**Sagara terpana. Ia membatu di ambang pintu dengan wajah kosong. Sama sekali tidak mengerti, mengapa ibunya malah berkata seperti itu, padahal ia sedang benar-benar panik."Mami?""Apa, Mami-Mami?""Mami kok malah ngomongin Gara begitu? Ris-Rissa, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?"Dan perempuan itu memalingkan muka. Membuat Gara kembali merasa seperti diguyur rasa bersalah sebesar gunung. Ia terbelalak tak percaya. Matanya menatap nanar kepada selang infus yang menancap di punggung tangan sang istri."Rissa, kamu nggak apa-apa?""Apa menurutmu yang begitu itu bisa dibilang nggak apa-apa?" Yasmin menyahut dengan sengit. "Istrimu nggak akan berada di sini kalau dia baik-baik saja, Tuan Sagara Aditama yang terhormat. Begitu saja, masih perlu konfirmasi juga, kau?"Gara menggaruk tengkuk karena salah tingkah. Berada di hadapan dua wanita ini, dalam suasana seperti ini, sungguh membuat harga dirinya sebagai Tuan muda CEO yang dingin tak tersentuh lenyap seperti asap. Ia bergerak sal
**"Aw! Sialan, ini sakit banget!""Ya, kamu jangan gerak-gerak terus makanya, Tam!""Maksudmu aku harus diam seperti patung sampai keluar dari sini, begitu ha?"Aldric mendesis. Ia urung mengoleskan salep pereda nyeri ke permukaan kulit mulus Tamara yang memar di banyak bagian. Rewel sekali gadis ini. Diobati mengeluh, tidak diobati semakin mengeluh."Tahan sebentar, biar cepet sembuh. Kalau kamu nggak mau diobati, ya kapan sembuhnya?""Kan sudah diinfus?""Infus nggak nyembuhin luka-luka kamu, Tam. Kamu diinfus karena dari kemarin nolak makan atau minum apapun." Lagi, Aldric mendesah lelah. Ia menatap gadis secantik dewi yang sedang cemberut itu. Ada banyak luka kecil pula di beberapa bagian wajahnya. Sepertinya bekas cakaran atau semacam itu."Ini kalo bekasnya nggak bisa hilang gimana?" keluh Tamara seraya mematai penampakan wajahnya melalui cermin tangan. "Si sialan itu cakar aku di mana-mana. Di wajah aku. Bener-bener nggak bisa dimaafin!""Nanti aku anterin ketemu sama dokter b
**"Mami, Mami nggak perlu ikut anterin Rissa pulang, kok. Kan udah ada aku.""Mami nggak percaya sama kamu!"Gara terdiam seketika. Jika ibunya sudah dalam mode seperti itu, maka ia tak akan berani menyuarakan lebih banyak protes. Tak ada yang bisa ia lakukan ketika Yasmin menunjuk tas kecil berisi baju ganti menantunya kepada seorang laki-laki bodyguard."Mam, Rissa bisa jalan, kok. Kaki Rissa nggak apa-apa, nggak perlu pakai kursi roda segala." Kali ini, giliran Carissa yang protes. Ia dengan tidak nyaman memandangi kursi roda yang saat itu menopang tubuhnya."Nggak usah cerewet," sahut Yasmin galak. Ia menunjuk kepada bodyguard-nya yang satu lagi. "Dorong kursi rodanya, bawa Rissa ke mobilku aja.""Mam, aku juga bawa mobil, loh.""Mami udah bilang nggak percaya sama kamu, Gar."Maka, dengan rasa tidak berguna sama sekali, Sagara berjalan dengan langkah gontai mengikuti sang Mami dengan dua bodyguard. Satu membawa tas, dan satu mendorong kursi roda sang istri. Tidak berkutik sudah
**"Aku nggak mau di rumah sendirian, Al!"Mercedes Benz milik Aldric sudah terparkir di teras depan lounge mansion mewah milik keluarga Tamara. Ah, benar. Bangunan itu memang lebih mirip dengan hotel berbintang daripada tempat tinggal biasa."Di rumah sendirian? Kan kamu punya satu juta maid di dalam sini. Bisa-bisanya ngomong tinggal sendirian."Tamara mencebik. "Susah ya, ngomong sama kamu. Pokoknya aku nggak mau masuk! Orangtuaku masih di Dubai, aku males di rumah sendirian.""Ya, terus maumu gimana? Tadi di rumah sakit kamu udah nggak sabar pengen cepet-cepet pulang, kan? Sekarang udah di sini, malah nggak mau masuk. Don't talk nonsense! ""Ya udah kalo kamu maksa, kamu aja sendiri yang masuk, terus aku bawa mobil kamu pergi. Aku nggak mau!""Apa-apaan, sih?"Oh, Tuhan. Aldric tidak tahu bahwa pada akhirnya, Tamara yang baru saja ia kenal itu akan menjadi manusia paling merepotkan dalam hidupnya. Pada awalnya, Aldric hanya penasaran dengan gadis cantik pengemudi Ferrari merah yan
**Beberapa hari berlalu sejak Carissa pulang dari rumah sakit. Keadaannya baik sekarang. Sangat baik, malah. Dan itu justru membuat Savina kian risau, sebab ia belum bisa melakukan apapun untuk menjegal nyonya mudanya seperti perintah Tamara dan Aldric."Nona, makan siangnya sudah diantar." Perempuan tiga puluh enam tahun itu memberi tahu Carissa yang seperti kesukaannya, sedang membaca buku di ayunan halaman belakang. "Nona mau makan sekarang atau nanti aja?""Bawa ke sini aja, Mbak. Aku emang udah laper, sih. Beberapa hari terakhir ini, aku gampang banget laper.""Itu karena si kecil di sana sudah semakin besar," timpal Savina, membuat Rissa tersenyum sembari mengelus perutnya yang terlihat sangat membuncit sekarang."Ah, iya. Kamu bener. Hari-hari ini, dia udah masuk usia delapan bulan. Nggak sabar banget rasanya pengen ketemu sama dia."Savina mengerling pemandangan itu dari ujung mata. Segera. Ia membatin. Akan aku buat kamu menemui bayimu segera. Tapi tidak janji dalam keadaan
**'Nona Rissa ingin belanja sama Ibu. Tapi katanya malu mau bilangnya.'Yasmin mengerutkan dahi saat menatap sebaris kalimat virtual dalam layar ponselnya itu. Heran, sebab yang pertama, ia tidak mengenal nomor ini. Yang kedua, mengapa Carissa tidak mengatakan langsung apa yang ia inginkan? Malu, eh? Tak masuk akal, tapi juga masuk akal."Tapi kenapa harus ngomongnya sama orang lain, bukannya aku sendiri? Apa-apaan sih ini anak?" Yasmin menggerutu pelan. Ia berseru memanggil asisten pribadinya, kemudian."Ya, Ibu? Ada yang anda perlukan?" Gadis cantik yang menjabat asisten segala macam urusan itu bertanya dengan penuh senyuman."Apa jadwalku setelah ini?"Gadis itu lantas memeriksa tablet yang dibawanya. Menggulir benda pipih berwarna silver untuk memeriksa apa yang ditanyakan si bos besar. Ah, wanita itu sedang berada di kantor sang putra, omong-omong. Kantor Mellifluous."Kunjungan ke pabrik supplyer, Bu. Tapi belum dikonfirmasi sama pihak pabrik. Jadi kalau–""Batalkan. Aku ada ur
**“Sorry, kamu pulang aja, sana. Aku lagi nggak open house!”“Sagara, kamu apa-apaan, sih?” Tamara terbelalak, betapa buruk sambutan yang ia dapatkan dari laki-laki pujaan hatinya itu. Padahal asal tahu saja, ia sudah berdandan bak seorang dewi kali ini. Yeah, sebenarnya Tamara selalu berdandan cantik ketika akan menemui Gara, hanya saja lelaki itu tak pernah memperhatikan. “Gar, aku udah jauh-jauh dateng ke sini, tau!”“Siapa yang suruh, ha? Lagian kamu mau apa ke sini, sih? Nggak ada kepentingan, pun. Nggak ada kerjaan lain apa gimana?”“Aku mau ketemu kamu!”“Aku nggak mau ketemu kamu! Sana, pulang!”Pria itu sudah nyaris menutup pintu dan mengusir pergi Tamara dari ruang tamunya, sebelum kemudian Savina datang dari arah dalam. Berpura-pura terkejut dengan kedatangan si nona yang masih berdiri di ambang pintu, tidak dipersilakan masuk oleh tuan rumahnya.“Nona Tamara? Ah, ada perlu apa? Tumben sekali datang ke sini?” Perempuan itu menyapa dengan kadar keramahan yang agak mencuriga
**"Kenapa rasanya panas sekali?"Gara bangun dari posisi tidurannya. Ia mengusap tengkuk dengan telapak tangan. Ada yang tidak beres dengan tubuhnya, ia tahu benar."Aku sama sekali nggak minum alkohol hari ini. Bahkan udah berhari-hari nggak minum. Tapi kenapa badanku panas semua kayak habis minum?"Tak habis pikir, Sagara melangkah melintasi kamarnya, menuju wardrobe room di sisi lain ruangan. Pria itu mengganti celana bahan dan kaus lengan panjang yang ia kenakan dengan sleveeless shirt serta celana pendek. Hari bahkan sudah merangkak menuju senja, tapi outfit Gara sudah seperti hendak olahraga pagi saja."Sialan, ini kenapa, sih? Kenapa semakin panas? Masa AC ruangannya rusak?" Ia mengecek remote AC, memeriksanya berkali-kali. Bahkan suhu dalam ruangan itu berkisar antara dua puluh empat derajat, yang berarti sudah cukup dingin.Keringat mulai menetes di belakang tengkuk saat Gara merasa semakin aneh dan tidak nyaman. Biasanya, ia hanya akan begini ketika istrinya ada di dekatnya