savina yang berakhir menyeret namanya ke dalam jeruji besi. Rasa khawatir kepada keselamatan Carissa ia rasa jauh lebih besar daripada kekhawatiran kepada dirinya sendiri yang terancam masuk bui. Aneh, ya. Tapi begitulah kenyataannya."Kemudian aku mulai melihat wajahnya dalam kepalaku." Aldric berdecih muak. "Semakin hari sema
**Carissa memandangi bayi mungil dalam pelukannya yang tengah tertidur lelap. Bibirnya mengulas senyum kala itu. Tak bosan-bosan ia pandangi makhluk cantik yang sangat mirip dengan Sagara Aditama, suami tercintanya.Sementara di sampingnya, di belakang kemudi, Gara sendiri mencuri pandang sekali-sekali."Apa Stella nggak akan rewel, nanti?" tanyanya sementara menatap khawatir kepada si putri kecil.Carissa kembali mengulas senyum. "Enggak, Kak. Dia udah nen sampai kenyang sebelum berangkat tadi. Badannya juga lagi fit, kok. It's okay."Gara mengangguk, mengembalikan fokusnya kepada jalanan, kemudian. Pasangan suami istri itu sedang dalam perjalanan ke sebuah rumah sakit jiwa. Ah, apakah tepat disebut demikian? Mereka akan mengunjungi Tamara Wijaya di sebuah tempat terapi kejiwaan hari ini, tepat saat si kecil Auristella berusia enam bulan."Aku justru khawatirnya sama Tamara." Carissa berkata sembari mengedikkan bahu. "Apa dia nggak apa-apa kalau ketemu sama Stella? Aku takut dianya
**“Rissa, Aldric nggak ganggu kamu lagi, kan?”Carissa terpaku, tak jadi melangkah pergi. Ia menatap Tamara dengan wajah menyiratkan banyak pertanyaan. Mengapa kebetulan sekali?“Ah, apa dia ganggu kamu?” Perempuan itu menggigit bibir dengan wajah risau. Mendadak saja, Rissa ingat bahwa mungkin kesehatan mental Tamara belum stabil benar, jadi ia tidak bisa mengatakan sesuatu yang akan membuat gadis itu kembali banyak berpikir.“Aldric? Kenapa tiba-tiba banget tanyain dia, Tam?” Tamara menggeleng. “Dia nggak dipenjara kayak aku. Dia bebas, jadi aku takut kalau dia gangguin kamu di luar sana. Gimanapun, aku yang udah kenalin dia sama kamu, Ris. Aku ngerasa bersalah banget.”Carissa sontak bertukar pandang dengan Sagara setelah mendengar pernyataan itu. Sejujurnya, Gara masih tidak terima, namun sepertinya Rissa masih pula mengirimkan sinyal mengancam, kalau-kalau dirinya berbuat sesuatu yang bodoh. Maka, pria itu hanya bisa diam sembari menggendong si buah hati.“Rissa, Aldric itu jah