**"Gue nggak kepikiran." Gara menggeleng dengan lemas. "Pikiran gue langsung blank begitu ngeliat Rissa udah di lantai. Gue nggak bisa mikir apa-apa lagi."Abian memandang sekilas, mengangguk penuh pengertian sebelum kembali mengecek ponselnya. "Sial, kenapa nggak ada yang bales chat atau angkat telepon gue, sih?""Sambil nunggu, coba lo hubungin sekuriti di depan aja. Tanyain dulu apa mereka lihat Savina hari ini. Kalau dia ada di rumah. Suruh seseorang mantau terus supaya dia nggak ke mana-mana sebelum gue balik."Abian mengangguk. Pria itu beranjak menjauh untuk melakukan panggilan telepon, sementara Sagara kembali menyandarkan punggungnya di kursi besi yang dingin.Henry sedang mengurus perihal administrasi, sementara Yasmin keluar membelikan Gara makan malam dan baju baru. Kemeja putih yang Gara kenakan saat ini tampak mengerikan sebab setengahnya sudah berlumuran darah. Pria itu nyaris memejamkan mata karena lelah saat sang adik kembali mendekat dengan raut wajah luar biasa teg
**Yasmin menatap lekat kepada sang putra. Wajahnya tanpa ekspresi apa-apa, sehingga Gara tidak bisa menebak apa yang sedang ibunya pikirkan."Mami? Anak aku?"Apakah bayinya tidak selamat? Astaga! Satu kenyataan besar menghantam kepala Gara keras-keras. Teringat pernyataan dokter beberapa waktu lalu, bahwa mereka semua hanya bisa menyelamatkan salah satu. Jika Rissa sudah dipastikan selamat, maka ...."Mami, apa anakku nggak bisa diselamatkan?" Gara bertanya dengan suara berbisik yang seperti datang dari jauh."Mami?""Putrimu selamat, Gar."Lagi, hantaman kedua seperti menenggelamkan Gara dalam ilusi. Pria itu terbelalak memandang sang ibu, yang pelan-pelan mulai menyunggingkan senyum kecil."Pu-putri ....""Dokter bilang, bayinya perempuan. Entahlah, aku juga belum lihat. Aku harus pastikan keadaan Rissa dulu. Lagi pula, dia sekarang masih di dalam NICU dan belum boleh disentuh.""Ya Tuhan ...." Entah untuk keberapa kalinya hari ini, Sagara merosot jatuh ke atas lantai. Kembali ber
**Nyaris jam empat dini hari, ketika Abian masih berada di dalam kantor polisi. Pria itu tampak menyimak baik-baik dengan wajah luar biasa tegang saat seorang agen kepolisian melapor melalui sambungan ponsel kepada komandan mereka yang saat itu tengah duduk di hadapan Abian."Dia di bandara," tutur sang komandan setelah menutup ponselnya. "Dalam perjalanan ke Singapura. Agen sedang bergerak untuk melakukan penangkapan. Anda tidak perlu khawatir lagi."Untuk pertama kalinya sejak beberapa jam belakangan ini, Abian menghela napas dengan lega. Ia melemparkan punggung ke sandaran kursi dingin di kantor kepolisian resort setempat yang lengang dini hari itu."Terimakasih banyak, Pak Polisi," ucap Abian dengan suara parau. "Dan maaf merepotkan anda selarut ini.""Memang sudah kewajiban kami, Pak." Polisi muda berwajah tampan itu menepuk lengan Abian pelan. "Beruntung anda melaporkannya segera, jadi kami tidak kehilangan jejak. Perempuan ini sebenarnya masuk dalam daftar pencarian orang kare
**Seluruh isi bandara yang hening, pada tengah malam itu dihebohkan oleh penyergapan seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun oleh sekelompok polisi tanpa seragam. Wanita yang hampir mendapatkan boarding pass itu meronta-ronta setelah beberapa pria berperawakan besar mencekal kedua lengannya."Apa salah saya?" Ia menjerit. "Lepaskan! Kalian ini siapa? Lepas! Lepaskan!"Ya, Savina. Meski sudah bisa menebak dengan sangat jelas, siapa manusia-manusia bertubuh kekar itu, ia tetap harus bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun, kan?"Jangan berisik, atau kutembak kakimu dua-duanya!"Barulah ketika ia mendapat bisikan seperti itu di telinga, ia benar-benar bisa diam. Savina tahu mereka serius, para agen kepolisian yang menyamar sebagai pengunjung bandara itu.Pada titik ini, Savina tahu bahwa dirinya sudah tamat."Pak, saya nggak bersalah," rengeknya, sementara kakinya tersaruk-saruk melangkah menuju SUV hitam di luar bandara. "S-saya cuma disuruh–""Bisa kamu jelaskan di
**"Cuma dua tahun kurungan penjara?"Sagara terbelalak. Pria itu nyaris melempar remote menghantam layar televisi jika saja sang istri tidak mendesis memperingatkannya."Ris, nggak bisa! Nggak adil namanya! Tamara dan Aldric itu otak kejahatannya, kenapa mereka berdua masing-masing cuma dijatuhi dua tahun kurungan?""Kak, sudahlah." Rissa memberi isyarat untuk mematikan televisi yang masih menyala, menampilkan berita infotainment. "Kita semua tahu, backing Tamara sama Aldric terlalu kuat.""Aku bisa aja suruh orang buat bongkar konspirasi busuk mereka itu!""Hei," tegur Carissa sekali lagi, kali ini dengan senyum mengembang. Ia mengulurkan tangan untuk meminta sang suami mendekat. Dan tentu saja Gara tidak membuang-buang waktu, ia segera mengayun langkah untuk menghampiri sang istri yang berada di atas ranjang rawat."Kita jadikan pelajaran, untuk lebih hati-hati dan nggak begitu aja percaya sama orang sesudah ini, oke?" Rissa menangkup pipi tirus sang suami dengan kedua tangan. Gara
SEASON 3***“Welcome home, Sayang.”Carissa tersenyum lebar setelah Gara membukakan pintu untuknya. Pria itu mendorong kursi roda dan membawa istri dan anaknya melewati pintu, sebelum kemudian berhenti sejenak di dalam foyer. Setelah melepas sepatu sang istri dan miliknya sendiri lalu menggantinya dengan sandal rumah, ia mendorong kembali kursi roda menuju ruang tamu.Rissa menyapukan pandang ke sekeliling ruangan tersebut dengan wajah terkesima.“Suka rumahnya?”“Kak, ini luar biasa!”“As your wish, rumah sederhana dengan ruangan lebar dan halaman luas. Lingkungan sekitar juga nggak ramai. Kamu suka yang begini, kan?” Carissa menatap suaminya dengan pandangan penuh rasa terimakasih. Meski ia tak mengucapkan apapun, namun lelaki itu mengerti sepenuhnya arti pandangan matanya.“You’re welcome, Sayang. Yang penting kamu nyaman, jadi bahagia ngerawat dan ngebesarin anak-anak kita nanti.”“Anak-anak, nih? Satu aja bisanya masih nangis sama tidur.” Carissa berjengit main-main.“Tentu saj
**"Ada apa lagi, sih?" Gara berdecak kesal. "Gue udah muak denger pemberitaan tentang mereka, Dit. Apalagi Rissa udah ngelarang gue buat ngurusin masalah itu lagi. Gue bodo lah mau itu manusia dua kenapa atau kenapa.""Hari ini Pak Jo dateng ke kantor, Gar. Nyariin lo."Hening. Sagara tiba-tiba saja kehilangan suaranya setelah berkata demikian. Pria itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan umpatan yang rasanya sudah berada di ujung lidah. Tidak, ia tidak akan mengumpat di sini. Rissa jelas bisa mendengarnya dan pasti tahu ada sesuatu yang tidak beres."Mau ngapain lagi tua bangka itu? Gue udah baik-baik nggak nuntut buat nyelidikin kasus ini jadi anaknya cuma dapet hukuman dua tahun. Masih nggak terima juga? Mau apa lagi?"Di seberang sana, Radit kedengaran sedang menghela napas lelah sebelum melanjutkan. "Nggak tau juga, sih. Udah tiga kali lho, dia dateng, meski alasannya cuma mampir doang. Gue nggak tanya detail dia mau ada urusan apa sama lo. Gue cuma bilang lo belum masuk kant
**“Shit! Jonathan Wijaya!”Jonathan Wijaya? Siapa pula itu? Carissa mengangkat kedua alis sebab merasa benar-benar asing dengan nama barusan, tapi Sagara hanya menggeleng. Sekali lagi pria itu melayangkan pandangan minta maaf kepada sang istri sebelum kembali menjauh untuk mengangkat panggilan ponselnya.“Halo?”“Ah, Sagara Aditama, selamat siang. Kenapa telepon kamu aja rasanya susah banget?”Ha! Gara bersyukur ini hanya panggilan suara yang tidak mengharuskan dirinya bertatap muka dengan Jonathan Wijaya, sehingga ia bebas menggunakan ekspresi yang manapun. Kali ini, Gara menampakkan raut muak setengah mati.“Selamat siang, Pak Jonathan. Tapi saya tidak merasa cukup istimewa untuk menyusahkan anda, Pak.”Suara kekeh tawa renyah terdengar dari seberang sana, dan karenanya Gara membatin, Dasar kakek-kakek!“Ada apa, Pak? Apa ada masalah?”“Nggak usah formal begitu, Gar, ini kan bukan kantor.”Nah, berkata untuk tidak serius, tapi pria ini dari kemarin nyaris meneleponnya seratus kali.