**Berapa banyak Sagara sudah menenggak minuman sesat itu?Ia tidak ingat. Yang ia ingat, ia terus menerus mengisi gelasnya. Terus menambah kumpulan botol-botol kosong di atas meja. Sagara merasa benci sekali kepada dirinya sendiri, namun tidak bisa menghentikannya dalam waktu yang bersamaan."Rissa ...." rintihnya dengan menahan rasa pening pada kepala. Matanya memejam, ia paksa untuk membuka pun tidak sanggup. "Aku harus pulang. Nanti Rissa khawatir sama aku kalo aku nggak pulang. Kasihan, istriku lagi hamil."Sagara meraba-raba kepada apapun yang masih tampak oleh penglihatannya. Meski sebenarnya tak ada yang tampak jelas. Segalanya terlihat remang-remang."Ke mana kunci mobil aku? Aku mau pulang. Gimana mau pulang kalo kunci mobilnya nggak ada?"Pria rupawan itu masih meraba-raba ketika suara bel seperti mendengung dari kejauhan. Ia menyipitkan matanya yang sudah tak bisa dibuka lebar. Menoleh ke arah pintu yang bergeming namun suara dentangnya tidak berhenti."Siapa?" racaunya ke
**"Maaf, Ibu Rissa, tapi kenapa sama Pak Gara?" Driver yang sedang mengemudi itu tidak tahan untuk tidak bertanya. Melihat sekilas melalui kaca spion, bagaimana wajah Rissa yang sangat kacau."Saya nggak tau," gumam Rissa pelan. "Tapi perasaan saya nggak enak, Pak.Ah, hanya perasaan saja? Pria separuh baya itu bergumam dalam hati. Ia menghela napas tanpa terlihat. Dipikirnya ada apa sampai nyonya rumahnya terburu-buru minta diantar selarut ini. Ternyata hanya karena perasaan yang tidak enak."Ibu Rissa tahu kalau Pak Gara sedang ada di apartemen, kah?"Menggeleng lunglai. Ya, Rissa tidak tahu pasti. Tapi entah mengapa tempat pertama yang muncul dalam benaknya, hanya apartemen itu."Semoga hanya perasaan saja ya, Bu." Lelaki itu berkata, separuh bermaksud menyindir. Namun benak Carissa terlalu cemas untuk menanggapi dengan cepat."Perasaan saya jarang keliru," tutur Carissa setelahnya. "Tapi iya, semoga ini cuma perasaan."Oleh sebab hari telah larut malam dan jalanan tak lagi ramai,
**"Kita pulang sekarang!""Ta-tapi, gimana sama Pak Gara, Bu? Masa ditinggal begitu saja? Kelihatannya Pak Gara nggak akan bangun sampai besok pagi.""Ini sudah pagi," ralat Carissa sembari mengedikkan dagu kepada jam besar di sudut ruangan. Membuat pria driver itu terkejut sendiri sebab baru menyadari bahwa saat ini, sudah pukul satu dini hari."Biarkan saja," lanjut Rissa. Ia bergegas melangkah menuju pintu, menahan rasa nyeri di sepanjang tulang belakangnya. "Kita pulang, Pak. Biar dia di sini. Terserah dia mau apa. Terserah dia mau bagaimana."Perempuan itu sudah melangkah ke ambang pintu, sehingga mau tak mau si supir pun mengikuti. Tak ada pilihan lain, karena menurutnya Carissa lebih urgent daripada si tuan muda yang masih terkapar akibat efek alkohol."Bu, gimana kalau Nona Tamara nanti datang lagi?""Saya nggak peduli."Menakutkan. Pria separuh baya itu menelan saliva. Sepanjang mengenal Carissa Airin sebagai nyonya Sagara selama kurang lebih dua tahun ini, tak sekalipun ia
**Sagara memijit tengkuknya yang terasa sangat kaku. Ia menggeser posisi menjadi duduk. Bersandar pada punggung sofa, dan diam di sana selama bermenit-menit selanjutnya."Ada apa, ya?" gumamnya parau. Beralih memandang jendela apartemen yang mana garis-garis sinar terang sedang berusaha menyeruak menembus lapisan gordennya. Ia coba memutar ingatan kepada waktu terakhir kali yang ia bisa ingat."Ah, sial. Aku nggak ingat apa-apa." Pria itu bangkit, melangkah menuju dispenser untuk mengambil air minum. Selepas menelan beberapa teguk, ia bergerak ke arah jendela dan menarik gorden hingga kaca transparan selebar dinding itu tampak. "Udah siang begini. Aku ketiduran berapa lama?"Memandang sekitar dengan keadaan masih linglung, Gara mendapati botol-botol kaca bekas minuman keras yang berjatuhan di atas lantai. Ia mengernyit sebab pemandangan itu terasa aneh. "Kayaknya meski lagi mabuk berat, aku nggak pernah berantakin rumah kayak begitu, deh."Ia melangkah untuk memungut botol-botol itu
**Sagara terpana. Ia membatu di ambang pintu dengan wajah kosong. Sama sekali tidak mengerti, mengapa ibunya malah berkata seperti itu, padahal ia sedang benar-benar panik."Mami?""Apa, Mami-Mami?""Mami kok malah ngomongin Gara begitu? Ris-Rissa, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?"Dan perempuan itu memalingkan muka. Membuat Gara kembali merasa seperti diguyur rasa bersalah sebesar gunung. Ia terbelalak tak percaya. Matanya menatap nanar kepada selang infus yang menancap di punggung tangan sang istri."Rissa, kamu nggak apa-apa?""Apa menurutmu yang begitu itu bisa dibilang nggak apa-apa?" Yasmin menyahut dengan sengit. "Istrimu nggak akan berada di sini kalau dia baik-baik saja, Tuan Sagara Aditama yang terhormat. Begitu saja, masih perlu konfirmasi juga, kau?"Gara menggaruk tengkuk karena salah tingkah. Berada di hadapan dua wanita ini, dalam suasana seperti ini, sungguh membuat harga dirinya sebagai Tuan muda CEO yang dingin tak tersentuh lenyap seperti asap. Ia bergerak sal
**"Aw! Sialan, ini sakit banget!""Ya, kamu jangan gerak-gerak terus makanya, Tam!""Maksudmu aku harus diam seperti patung sampai keluar dari sini, begitu ha?"Aldric mendesis. Ia urung mengoleskan salep pereda nyeri ke permukaan kulit mulus Tamara yang memar di banyak bagian. Rewel sekali gadis ini. Diobati mengeluh, tidak diobati semakin mengeluh."Tahan sebentar, biar cepet sembuh. Kalau kamu nggak mau diobati, ya kapan sembuhnya?""Kan sudah diinfus?""Infus nggak nyembuhin luka-luka kamu, Tam. Kamu diinfus karena dari kemarin nolak makan atau minum apapun." Lagi, Aldric mendesah lelah. Ia menatap gadis secantik dewi yang sedang cemberut itu. Ada banyak luka kecil pula di beberapa bagian wajahnya. Sepertinya bekas cakaran atau semacam itu."Ini kalo bekasnya nggak bisa hilang gimana?" keluh Tamara seraya mematai penampakan wajahnya melalui cermin tangan. "Si sialan itu cakar aku di mana-mana. Di wajah aku. Bener-bener nggak bisa dimaafin!""Nanti aku anterin ketemu sama dokter b
**"Mami, Mami nggak perlu ikut anterin Rissa pulang, kok. Kan udah ada aku.""Mami nggak percaya sama kamu!"Gara terdiam seketika. Jika ibunya sudah dalam mode seperti itu, maka ia tak akan berani menyuarakan lebih banyak protes. Tak ada yang bisa ia lakukan ketika Yasmin menunjuk tas kecil berisi baju ganti menantunya kepada seorang laki-laki bodyguard."Mam, Rissa bisa jalan, kok. Kaki Rissa nggak apa-apa, nggak perlu pakai kursi roda segala." Kali ini, giliran Carissa yang protes. Ia dengan tidak nyaman memandangi kursi roda yang saat itu menopang tubuhnya."Nggak usah cerewet," sahut Yasmin galak. Ia menunjuk kepada bodyguard-nya yang satu lagi. "Dorong kursi rodanya, bawa Rissa ke mobilku aja.""Mam, aku juga bawa mobil, loh.""Mami udah bilang nggak percaya sama kamu, Gar."Maka, dengan rasa tidak berguna sama sekali, Sagara berjalan dengan langkah gontai mengikuti sang Mami dengan dua bodyguard. Satu membawa tas, dan satu mendorong kursi roda sang istri. Tidak berkutik sudah
**"Aku nggak mau di rumah sendirian, Al!"Mercedes Benz milik Aldric sudah terparkir di teras depan lounge mansion mewah milik keluarga Tamara. Ah, benar. Bangunan itu memang lebih mirip dengan hotel berbintang daripada tempat tinggal biasa."Di rumah sendirian? Kan kamu punya satu juta maid di dalam sini. Bisa-bisanya ngomong tinggal sendirian."Tamara mencebik. "Susah ya, ngomong sama kamu. Pokoknya aku nggak mau masuk! Orangtuaku masih di Dubai, aku males di rumah sendirian.""Ya, terus maumu gimana? Tadi di rumah sakit kamu udah nggak sabar pengen cepet-cepet pulang, kan? Sekarang udah di sini, malah nggak mau masuk. Don't talk nonsense! ""Ya udah kalo kamu maksa, kamu aja sendiri yang masuk, terus aku bawa mobil kamu pergi. Aku nggak mau!""Apa-apaan, sih?"Oh, Tuhan. Aldric tidak tahu bahwa pada akhirnya, Tamara yang baru saja ia kenal itu akan menjadi manusia paling merepotkan dalam hidupnya. Pada awalnya, Aldric hanya penasaran dengan gadis cantik pengemudi Ferrari merah yan