**"Kamu yakin nggak apa-apa? Perutnya nggak sakit? Semuanya oke?""Baik, Kak. Aku baik. Justru aku yang harusnya tanya sama kamu, karena tadi aku kan jatuh nimpa kamu."Gara menghela napas. Ia menggusak lembut surai cokelat istrinya seraya menatap lekat perempuan itu. "Kamu beneran harus lebih hati-hati, Sayang. Entah kenapa makin ke sini kok makin banyak yang terjadi. Aku bener-bener khawatir sama kamu."Rissa hanya bisa mengangguk dengan penuh rasa bersalah. "Kayaknya aku terlalu semangat pagi tadi karena badanku enakan. Maaf ya, Kak. Maaf aku ceroboh dan nyaris bahayain bayi kita."Sekali lagi, Gara hanya bisa menghela napas dan mengangguk lirih. Namun di belakang kedua orang itu, tepatnya sedang duduk di jok belakang mobil, Savina mencibir tanpa suara. Ia menatap benci kepada kemesraan suami istri yang menurutnya tidak tahu tempat."Ya udah, kita berangkat sekarang aja yuk, Kak. Nanti kamu kesiangan." Rissa berujar sembari memasang seatbelt."Hari ini aku mau ke kantor Arctic, Ri
**"Kak Rissa?" Dan seperti halnya dua yang lain, Aneska pun terlihat terkejut melihat Carissa yang baru masuk ke dalam toilet. Pandangan mata perempuan itu berpindah dari kakak sepupunya ke satu yang lain.Sementara itu wajah Savina tampak pucat pasi bagai mayat. Perempuan itu menelan saliva berkali-kali. Pandangan matanya terlihat bergetar dan tidak sabar."Aneska apa kabar? Kamu ngapain di sini? Kok sendirian aja, anak kamu mana?" Rissa bertanya dengan ceria, ia menghampiri adik sepupunya itu dan menyambutnya seperti sahabat lama. Setelah segalanya sudah selesai, Carissa tidak lagi mengingat apa yang Aneska pernah lakukan padanya dahulu. Lagi pun, sekarang Rissa pikir Anes sudah bahagia bersama Radit."Aku? Aku tadi lagi makan siang sama temen, Kak. Anak aku sama baby sitter dia di rumah. Kan aku harus kerja. Oh, wah! Perut kamu udah gede begini. Berapa bulan usianya?" Aneska menempelkan telapak tangannya, menyentuh perut Rissa yang menonjol."Tujuh bulan, Nes. Hampir delapan," ja
**"Apa-apaan ini?"Tamara menatap dengan alis berkerut kepada layar ponselnya. Kepada video yang baru saja dikirimkan oleh Savina. Belum sempat gadis itu mengetikkan balasan, sudah lebih dulu datang pesan baru.Ini bagus kan, buat manas-manasin Pak Gara? Kalo nggak ditransfer sepuluh juta buat saya jajan, saya bilang sama Pak Gara kalo ini video rekayasa."Dasar perempuan matre!" Tamara menggerutu kesal. Ia nyaris melemparkan ponselnya, tapi ingat bahwa belum genap dua puluh empat jam ia membeli benda itu. Sebelumnya kan ia membanting ponselnya sampai retak. Tamara sudah buang yang lama."Oh, tapi ini bagus juga, sih. Pinter juga Savina." Detik berikutnya, Tamara terkikik keras saat melihat ulang video itu. "Bego banget lagian Carissa. Bisa-bisanya diem aja Abian pegang-pegang perutnya gitu. Emang ya, kalo dari awal udah jalang, ya udah, jalang aja."Tamara menyeringai lebar. Seperti yang dikatakan Savina, video itu bagus sekali untuk menaikkan kadar emosi seorang Sagara. Maka Tamara
**"Sagara nggak jemput?" Yasmin bertanya dengan curiga saat Carissa pamit akan pulang saja. Hari sudah hampir gelap sekarang, tapi sulung Aditama itu belum tampak kembali dari kantor."Akhir-akhir ini banyak kerjaan, Mami," jawab Rissa dengan suara parau."Kamu kenapa lagi, Ris? Baik-baik aja, kan?""Rissa baik, Mam. Cuma agak ngantuk aja." Carissa berusaha tersenyum. Ia tak ingin sang Mami turut mengetahui masalah rumah tangganya yang akhir-akhir ini agak terlalu sering terjadi. "Makanya Rissa mending pulang sekarang aja. Biar dijemput sama driver.""Ya, terserahlah kalau begitu. Istirahat sana, jangan mampir ke mana-mana dan langsung pulang aja.""Baik, Mami. Rissa ke depan, ya."Yasmin mengawasi punggung sang menantu yang menghilang di balik pintu ruangannya. Ingin rasanya Yasmin tetap menahan perempuan itu di tempat sebab tidak senang dengan penampakan asisten rumah tangga yang tidak meyakinkan itu. Tapi mana bisa begitu.Nah, ketika Rissa sampai di lobby butik dan hendak menelep
**Berapa banyak Sagara sudah menenggak minuman sesat itu?Ia tidak ingat. Yang ia ingat, ia terus menerus mengisi gelasnya. Terus menambah kumpulan botol-botol kosong di atas meja. Sagara merasa benci sekali kepada dirinya sendiri, namun tidak bisa menghentikannya dalam waktu yang bersamaan."Rissa ...." rintihnya dengan menahan rasa pening pada kepala. Matanya memejam, ia paksa untuk membuka pun tidak sanggup. "Aku harus pulang. Nanti Rissa khawatir sama aku kalo aku nggak pulang. Kasihan, istriku lagi hamil."Sagara meraba-raba kepada apapun yang masih tampak oleh penglihatannya. Meski sebenarnya tak ada yang tampak jelas. Segalanya terlihat remang-remang."Ke mana kunci mobil aku? Aku mau pulang. Gimana mau pulang kalo kunci mobilnya nggak ada?"Pria rupawan itu masih meraba-raba ketika suara bel seperti mendengung dari kejauhan. Ia menyipitkan matanya yang sudah tak bisa dibuka lebar. Menoleh ke arah pintu yang bergeming namun suara dentangnya tidak berhenti."Siapa?" racaunya ke
**"Maaf, Ibu Rissa, tapi kenapa sama Pak Gara?" Driver yang sedang mengemudi itu tidak tahan untuk tidak bertanya. Melihat sekilas melalui kaca spion, bagaimana wajah Rissa yang sangat kacau."Saya nggak tau," gumam Rissa pelan. "Tapi perasaan saya nggak enak, Pak.Ah, hanya perasaan saja? Pria separuh baya itu bergumam dalam hati. Ia menghela napas tanpa terlihat. Dipikirnya ada apa sampai nyonya rumahnya terburu-buru minta diantar selarut ini. Ternyata hanya karena perasaan yang tidak enak."Ibu Rissa tahu kalau Pak Gara sedang ada di apartemen, kah?"Menggeleng lunglai. Ya, Rissa tidak tahu pasti. Tapi entah mengapa tempat pertama yang muncul dalam benaknya, hanya apartemen itu."Semoga hanya perasaan saja ya, Bu." Lelaki itu berkata, separuh bermaksud menyindir. Namun benak Carissa terlalu cemas untuk menanggapi dengan cepat."Perasaan saya jarang keliru," tutur Carissa setelahnya. "Tapi iya, semoga ini cuma perasaan."Oleh sebab hari telah larut malam dan jalanan tak lagi ramai,
**"Kita pulang sekarang!""Ta-tapi, gimana sama Pak Gara, Bu? Masa ditinggal begitu saja? Kelihatannya Pak Gara nggak akan bangun sampai besok pagi.""Ini sudah pagi," ralat Carissa sembari mengedikkan dagu kepada jam besar di sudut ruangan. Membuat pria driver itu terkejut sendiri sebab baru menyadari bahwa saat ini, sudah pukul satu dini hari."Biarkan saja," lanjut Rissa. Ia bergegas melangkah menuju pintu, menahan rasa nyeri di sepanjang tulang belakangnya. "Kita pulang, Pak. Biar dia di sini. Terserah dia mau apa. Terserah dia mau bagaimana."Perempuan itu sudah melangkah ke ambang pintu, sehingga mau tak mau si supir pun mengikuti. Tak ada pilihan lain, karena menurutnya Carissa lebih urgent daripada si tuan muda yang masih terkapar akibat efek alkohol."Bu, gimana kalau Nona Tamara nanti datang lagi?""Saya nggak peduli."Menakutkan. Pria separuh baya itu menelan saliva. Sepanjang mengenal Carissa Airin sebagai nyonya Sagara selama kurang lebih dua tahun ini, tak sekalipun ia
**Sagara memijit tengkuknya yang terasa sangat kaku. Ia menggeser posisi menjadi duduk. Bersandar pada punggung sofa, dan diam di sana selama bermenit-menit selanjutnya."Ada apa, ya?" gumamnya parau. Beralih memandang jendela apartemen yang mana garis-garis sinar terang sedang berusaha menyeruak menembus lapisan gordennya. Ia coba memutar ingatan kepada waktu terakhir kali yang ia bisa ingat."Ah, sial. Aku nggak ingat apa-apa." Pria itu bangkit, melangkah menuju dispenser untuk mengambil air minum. Selepas menelan beberapa teguk, ia bergerak ke arah jendela dan menarik gorden hingga kaca transparan selebar dinding itu tampak. "Udah siang begini. Aku ketiduran berapa lama?"Memandang sekitar dengan keadaan masih linglung, Gara mendapati botol-botol kaca bekas minuman keras yang berjatuhan di atas lantai. Ia mengernyit sebab pemandangan itu terasa aneh. "Kayaknya meski lagi mabuk berat, aku nggak pernah berantakin rumah kayak begitu, deh."Ia melangkah untuk memungut botol-botol itu