**Sagara meremas rambut dengan kedua tangan. Ia mendesah kasar sementara mengejar sang istri yang sudah melesat pergi keluar rumah. Percuma saja, perempuan itu sudah masuk ke dalam Mini Cooper miliknya, kemudian dengan kecepatan tinggi, memacu benda itu keluar garasi."Rissa, astaga!" Sagara shock berat. Sang istri sedang hamil tua dan siang malam ia jaga agar berhati-hati. Namun di depan matanya, perempuan itu menginjak pedal gas mobil hingga suara decit yang mengerikan meraung dari mesinnya."Kejar!" Pria itu menunjuk kepada driver yang kebingungan di pos sekuriti. "Dasar bodoh! Kenapa kamu biarkan kunci mobilnya menggantung di sana, ha?""Ma-maaf–""Kejar istriku sekarang, kejar!"Tepat pada saat itu, Savina yang baru tiba entah dari mana, muncul dari balik pintu gerbang. Sagara menjadi semakin murka karenanya."Dari mana saja kamu, hah? Kenapa baru muncul sekarang? Dari mana kamu?""It-itu, Pak Gar–""Kejar Carissa, jangan biarkan dia terluka! Sekarang!"Pria driver menarik Savin
**"Carissa!"Rissa mengernyit mendengar suara itu. Ia berlindung dalam pelukan Yasmin sembari memejamkan mata rapat-rapat. Tak sudi sedikitpun menoleh kepada si empunya suara yang saat itu sedang membatu di ambang pintu."Carissa, dengerin aku dulu, Ris. Aku–""Nanti saja, Gar." Yasmin menyela dengan dingin. "Rissa mungkin sedang nggak ingin ketemu kamu sekarang.""Mami!" Pria itu separuh memohon, setengahnya lagi menuntut. "Mami, biarin aku jelasin ini sama Rissa sekarang juga. Ini cuma salah paham, Mam. Ini sama sekali nggak sama kayak yang Rissa lihat. Ini cuma salah–""Gara, Mami bilang nanti saja."Lelaki itu berdecak. Ia berusaha mendekat, namun Yasmin menahan langkahnya. Dan Carissa sama sekali tidak ingin memalingkan wajah dari bahu sang mertua. Membuat Gara kian frustasi. Ini pertama kalinya perempuan itu berlaku seperti ini. Dan jujur saja, agak mengerikan."Ris, please dengerin aku. Please kasih aku kesempatan buat jelasin." Gara masih mengiba. Tidak ingin menyerah begitu
**Walau ternyata, kenyataannya memperjuangkan Carissa tidaklah semudah itu. Mungkin sebab Gara yang tidak pernah memperjuangkan sesuatu, sehingga ketika ia harus melakukannya untuk pertama kali, pria itu hampir tidak sabar."Rissa, mau sampai kapan kamu begitu sama aku?" Gara menegur saat pagi ini, ketika Gara menyusul ke taman samping untuk menemani sang istri sarapan, perempuan itu justru menghindar."Rissa, duduk di sini, dan jangan pergi. Kamu denger aku, nggak?""Nggak, aku nggak denger. Lepasin, aku mau masuk.""Rissa–" Gara menahan kata-kata kasarnya yang sudah berada di ujung lidah dan nyaris menyembur keluar. Ia mendesis, mengendurkan cengkeramannya pada pergelangan tangan sang istri. " Sorry, apa itu sakit? Tangan kamu? Sorry, aku nggak maksud menyakitimu."Carissa mendengus. Ia menarik tangannya dan melangkah meninggalkan sang suami yang masih terpaku di tempat."Rissa, please. Jangan begini sama aku. Aku kangen ...."Benar, Gara tidak bohong. Ia serius, benar-benar merind
**Carissa memandang sosok Savina dari kejauhan. Perempuan itu sedang membantu menata barang-barang perlengkapan bayi yang baru diturunkan dari mobil. Benar, Yasmin membelikan segala yang mungkin Rissa butuhkan pasca melahirkan nanti. Mulai diapers setengah mobil penuh, baju-baju dari brand ternama, sampai sensor digital yang bisa tersambung dengan smartphone untuk memberitahukan jika bayi bangun tidur dan menangis. Entah apa gunanya benda yang terakhir itu.Nah, yang menjadi beban pemikiran Rissa saat itu adalah, bagian sebelah mana yang dinilai Yasmin tidak beres dari Savina?"Mbak Savina kelihatannya baik-baik aja, sih. Apa Mami yang berlebihan?" Mendesah lelah, Rissa masih mencoba menerka-nerka. Memang gelagat Savina selama di rumah besar itu agak canggung, namun selebihnya, ia tidak tampak aneh. Ataukah Rissa saja yang kurang memperhatikan?"Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini dia memang jarang menemui aku. Mungkin hanya karena di sini sudah banyak yang bantu, jadi tugas dia jadi
**Savina menjauhkan ponsel dari telinganya untuk ke sekian kali. Namun kali ini, bukan hanya sebab suara keras Tamara, melainkan juga karena apa yang gadis itu katakan. Savina memandangi layar ponselnya yang masih terhubung panggilan dengan ngeri."Non-Nona? Barusan ngomong apa?""Aku yakin telingamu itu masih berfungsi dengan sangat baik.""Bu-bu ....""Kalau kamu berhasil bikin perempuan itu mati, satu milyar masuk ke rekeningmu.""Astaga, Nona!" Savina benar-benar terbelalak, tidak percaya dengan pendengarannya. Ia pikir setelah yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perempuan ini sudah menyerah. Tapi lihatlah, ia justru kian menjadi-jadi."Nona Tamara, tapi ini ... membunuh?" Kata-kata di akhir kalimat Savina masih terdengar begitu ngeri."Oke, kalau membunuh kedengaran terlalu brutal, kamu bikin saja Carissa semacam kecelakaan. Kalau dia sampai masuk rumah sakit, kamu dapat lima ratus juta."Savina menelan saliva. Lima ratus juta, jumlah yang cukup menggiurkan. Ia terdiam, dalam
**"Sayang?"Carissa bergeming ketika suara familiar itu menyeruak masuk bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka."Sayang? Kamu tidur?"Masih bergeming. Carissa tidak sedikitpun bergerak. Ia diam dengan posisi membelakangi pintu, sehingga Gara tidak bisa melihat wajahnya. Ia tidak tidur, tentu saja. Hanya berbaring.Gara mendekat, kemudian mendudukkan diri di samping perempuan itu. Harus terima meski sang istri memunggunginya seperti itu."Aku kangen pengen lihat wajah kamu, Sayang. Hadap sini dong, please." Gara mencoba merayu. Tidak peduli dengan respon apa yang akan ia dapatkan nanti, yang jelas ia sudah berusaha."Sayang, masa kamu sama Abian bisa ngobrol, bisa senyum, tapi sama aku nggak mau begitu? Aku suami kamu, kan? Seharusnya aku yang kamu senyumin, bukan Abian."Nah, ini efektif. Mendengar kata-kata tersebut, Carissa menengok sedikit ke arah sang suami yang berada di belakang punggungnya."Apa maksudmu?""Kamu tahu apa maksudku.""Dari mana kamu tahu kalau aku ngobrol
**"Sialan! Mereka udah tahu semuanya?"Savina menelan ludah. Panik merambati seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki ketika ia perlahan menarik diri setelah cukup lama menguping pembicaraan pasangan majikannya dari balik pintu kamar."Pak Gara curiga sama aku. Nona Rissa di luar dugaan, ternyata pintar juga bisa nebak apa yang terjadi. Gawat ini, gawat! Aku bisa mati kalau sampai mereka berdua bener-bener tahu kalo aku orang suruhan Nona Tamara!" Perempuan itu berjalan mondar-mandir di depan pintu. Selama beberapa saat, kebingungan dengan apa yang semestinya ia lakukan."Sebaiknya aku sudahin aja ini semua! Aku kabur ajalah. Persetan sama lima ratus juta, sebelum nyawaku sendiri yang terancam!"Savina lantas bergegas mengayun langkah menuju ruangan yang beberapa waktu terakhir ia tempati sebagai kamarnya. Dengan tergesa-gesa memasukkan barang-barang ke dalam koper besar di sudut ruangan. Napasnya memburu, berpacu dengan waktu. Ketakutan itu terasa memburunya seperti hantu tak keliha
**"Carissa, tolong bertahan, Sayang. Tolong ... tolong tetap bertahan buat aku." Sagara membiarkan air mata itu terus berjatuhan, menimpa wajah pucat sang istri. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, ia dilanda ketakutan akan kehilangan sesuatu yang begitu besar. Sebelum ini, Gara sama sekali tidak takut kehilangan apapun, sebab ia merasa tidak akan pernah kehilangan apapun."Bisa cepat sedikit, kau? Berhenti saja jadi supirku kalau kau tidak becus bekerja!" Pria itu menyalak keras saat ia rasa laju mobilnya agak melambat."Lampu lalu lintasnya masih merah, Tuan.""Persetan sama lampu lalu lintas! Jalan, cepat!"Dan bersamaan dengan itu, padam pula akal sehat Sagara. Ia lupa bahwa mobilnya ini mobil pribadi, bukannya ambulans yang memiliki sirine. Jika nekat menerabas, maka bisa-bisa ketiga-tiganya menjadi pasien semua. Maka, driver malang itu hanya bisa menekan klakson berkali-kali dan rela hati menerima makian pengguna jalan yang lain."Kita segera sampai, Tuan," tutur sang drive
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh