**"Aldric, dia nyebelin! Aku nggak suka sama dia!"Tamara melempar ponselnya ke seberang ruangan setelah berseru keras. Benda pipih seharga puluhan juta rupiah itu menghantam dinding hingga layarnya retak seribu. Meski demikian, tetap menyala."Apa, sih?""Baru sehari bekerja, dia udah bikin darahku mendidih! Dasar brengsek!"Aldric melangkah ke seberang ruangan untuk memungut ponsel Tamara. Ia perhatikan video terlampir yang masih menyala di balik layarnya yang retak."Whoa. Aku iri." Lelaki itu terkekeh sinis. "Dia manis banget sama perempuan miskin ini. Sama sekali beda dengan orang yang temuin kita di acaranya Bu Yasmin waktu itu.""DIAM!"Kekeh sinis Aldric berubah menjadi tawa puas ketika Tamara tampak semakin murka. "Harusnya kamu sadar diri, Tam. Selera Gara yang seperti permen kapas begini. Bukan permen cabai sepertimu.""Aldric, pergi dari rumah aku sekarang!""Ahaha, sorry. Just kidding. Tapi bukankah kinerja perempuan itu bagus? Kamu lihat, dia belum satu jam bekerja tapi
**"Non, mau saya bikinin sesuatu? Mungkin minuman manis? Susu atau jus buah?"Carissa mengalihkan atensi dari layar laptop di atas pangkuan. Ia sedang memeriksa laporan keuangan beberapa butik milik mertuanya saat itu.Savina tengah tersenyum dan berdiri di sampingnyaCarissa melayangkan pandang pada jam dinding di seberang ruangan. Hampir pukul delapan malam sekarang. "Mau susu cokelat aja deh, Mbak. Mau minum jus, udah malam begini.""Non Rissa, jangan terlalu lama duduk begini. Sesekali buat jalan-jalan biar kakinya nggak kaku.""Iya, Mbak. Aku cuma sambil nunggu Kak Gara. Dia belakangan banyak kerjaan, jadi harus lembur terus.""Oke, tunggu sebentar, ya. Saya siapkan dulu." Perempuan itu berujar, lalu dengan riang melangkah ke dapur.Rissa tersenyum menatap punggungnya yang menjauh. Setelah beberapa hari berlalu, kadar ketidaknyamanan Rissa berangsur berkurang, meski masih sangat sedikit. Savina pandai menempatkan diri. Ia tahu kapan Rissa butuh bantuan, dan kapan Rissa ingin men
**" SAVINA! JANGAN KURANG AJAR KAU! SIAPA YANG MENYURUHMU LAKUKAN ITU? DASAR NGGAK TAHU DIRI! "Savina buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya kala suara jeritan melengking terdengar dari sana. Ia terkikik geli sebelum membalas teriakan histeris penuh dendam itu."Ada apa Non Tamara? Santai dulu, sih.""Santai kepalamu! Kamu ngapain, hah? Rissa kamu apain? Kamu didiemin aja lama-lama ngelunjak ya, Savi!"Savina memastikan pintu kamarnya tertutup rapat dan tidak seorangpun bisa mendengar suaranya dari luar sebelum melanjutkan percakapan dengan bos besarnya."Cuma tambahin obat dikit biar Nona Rissa tidurnya nyenyak.""Jangan sembarangan, Sav! Kalau dia mati gimana?""Hanya obat tidur, bukan racun tikus, Non.""God!" Tamara sekali lagi menjerit murka. "Savi, kalau dia mati gimana? Kamu satu-satunya orang yang bakal dicurigai, bego!"Perempuan tiga puluh enam tahun itu mendengus pelan dengan bola mata berputar bosan dalam rongganya. "Nggak akan mati, Nona. Saya udah bilang, itu cuma
**" ... Rissa!""Ah? Kenapa?" Carissa terkejut. Ia buru-buru memandang sang suami yang sedang berada di balik kemudi."Kamu yang kenapa? Dari tadi loh, aku ngoceh ke sana kemari tapi nggak kamu dengerin."Perempuan itu memijit pangkal hidungnya sekilas sebelum menghela napas dan mengelus perutnya pelan."Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Apa sih yang ngeganggu pikiranmu?" lanjut Sagara ketika istrinya diam kembali. "Kalau kamu pengen sesuatu, bilang lah. Apapun yang kamu mau, aku pasti kasih.""Nggak, Kak." Rissa mengalihkan pandang kepada suaminya. Tersenyum melihat bagaimana lelaki itu hari ini tampak tampan sekali. Ia mengenakan kaus lengan panjang v-neck warna putih polos dipadu jeans. Membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda. Ah, ini weekend, omong-omong. Dan keduanya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk check up sebab rasa tidak nyaman di perut Rissa belum membaik hingga kini."Apa lihat-lihat?""Kamu seksi, Kak.""Heh, please! Kita lagi mau ke rumah sakit. Har
**"Kan, kamu ngelamun lagi, kan? Udah diturutin ke rumah Mami. Jadi kenapa masih ngelamun? Mau pergi ke mana lagi, hm?"Carissa mengerjapkan mata. Mengusir bayangan sekilas-sekilas silih berganti yang sejak tadi berkelebatan dalam benaknya. Ia berdehem pelan sebelum menjawab pertanyaan sang suami."Aku cuma kepikiran kata-kata Mami. Kok bisa-bisanya Mami curiga sama Mbak Savina."Gara diam sejenak, memandang fokus pada jalanan ramai di depannya. "Mami orangnya peka dan skeptis, Ris. Susah percaya sama orang baru. Aku aja kaget kok pas pertama tau kamu dulu, Mami langsung setuju kita nikah. Ternyata kamu emang pilihan tepat, kan?"Carissa tersenyum kecil. Belakangan Gara semakin sering mengatakan hal-hal yang manis seperti ini."Ya, tapi jujur aja, aku jadi takut.""Takut kalau pemikiran Mami ternyata bener?"Rissa diam saja, ia tidak mau mencurigai orang sembarangan tanpa bukti valid. Pun berkata buruk tentang seseorang tanpa kebenaran."Semoga enggak, Ris." Gara berucap lagi karena
**"Pagi, Daddy."Sagara membuka mata. Senyumnya merekah kala ia lihat sang istri sudah berada di atas tubuhnya dengan wajah segar berseri-seri. Ah, cantik nian istrinya pagi ini."Pagi Honey," balasnya sembari bergerak duduk. Ia mengecup sekilas pipi Carissa. "Jam berapa ini? Aku kesiangan, kah?""Setengah tujuh, Kak.""Hah?" Gara mengerutkan dahi. "Setengah tujuh? Jamnya mati kali.""Ih, enggak. Emang masih setengah tujuh kok sekarang.""Kok tumben bener kamu bangun sepagi ini? Beberapa hari belakangan kan kamu selalu bangun pas aku udah berangkat kantor."Carissa mengerjapkan mata sembari berpikir-pikir. "Oh, ya bener juga, sih. Nggak tau kenapa kok aku udah bangun aja.""Apa perutnya nggak nyaman lagi? Ada yang sakit?" Gara dengan sedikit panik memeriksa bagian-bagian tubuh sang istri."Apa, sih? Nggak ada yang sakit, kok. Aku baik-baik aja. Justru aku ngerasa badanku seger banget. Makanya aku bangun pagi, nih." Carissa menjawab sembari kembali menyunggingkan senyum."Kok aneh, ya
**"Kamu yakin nggak apa-apa? Perutnya nggak sakit? Semuanya oke?""Baik, Kak. Aku baik. Justru aku yang harusnya tanya sama kamu, karena tadi aku kan jatuh nimpa kamu."Gara menghela napas. Ia menggusak lembut surai cokelat istrinya seraya menatap lekat perempuan itu. "Kamu beneran harus lebih hati-hati, Sayang. Entah kenapa makin ke sini kok makin banyak yang terjadi. Aku bener-bener khawatir sama kamu."Rissa hanya bisa mengangguk dengan penuh rasa bersalah. "Kayaknya aku terlalu semangat pagi tadi karena badanku enakan. Maaf ya, Kak. Maaf aku ceroboh dan nyaris bahayain bayi kita."Sekali lagi, Gara hanya bisa menghela napas dan mengangguk lirih. Namun di belakang kedua orang itu, tepatnya sedang duduk di jok belakang mobil, Savina mencibir tanpa suara. Ia menatap benci kepada kemesraan suami istri yang menurutnya tidak tahu tempat."Ya udah, kita berangkat sekarang aja yuk, Kak. Nanti kamu kesiangan." Rissa berujar sembari memasang seatbelt."Hari ini aku mau ke kantor Arctic, Ri
**"Kak Rissa?" Dan seperti halnya dua yang lain, Aneska pun terlihat terkejut melihat Carissa yang baru masuk ke dalam toilet. Pandangan mata perempuan itu berpindah dari kakak sepupunya ke satu yang lain.Sementara itu wajah Savina tampak pucat pasi bagai mayat. Perempuan itu menelan saliva berkali-kali. Pandangan matanya terlihat bergetar dan tidak sabar."Aneska apa kabar? Kamu ngapain di sini? Kok sendirian aja, anak kamu mana?" Rissa bertanya dengan ceria, ia menghampiri adik sepupunya itu dan menyambutnya seperti sahabat lama. Setelah segalanya sudah selesai, Carissa tidak lagi mengingat apa yang Aneska pernah lakukan padanya dahulu. Lagi pun, sekarang Rissa pikir Anes sudah bahagia bersama Radit."Aku? Aku tadi lagi makan siang sama temen, Kak. Anak aku sama baby sitter dia di rumah. Kan aku harus kerja. Oh, wah! Perut kamu udah gede begini. Berapa bulan usianya?" Aneska menempelkan telapak tangannya, menyentuh perut Rissa yang menonjol."Tujuh bulan, Nes. Hampir delapan," ja