**Savina menjauhkan ponsel dari telinganya untuk ke sekian kali. Namun kali ini, bukan hanya sebab suara keras Tamara, melainkan juga karena apa yang gadis itu katakan. Savina memandangi layar ponselnya yang masih terhubung panggilan dengan ngeri."Non-Nona? Barusan ngomong apa?""Aku yakin telingamu itu masih berfungsi dengan sangat baik.""Bu-bu ....""Kalau kamu berhasil bikin perempuan itu mati, satu milyar masuk ke rekeningmu.""Astaga, Nona!" Savina benar-benar terbelalak, tidak percaya dengan pendengarannya. Ia pikir setelah yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perempuan ini sudah menyerah. Tapi lihatlah, ia justru kian menjadi-jadi."Nona Tamara, tapi ini ... membunuh?" Kata-kata di akhir kalimat Savina masih terdengar begitu ngeri."Oke, kalau membunuh kedengaran terlalu brutal, kamu bikin saja Carissa semacam kecelakaan. Kalau dia sampai masuk rumah sakit, kamu dapat lima ratus juta."Savina menelan saliva. Lima ratus juta, jumlah yang cukup menggiurkan. Ia terdiam, dalam
**"Sayang?"Carissa bergeming ketika suara familiar itu menyeruak masuk bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka."Sayang? Kamu tidur?"Masih bergeming. Carissa tidak sedikitpun bergerak. Ia diam dengan posisi membelakangi pintu, sehingga Gara tidak bisa melihat wajahnya. Ia tidak tidur, tentu saja. Hanya berbaring.Gara mendekat, kemudian mendudukkan diri di samping perempuan itu. Harus terima meski sang istri memunggunginya seperti itu."Aku kangen pengen lihat wajah kamu, Sayang. Hadap sini dong, please." Gara mencoba merayu. Tidak peduli dengan respon apa yang akan ia dapatkan nanti, yang jelas ia sudah berusaha."Sayang, masa kamu sama Abian bisa ngobrol, bisa senyum, tapi sama aku nggak mau begitu? Aku suami kamu, kan? Seharusnya aku yang kamu senyumin, bukan Abian."Nah, ini efektif. Mendengar kata-kata tersebut, Carissa menengok sedikit ke arah sang suami yang berada di belakang punggungnya."Apa maksudmu?""Kamu tahu apa maksudku.""Dari mana kamu tahu kalau aku ngobrol
**"Sialan! Mereka udah tahu semuanya?"Savina menelan ludah. Panik merambati seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki ketika ia perlahan menarik diri setelah cukup lama menguping pembicaraan pasangan majikannya dari balik pintu kamar."Pak Gara curiga sama aku. Nona Rissa di luar dugaan, ternyata pintar juga bisa nebak apa yang terjadi. Gawat ini, gawat! Aku bisa mati kalau sampai mereka berdua bener-bener tahu kalo aku orang suruhan Nona Tamara!" Perempuan itu berjalan mondar-mandir di depan pintu. Selama beberapa saat, kebingungan dengan apa yang semestinya ia lakukan."Sebaiknya aku sudahin aja ini semua! Aku kabur ajalah. Persetan sama lima ratus juta, sebelum nyawaku sendiri yang terancam!"Savina lantas bergegas mengayun langkah menuju ruangan yang beberapa waktu terakhir ia tempati sebagai kamarnya. Dengan tergesa-gesa memasukkan barang-barang ke dalam koper besar di sudut ruangan. Napasnya memburu, berpacu dengan waktu. Ketakutan itu terasa memburunya seperti hantu tak keliha
**"Carissa, tolong bertahan, Sayang. Tolong ... tolong tetap bertahan buat aku." Sagara membiarkan air mata itu terus berjatuhan, menimpa wajah pucat sang istri. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, ia dilanda ketakutan akan kehilangan sesuatu yang begitu besar. Sebelum ini, Gara sama sekali tidak takut kehilangan apapun, sebab ia merasa tidak akan pernah kehilangan apapun."Bisa cepat sedikit, kau? Berhenti saja jadi supirku kalau kau tidak becus bekerja!" Pria itu menyalak keras saat ia rasa laju mobilnya agak melambat."Lampu lalu lintasnya masih merah, Tuan.""Persetan sama lampu lalu lintas! Jalan, cepat!"Dan bersamaan dengan itu, padam pula akal sehat Sagara. Ia lupa bahwa mobilnya ini mobil pribadi, bukannya ambulans yang memiliki sirine. Jika nekat menerabas, maka bisa-bisa ketiga-tiganya menjadi pasien semua. Maka, driver malang itu hanya bisa menekan klakson berkali-kali dan rela hati menerima makian pengguna jalan yang lain."Kita segera sampai, Tuan," tutur sang drive
**"Gue nggak kepikiran." Gara menggeleng dengan lemas. "Pikiran gue langsung blank begitu ngeliat Rissa udah di lantai. Gue nggak bisa mikir apa-apa lagi."Abian memandang sekilas, mengangguk penuh pengertian sebelum kembali mengecek ponselnya. "Sial, kenapa nggak ada yang bales chat atau angkat telepon gue, sih?""Sambil nunggu, coba lo hubungin sekuriti di depan aja. Tanyain dulu apa mereka lihat Savina hari ini. Kalau dia ada di rumah. Suruh seseorang mantau terus supaya dia nggak ke mana-mana sebelum gue balik."Abian mengangguk. Pria itu beranjak menjauh untuk melakukan panggilan telepon, sementara Sagara kembali menyandarkan punggungnya di kursi besi yang dingin.Henry sedang mengurus perihal administrasi, sementara Yasmin keluar membelikan Gara makan malam dan baju baru. Kemeja putih yang Gara kenakan saat ini tampak mengerikan sebab setengahnya sudah berlumuran darah. Pria itu nyaris memejamkan mata karena lelah saat sang adik kembali mendekat dengan raut wajah luar biasa teg
**Yasmin menatap lekat kepada sang putra. Wajahnya tanpa ekspresi apa-apa, sehingga Gara tidak bisa menebak apa yang sedang ibunya pikirkan."Mami? Anak aku?"Apakah bayinya tidak selamat? Astaga! Satu kenyataan besar menghantam kepala Gara keras-keras. Teringat pernyataan dokter beberapa waktu lalu, bahwa mereka semua hanya bisa menyelamatkan salah satu. Jika Rissa sudah dipastikan selamat, maka ...."Mami, apa anakku nggak bisa diselamatkan?" Gara bertanya dengan suara berbisik yang seperti datang dari jauh."Mami?""Putrimu selamat, Gar."Lagi, hantaman kedua seperti menenggelamkan Gara dalam ilusi. Pria itu terbelalak memandang sang ibu, yang pelan-pelan mulai menyunggingkan senyum kecil."Pu-putri ....""Dokter bilang, bayinya perempuan. Entahlah, aku juga belum lihat. Aku harus pastikan keadaan Rissa dulu. Lagi pula, dia sekarang masih di dalam NICU dan belum boleh disentuh.""Ya Tuhan ...." Entah untuk keberapa kalinya hari ini, Sagara merosot jatuh ke atas lantai. Kembali ber
**Nyaris jam empat dini hari, ketika Abian masih berada di dalam kantor polisi. Pria itu tampak menyimak baik-baik dengan wajah luar biasa tegang saat seorang agen kepolisian melapor melalui sambungan ponsel kepada komandan mereka yang saat itu tengah duduk di hadapan Abian."Dia di bandara," tutur sang komandan setelah menutup ponselnya. "Dalam perjalanan ke Singapura. Agen sedang bergerak untuk melakukan penangkapan. Anda tidak perlu khawatir lagi."Untuk pertama kalinya sejak beberapa jam belakangan ini, Abian menghela napas dengan lega. Ia melemparkan punggung ke sandaran kursi dingin di kantor kepolisian resort setempat yang lengang dini hari itu."Terimakasih banyak, Pak Polisi," ucap Abian dengan suara parau. "Dan maaf merepotkan anda selarut ini.""Memang sudah kewajiban kami, Pak." Polisi muda berwajah tampan itu menepuk lengan Abian pelan. "Beruntung anda melaporkannya segera, jadi kami tidak kehilangan jejak. Perempuan ini sebenarnya masuk dalam daftar pencarian orang kare
**Seluruh isi bandara yang hening, pada tengah malam itu dihebohkan oleh penyergapan seorang wanita berusia tiga puluh enam tahun oleh sekelompok polisi tanpa seragam. Wanita yang hampir mendapatkan boarding pass itu meronta-ronta setelah beberapa pria berperawakan besar mencekal kedua lengannya."Apa salah saya?" Ia menjerit. "Lepaskan! Kalian ini siapa? Lepas! Lepaskan!"Ya, Savina. Meski sudah bisa menebak dengan sangat jelas, siapa manusia-manusia bertubuh kekar itu, ia tetap harus bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun, kan?"Jangan berisik, atau kutembak kakimu dua-duanya!"Barulah ketika ia mendapat bisikan seperti itu di telinga, ia benar-benar bisa diam. Savina tahu mereka serius, para agen kepolisian yang menyamar sebagai pengunjung bandara itu.Pada titik ini, Savina tahu bahwa dirinya sudah tamat."Pak, saya nggak bersalah," rengeknya, sementara kakinya tersaruk-saruk melangkah menuju SUV hitam di luar bandara. "S-saya cuma disuruh–""Bisa kamu jelaskan di