**"Apa-apaan ini?"Tamara menatap dengan alis berkerut kepada layar ponselnya. Kepada video yang baru saja dikirimkan oleh Savina. Belum sempat gadis itu mengetikkan balasan, sudah lebih dulu datang pesan baru.Ini bagus kan, buat manas-manasin Pak Gara? Kalo nggak ditransfer sepuluh juta buat saya jajan, saya bilang sama Pak Gara kalo ini video rekayasa."Dasar perempuan matre!" Tamara menggerutu kesal. Ia nyaris melemparkan ponselnya, tapi ingat bahwa belum genap dua puluh empat jam ia membeli benda itu. Sebelumnya kan ia membanting ponselnya sampai retak. Tamara sudah buang yang lama."Oh, tapi ini bagus juga, sih. Pinter juga Savina." Detik berikutnya, Tamara terkikik keras saat melihat ulang video itu. "Bego banget lagian Carissa. Bisa-bisanya diem aja Abian pegang-pegang perutnya gitu. Emang ya, kalo dari awal udah jalang, ya udah, jalang aja."Tamara menyeringai lebar. Seperti yang dikatakan Savina, video itu bagus sekali untuk menaikkan kadar emosi seorang Sagara. Maka Tamara
**"Sagara nggak jemput?" Yasmin bertanya dengan curiga saat Carissa pamit akan pulang saja. Hari sudah hampir gelap sekarang, tapi sulung Aditama itu belum tampak kembali dari kantor."Akhir-akhir ini banyak kerjaan, Mami," jawab Rissa dengan suara parau."Kamu kenapa lagi, Ris? Baik-baik aja, kan?""Rissa baik, Mam. Cuma agak ngantuk aja." Carissa berusaha tersenyum. Ia tak ingin sang Mami turut mengetahui masalah rumah tangganya yang akhir-akhir ini agak terlalu sering terjadi. "Makanya Rissa mending pulang sekarang aja. Biar dijemput sama driver.""Ya, terserahlah kalau begitu. Istirahat sana, jangan mampir ke mana-mana dan langsung pulang aja.""Baik, Mami. Rissa ke depan, ya."Yasmin mengawasi punggung sang menantu yang menghilang di balik pintu ruangannya. Ingin rasanya Yasmin tetap menahan perempuan itu di tempat sebab tidak senang dengan penampakan asisten rumah tangga yang tidak meyakinkan itu. Tapi mana bisa begitu.Nah, ketika Rissa sampai di lobby butik dan hendak menelep
**Berapa banyak Sagara sudah menenggak minuman sesat itu?Ia tidak ingat. Yang ia ingat, ia terus menerus mengisi gelasnya. Terus menambah kumpulan botol-botol kosong di atas meja. Sagara merasa benci sekali kepada dirinya sendiri, namun tidak bisa menghentikannya dalam waktu yang bersamaan."Rissa ...." rintihnya dengan menahan rasa pening pada kepala. Matanya memejam, ia paksa untuk membuka pun tidak sanggup. "Aku harus pulang. Nanti Rissa khawatir sama aku kalo aku nggak pulang. Kasihan, istriku lagi hamil."Sagara meraba-raba kepada apapun yang masih tampak oleh penglihatannya. Meski sebenarnya tak ada yang tampak jelas. Segalanya terlihat remang-remang."Ke mana kunci mobil aku? Aku mau pulang. Gimana mau pulang kalo kunci mobilnya nggak ada?"Pria rupawan itu masih meraba-raba ketika suara bel seperti mendengung dari kejauhan. Ia menyipitkan matanya yang sudah tak bisa dibuka lebar. Menoleh ke arah pintu yang bergeming namun suara dentangnya tidak berhenti."Siapa?" racaunya ke
**"Maaf, Ibu Rissa, tapi kenapa sama Pak Gara?" Driver yang sedang mengemudi itu tidak tahan untuk tidak bertanya. Melihat sekilas melalui kaca spion, bagaimana wajah Rissa yang sangat kacau."Saya nggak tau," gumam Rissa pelan. "Tapi perasaan saya nggak enak, Pak.Ah, hanya perasaan saja? Pria separuh baya itu bergumam dalam hati. Ia menghela napas tanpa terlihat. Dipikirnya ada apa sampai nyonya rumahnya terburu-buru minta diantar selarut ini. Ternyata hanya karena perasaan yang tidak enak."Ibu Rissa tahu kalau Pak Gara sedang ada di apartemen, kah?"Menggeleng lunglai. Ya, Rissa tidak tahu pasti. Tapi entah mengapa tempat pertama yang muncul dalam benaknya, hanya apartemen itu."Semoga hanya perasaan saja ya, Bu." Lelaki itu berkata, separuh bermaksud menyindir. Namun benak Carissa terlalu cemas untuk menanggapi dengan cepat."Perasaan saya jarang keliru," tutur Carissa setelahnya. "Tapi iya, semoga ini cuma perasaan."Oleh sebab hari telah larut malam dan jalanan tak lagi ramai,
**"Kita pulang sekarang!""Ta-tapi, gimana sama Pak Gara, Bu? Masa ditinggal begitu saja? Kelihatannya Pak Gara nggak akan bangun sampai besok pagi.""Ini sudah pagi," ralat Carissa sembari mengedikkan dagu kepada jam besar di sudut ruangan. Membuat pria driver itu terkejut sendiri sebab baru menyadari bahwa saat ini, sudah pukul satu dini hari."Biarkan saja," lanjut Rissa. Ia bergegas melangkah menuju pintu, menahan rasa nyeri di sepanjang tulang belakangnya. "Kita pulang, Pak. Biar dia di sini. Terserah dia mau apa. Terserah dia mau bagaimana."Perempuan itu sudah melangkah ke ambang pintu, sehingga mau tak mau si supir pun mengikuti. Tak ada pilihan lain, karena menurutnya Carissa lebih urgent daripada si tuan muda yang masih terkapar akibat efek alkohol."Bu, gimana kalau Nona Tamara nanti datang lagi?""Saya nggak peduli."Menakutkan. Pria separuh baya itu menelan saliva. Sepanjang mengenal Carissa Airin sebagai nyonya Sagara selama kurang lebih dua tahun ini, tak sekalipun ia
**Sagara memijit tengkuknya yang terasa sangat kaku. Ia menggeser posisi menjadi duduk. Bersandar pada punggung sofa, dan diam di sana selama bermenit-menit selanjutnya."Ada apa, ya?" gumamnya parau. Beralih memandang jendela apartemen yang mana garis-garis sinar terang sedang berusaha menyeruak menembus lapisan gordennya. Ia coba memutar ingatan kepada waktu terakhir kali yang ia bisa ingat."Ah, sial. Aku nggak ingat apa-apa." Pria itu bangkit, melangkah menuju dispenser untuk mengambil air minum. Selepas menelan beberapa teguk, ia bergerak ke arah jendela dan menarik gorden hingga kaca transparan selebar dinding itu tampak. "Udah siang begini. Aku ketiduran berapa lama?"Memandang sekitar dengan keadaan masih linglung, Gara mendapati botol-botol kaca bekas minuman keras yang berjatuhan di atas lantai. Ia mengernyit sebab pemandangan itu terasa aneh. "Kayaknya meski lagi mabuk berat, aku nggak pernah berantakin rumah kayak begitu, deh."Ia melangkah untuk memungut botol-botol itu
**Sagara terpana. Ia membatu di ambang pintu dengan wajah kosong. Sama sekali tidak mengerti, mengapa ibunya malah berkata seperti itu, padahal ia sedang benar-benar panik."Mami?""Apa, Mami-Mami?""Mami kok malah ngomongin Gara begitu? Ris-Rissa, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?"Dan perempuan itu memalingkan muka. Membuat Gara kembali merasa seperti diguyur rasa bersalah sebesar gunung. Ia terbelalak tak percaya. Matanya menatap nanar kepada selang infus yang menancap di punggung tangan sang istri."Rissa, kamu nggak apa-apa?""Apa menurutmu yang begitu itu bisa dibilang nggak apa-apa?" Yasmin menyahut dengan sengit. "Istrimu nggak akan berada di sini kalau dia baik-baik saja, Tuan Sagara Aditama yang terhormat. Begitu saja, masih perlu konfirmasi juga, kau?"Gara menggaruk tengkuk karena salah tingkah. Berada di hadapan dua wanita ini, dalam suasana seperti ini, sungguh membuat harga dirinya sebagai Tuan muda CEO yang dingin tak tersentuh lenyap seperti asap. Ia bergerak sal
**"Aw! Sialan, ini sakit banget!""Ya, kamu jangan gerak-gerak terus makanya, Tam!""Maksudmu aku harus diam seperti patung sampai keluar dari sini, begitu ha?"Aldric mendesis. Ia urung mengoleskan salep pereda nyeri ke permukaan kulit mulus Tamara yang memar di banyak bagian. Rewel sekali gadis ini. Diobati mengeluh, tidak diobati semakin mengeluh."Tahan sebentar, biar cepet sembuh. Kalau kamu nggak mau diobati, ya kapan sembuhnya?""Kan sudah diinfus?""Infus nggak nyembuhin luka-luka kamu, Tam. Kamu diinfus karena dari kemarin nolak makan atau minum apapun." Lagi, Aldric mendesah lelah. Ia menatap gadis secantik dewi yang sedang cemberut itu. Ada banyak luka kecil pula di beberapa bagian wajahnya. Sepertinya bekas cakaran atau semacam itu."Ini kalo bekasnya nggak bisa hilang gimana?" keluh Tamara seraya mematai penampakan wajahnya melalui cermin tangan. "Si sialan itu cakar aku di mana-mana. Di wajah aku. Bener-bener nggak bisa dimaafin!""Nanti aku anterin ketemu sama dokter b
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh