**“Shit! Jonathan Wijaya!”Jonathan Wijaya? Siapa pula itu? Carissa mengangkat kedua alis sebab merasa benar-benar asing dengan nama barusan, tapi Sagara hanya menggeleng. Sekali lagi pria itu melayangkan pandangan minta maaf kepada sang istri sebelum kembali menjauh untuk mengangkat panggilan ponselnya.“Halo?”“Ah, Sagara Aditama, selamat siang. Kenapa telepon kamu aja rasanya susah banget?”Ha! Gara bersyukur ini hanya panggilan suara yang tidak mengharuskan dirinya bertatap muka dengan Jonathan Wijaya, sehingga ia bebas menggunakan ekspresi yang manapun. Kali ini, Gara menampakkan raut muak setengah mati.“Selamat siang, Pak Jonathan. Tapi saya tidak merasa cukup istimewa untuk menyusahkan anda, Pak.”Suara kekeh tawa renyah terdengar dari seberang sana, dan karenanya Gara membatin, Dasar kakek-kakek!“Ada apa, Pak? Apa ada masalah?”“Nggak usah formal begitu, Gar, ini kan bukan kantor.”Nah, berkata untuk tidak serius, tapi pria ini dari kemarin nyaris meneleponnya seratus kali.
**"Dia minta gue nikahin anaknya, jadi istri kedua.""HAHH?"Radit terbelalak maksimal. Kedua matanya melotot memandang tak percaya kepada sang sahabat yang masih memasang wajah muak."Gar, ini nggak lucu!""Sangat nggak lucu. Cuma manusia nggak waras yang anggep ini lucu."Pria itu menyesap kopi hitam yang sudah diantarkan oleh seorang office boy beberapa saat yang lalu. Pandangannya kembali menerawang terangnya semesta di luar sana melalui dinding kaca di sisi ruangannya."Terus lo jawab gimana, Gar? Istri lo tahu tentang hal ini, nggak?"Gara masih memandang keluar di mana matahari sedang berpijar dengan cerah. Teringat kejadian ini semalam, ia mendapat direct message dari Jonathan Wijaya seperti itu saat Carissa ada di depannya."Gue udah janji nggak akan sembunyiin apapun lagi dari Carissa. Dan kebetulan banget dia juga lagi ada di depan gue semalem.""Jadi gimana?""Gimana apanya? Ya gue kasih liat aja sekalian DM dari manusia nggak tau malu itu."Radit terbelalak selama sepers
**"Dia bilang begitu sama kamu, Kak?"Pada sore harinya setelah pulang dari kantor, Sagara segera menceritakan segala hal yang diucapkan oleh Jonathan Wijaya kepadanya di kantor tadi kepada sang istri."Persis begitu." Gara mengangguk sementara menyeruput kopi yang Carissa hidangkan."Terus kamu jawabnya gimana?""Aku bilang mau ngomong dulu sama kamu. Bener, kan? Aku harus minta pendapat kamu dulu masalah ini, Ris."Carissa mengulas senyum, memposisikan dirinya untuk duduk di samping sang suami. Betapa sikap yang membuat hati Carissa menghangat, sekarang Gara benar-benar berbagi seluruh keluh kesahnya kepada istri tercinta."Menurut kamu gimana? To be honest, aku nggak mau ketemu lagi sama Tamara. Aku males."Tapi, Rissa menggeleng. "Nggak boleh begitu. Niatnya kan cuma jengukin. Kalo denger ceritanya, kasihan juga sih, Kak. Dia sampai depresi begitu.""Her problem." Gara mengangkat bahu dengan cuek. "Siapa suruh jadi jahat, iya kan? Kalo sekarang dia metik hasil perbuatannya, kenap
**“Lo tahu nggak, gimana keadaan Tamara saat ini?”Sagara mengerutkan kening. Serius memandang Radit yang juga tengah serius memandangnya. “Kenapa emang dengan keadaan Tamara saat ini?”“Lo beneran nggak tahu?”“Lo lagi tanya, apa niat ngajakin gue main tebak-tebakan sih, Dit?”Radit tertawa miris melihat sahabatnya kesal sendiri seperti itu. “Ya lagian lo, sih. Eh, ini gue serius, Gar. Salah satu temen gue ada yang kerja jadi staff di lembaga pemasyarakatan di mana Tamara lagi ditampung. Jadi gue sedikit banyak dapet cerita dari dia.”“Lo kurang kerjaan banget kepoin dia?”“Diem! Gue nggak butuh pendapat julid lo. Sekarang diem dulu, biar gue cerita.”Radit saat dalam mode sahabat memang kadang sangat menyebalkan bagi Sagara. Meski demikian, ia kagum sekali, bagaimana lelaki tiga puluh tahun ini mengganti peran dengan sempurna sebagai sekretaris profesional ketika sudah berada di ruang lingkup kantor. Sehingga hanya sedikit sekali orang yang tahu bahwa keduanya bersahabat dekat.“We
**"Nggak apa-apa, Ris. Nggak usah overthinking begitu. Kenapa jadi kamu yang kepikiran?" Sagara mengelus surai panjang sang istri. Tersenyum menatap wajah teduh yang kali itu sedang mendung kelabu seperti langit di luar sana."Kasihan," desah Rissa pelan. Awangnya tak mampu melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu. "Aku nggak tahu dia bisa sampai seperti itu.""Iya juga," sahut Gara pelan. "Aku nggak ngira kalau justru dia yang trauma. Padahal kamu korbannya.""Dia begitu karena terlalu cinta sama kamu nggak sih, Kak?"Mendengus pelan, Gara memilih tetap fokus kepada kemudi mobilnya alih-alih menanggapi kata-kata sang istri.Gara dan Rissa dalam perjalanan bertolak pulang setelah kunjungan ke tempat di mana Tamara ditahan tadi. Kunjungan yang mungkin akan membekas dalam ingatan Carissa selamanya.Bagaimana bisa Rissa lupakan, perempuan cantik itu bersimpuh di kaki Gara. Memohon-mohon untuk tidak membencinya. Memohon untuk Carissa memaafkan perbuatannya pula. Ini jelas berbanding t
**Satu atau dua bulan berlalu dalam baik-baik saja. Tak ada insiden apapun —jika Yasmin yang bersikeras memboyong menantu dan cucunya pulang ke rumah besar tidak bisa dianggap insiden.Sagara sudah cukup tenang kembali menyibukkan diri di kantor, meninggalkan sang istri dan putri kecilnya di rumah bersama seorang asisten rumah tangga baru. Kali ini Gara benar-benar memeriksa dengan ketat data-data asisten baru tersebut, tak ingin kecolongan lagi, seperti yang sudah-sudah."Sayang, mungkin hari ini aku pulangnya agak telat. Kamu mau ke rumah besar aja, nggak?" tawar Gara pagi ini, ketika sedang sarapan sebelum berangkat ke kantornya."Kenapa pulang telat?" Rissa yang sedang menyeruput jus sambil menggendong Stella menimpali."Ada meeting sama Papa dan Abian di kantor Arctic. Besok ada kunjungan investor, jadi banyak yang harus disiapin."Rissa mengangguk saja. Sebenarnya hanya iseng bertanya. Sebab tentu ia tahu alasan sang suami pulang terlambat. Sudah pasti masalah pekerjaan, kan?"
**"Tamara!"Carissa berseru panik ketika mendapati tubuh itu jatuh menghantam pintu gerbang dengan keras."Astaga! Cepat tolong! Tolong dia dan bawa masuk ke dalam rumah!""T-tapi, Bu—""Apa yang kamu tunggu? Ayo, bawa masuk! Bawa sekarang!"Sekuriti muda itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nyonya muda. Meski ini berisiko tinggi sebab bertentangan dengan apa yang dikatakan Tuan mudanya tadi. Tapi apa boleh buat, kan?"Baringkan di atas sofa saja, sini." Rissa panik sendiri, menunjuk sofa ruang tamu kepada sekuriti rumahnya yang menggendong tubuh lunglai Tamara."Apa saya perlu tunggu di sini, Bu? Takutnya kalau dia cuma pura-pura pingsan.""Astaga, apa kamu nggak lihat gimana keadaan dia tadi? Mana mungkin yang begini kamu bilang pura-pura!" Carissa sama sekali tidak bermaksud berkata kasar, namun rasa panik berlebihan yang membuatnya seperti itu. Nah, lebih daripada itu, pria muda berseragam itu tampaknya juga maklum. Sebab ia sendiri merasa tubuh Tamara panas
**"Gara ... Sagara ... ."Carissa tertegun. Pun, sang pemilik nama yang sama sekali tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi. Gara mengerling perlahan kepada sang istri, khawatir jika mungkin perempuan itu akan marah. Namun tidak, Rissa justru menghampiri tubuh Tamara yang tidak jadi diangkat oleh petugas dan membisikan sesuatu dalam telinganya."Tamara, Kak Gara ada di sini. Tenang aja, dia udah maafin kamu."Dan betapa anehnya, dua butir air mata menyeruak menetes melalui celah mata gadis itu, yang masih menutup. Meluncur menuruni pelipisnya, berkilau ditimpa cahaya lampu. Ia diam, racauannya berhenti."Whoa ...." Sagara bergumam, separuh kagum, separuh jengkel. "Apa-apaan? Kok bisa-bisanya dia malah ngomong begitu?""Semua orang sudah memaafkanmu. Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Lanjutkan hidup dengan baik saja." Rissa menepuk pelan puncak kepala Tamara sebelum kembali bangkit dan membiarkan para petugas membawa tubuh ringkih itu keluar, menuju mobil yang terparkir di halaman."
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh