**"Dia bilang begitu sama kamu, Kak?"Pada sore harinya setelah pulang dari kantor, Sagara segera menceritakan segala hal yang diucapkan oleh Jonathan Wijaya kepadanya di kantor tadi kepada sang istri."Persis begitu." Gara mengangguk sementara menyeruput kopi yang Carissa hidangkan."Terus kamu jawabnya gimana?""Aku bilang mau ngomong dulu sama kamu. Bener, kan? Aku harus minta pendapat kamu dulu masalah ini, Ris."Carissa mengulas senyum, memposisikan dirinya untuk duduk di samping sang suami. Betapa sikap yang membuat hati Carissa menghangat, sekarang Gara benar-benar berbagi seluruh keluh kesahnya kepada istri tercinta."Menurut kamu gimana? To be honest, aku nggak mau ketemu lagi sama Tamara. Aku males."Tapi, Rissa menggeleng. "Nggak boleh begitu. Niatnya kan cuma jengukin. Kalo denger ceritanya, kasihan juga sih, Kak. Dia sampai depresi begitu.""Her problem." Gara mengangkat bahu dengan cuek. "Siapa suruh jadi jahat, iya kan? Kalo sekarang dia metik hasil perbuatannya, kenap
**“Lo tahu nggak, gimana keadaan Tamara saat ini?”Sagara mengerutkan kening. Serius memandang Radit yang juga tengah serius memandangnya. “Kenapa emang dengan keadaan Tamara saat ini?”“Lo beneran nggak tahu?”“Lo lagi tanya, apa niat ngajakin gue main tebak-tebakan sih, Dit?”Radit tertawa miris melihat sahabatnya kesal sendiri seperti itu. “Ya lagian lo, sih. Eh, ini gue serius, Gar. Salah satu temen gue ada yang kerja jadi staff di lembaga pemasyarakatan di mana Tamara lagi ditampung. Jadi gue sedikit banyak dapet cerita dari dia.”“Lo kurang kerjaan banget kepoin dia?”“Diem! Gue nggak butuh pendapat julid lo. Sekarang diem dulu, biar gue cerita.”Radit saat dalam mode sahabat memang kadang sangat menyebalkan bagi Sagara. Meski demikian, ia kagum sekali, bagaimana lelaki tiga puluh tahun ini mengganti peran dengan sempurna sebagai sekretaris profesional ketika sudah berada di ruang lingkup kantor. Sehingga hanya sedikit sekali orang yang tahu bahwa keduanya bersahabat dekat.“We
**"Nggak apa-apa, Ris. Nggak usah overthinking begitu. Kenapa jadi kamu yang kepikiran?" Sagara mengelus surai panjang sang istri. Tersenyum menatap wajah teduh yang kali itu sedang mendung kelabu seperti langit di luar sana."Kasihan," desah Rissa pelan. Awangnya tak mampu melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu. "Aku nggak tahu dia bisa sampai seperti itu.""Iya juga," sahut Gara pelan. "Aku nggak ngira kalau justru dia yang trauma. Padahal kamu korbannya.""Dia begitu karena terlalu cinta sama kamu nggak sih, Kak?"Mendengus pelan, Gara memilih tetap fokus kepada kemudi mobilnya alih-alih menanggapi kata-kata sang istri.Gara dan Rissa dalam perjalanan bertolak pulang setelah kunjungan ke tempat di mana Tamara ditahan tadi. Kunjungan yang mungkin akan membekas dalam ingatan Carissa selamanya.Bagaimana bisa Rissa lupakan, perempuan cantik itu bersimpuh di kaki Gara. Memohon-mohon untuk tidak membencinya. Memohon untuk Carissa memaafkan perbuatannya pula. Ini jelas berbanding t
**Satu atau dua bulan berlalu dalam baik-baik saja. Tak ada insiden apapun —jika Yasmin yang bersikeras memboyong menantu dan cucunya pulang ke rumah besar tidak bisa dianggap insiden.Sagara sudah cukup tenang kembali menyibukkan diri di kantor, meninggalkan sang istri dan putri kecilnya di rumah bersama seorang asisten rumah tangga baru. Kali ini Gara benar-benar memeriksa dengan ketat data-data asisten baru tersebut, tak ingin kecolongan lagi, seperti yang sudah-sudah."Sayang, mungkin hari ini aku pulangnya agak telat. Kamu mau ke rumah besar aja, nggak?" tawar Gara pagi ini, ketika sedang sarapan sebelum berangkat ke kantornya."Kenapa pulang telat?" Rissa yang sedang menyeruput jus sambil menggendong Stella menimpali."Ada meeting sama Papa dan Abian di kantor Arctic. Besok ada kunjungan investor, jadi banyak yang harus disiapin."Rissa mengangguk saja. Sebenarnya hanya iseng bertanya. Sebab tentu ia tahu alasan sang suami pulang terlambat. Sudah pasti masalah pekerjaan, kan?"
**"Tamara!"Carissa berseru panik ketika mendapati tubuh itu jatuh menghantam pintu gerbang dengan keras."Astaga! Cepat tolong! Tolong dia dan bawa masuk ke dalam rumah!""T-tapi, Bu—""Apa yang kamu tunggu? Ayo, bawa masuk! Bawa sekarang!"Sekuriti muda itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nyonya muda. Meski ini berisiko tinggi sebab bertentangan dengan apa yang dikatakan Tuan mudanya tadi. Tapi apa boleh buat, kan?"Baringkan di atas sofa saja, sini." Rissa panik sendiri, menunjuk sofa ruang tamu kepada sekuriti rumahnya yang menggendong tubuh lunglai Tamara."Apa saya perlu tunggu di sini, Bu? Takutnya kalau dia cuma pura-pura pingsan.""Astaga, apa kamu nggak lihat gimana keadaan dia tadi? Mana mungkin yang begini kamu bilang pura-pura!" Carissa sama sekali tidak bermaksud berkata kasar, namun rasa panik berlebihan yang membuatnya seperti itu. Nah, lebih daripada itu, pria muda berseragam itu tampaknya juga maklum. Sebab ia sendiri merasa tubuh Tamara panas
**"Gara ... Sagara ... ."Carissa tertegun. Pun, sang pemilik nama yang sama sekali tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi. Gara mengerling perlahan kepada sang istri, khawatir jika mungkin perempuan itu akan marah. Namun tidak, Rissa justru menghampiri tubuh Tamara yang tidak jadi diangkat oleh petugas dan membisikan sesuatu dalam telinganya."Tamara, Kak Gara ada di sini. Tenang aja, dia udah maafin kamu."Dan betapa anehnya, dua butir air mata menyeruak menetes melalui celah mata gadis itu, yang masih menutup. Meluncur menuruni pelipisnya, berkilau ditimpa cahaya lampu. Ia diam, racauannya berhenti."Whoa ...." Sagara bergumam, separuh kagum, separuh jengkel. "Apa-apaan? Kok bisa-bisanya dia malah ngomong begitu?""Semua orang sudah memaafkanmu. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Lanjutkan hidup dengan baik saja." Rissa menepuk pelan puncak kepala Tamara sebelum kembali bangkit dan membiarkan para petugas membawa tubuh ringkih itu keluar, menuju mobil yang terparkir di halaman."
**"Carissa, bagaimana kabarmu, Sayang?"Rissa otomatis menjauhkan ponsel dari telinganya. Kedua matanya membulat ngeri, menatap layar ponselnya yang masih menyala, seakan-akan ada orang yang memelototinya dari dalam layar ponsel itu.Perlahan-lahan, ia menempelkan kembali ponsel ke telinganya untuk mengecek apakah suaranya masih ada."Kenapa kaget, hm? Aku kan cuma tanya kabar kamu."Rissa seketika matikan ponselnya dan melemparkan benda itu ke atas sofa. Seluruh buku kuduknya seperti berdiri mendengar suara berat seorang pria di seberang sana. Masih menatap si ponsel dengan pandangan horor, ia pelan-pelan mendekati boks tempat Stella tidur. Bergidik tanpa sadar, dan memutuskan tidak akan menggubris benda pipih itu lagi, jika nanti berbunyi kembali."Aku kenal suaranya." Ia bergumam lirih kepada dirinya sendiri. "Itu Aldric. Suaranya jelas banget. Tapi gimana mungkin Aldric nelepon? Bukannya dia juga lagi di penjara?"Carissa mengusap tengkuknya. Rasa ngeri itu tak hilang-hilang juga
**Carissa reflek melemparkan ponselnya ke sembarang arah. Matanya terbelalak dengan iris bergetar ketakutan setelah mendengar pengakuan si penelepon gelap. Ya, ternyata itu memang Aldric. Rissa benar dengan tebakannya."Aldric?" Perempuan itu berbisik. Menatap ponsel yang tergeletak di atas lantai dengan layar menyala. Tanda panggilan tengah berlangsung, masih tampak jelas di sana. Aldric belum menutup panggilannya."Mau apa dia nelepon-nelepon kayak begitu? Ngeri banget, ih." Rissa bergidik tanpa sadar. Mendadak saja dunia di sekelilingnya seperti dipenuhi prasangka."Rissa, kamu kenapa, Sayang?"Terkesiap, Carissa menoleh dan melihat suaminya terjaga. Dengan mata sedikit terbuka, pria itu memandang istrinya dengan wajah keheranan."Mimpi buruk." Rissa menjawab refleks. "Hanya mimpi buruk, Kak. Jangan khawatir.""Bener?" Sagara masih memandang dengan skeptis. Rissa melayangkan senyum manis untuk menenangkan."Serius. Tuh, ponsel aku sampai aku lempar. Aku mimpi ditelepon hantu soaln