Pernahkah terpikirkan oleh seorang pria untuk menikahi seorang gadis yang menderita skizofrenia (ganguan jiwa)? Kisah ini becerita tentang seorang gadis bernama Zara yang kehilangan keperawanan dan semua anggota keluarganya, karena sebuah tragedi. Kepedihan hidup membuat Zara menderita skizofrenia (gangguan jiwa). Akan tetapi cinta pertamanya, Arlan memutuskan tetap untuk menikahinya. Pernikahan tidaklah mudah bagi Arlan ia harus merawat Zara dengan segala permasalahannya dan menjaga kesetian cinta ketika orang ketiga mulai masuk ke dalam rumah tangga mereka.
View Moreā¤Ketika sudut dunian pun tidak ada untuku, kau datang meraih tanganku dengan sebuah ketulusan yang tidak dapat aku pahamiā¤
Arlan Turun dengan senyum merengkah sempurna, Ia tampak gagah dengan penampilan casual. Tangannya sibuk menyeret koper dan kakinya yang panjang melangkah dengan santai, setelah menuruni pesawat yang telah melintasi benua Eropa. Setiap mata indah akan melirik ke arahnya, kulit yang dulu sawo matang. Kini terlihat begitu putih, dan kemerahan, setelah sekian lama tinggal di Norwegia untuk menepuh pendidikan tinggi.
Sekilas dengan penampilan yang begitu menawan tak akan ada yang menduga bahwasanya Arlan dulu hanyalah seorang bocah pemimpi yang tinggal di sebuah desa pelosok di pulau jawa. Dengan pendidikan, dan beasiswa, ia mengubah garis tangan hidupnya. Tak ada lagi bocah ingusan yang mencari keong di sawah, ataupun pemuda lusuh yang harus jadi kuli bangunan untuk membiayai uang sekolah. Semua telah berubah baik, penampilan, status sosial, dan pendidikan, tetapi hanya satu hal yang tak berubah, dan tak akan pernah berubah, yaitu kepingan cinta untuk pujaan hatinya. Gadis dengan mata coklat, dan rambut keriting lembut, bernama Zara selalu mengisi hatinya sedari ia masih bocah ingusan, remaja dan sekarang.
Gadis itu masih saja memenuhi hatinya, meskipun tak ada kabar saling menyaut sejak ia menempuh pendidikan di Norwegia, tetapi keyakinan membawa Arlan pulang ke Indonesia untuk meminang gadis pujaanya itu. Tak peduli dengan resiko di tanah air apakah Zara sudah menikah atau Zara tak menerima cintanya.
Arlan cuma memiliki satu keyakinan bahwasanya ia mampu meminang Zara. Binar kebahagian tak dapat disembunyikan oleh Arlan, ia tidak dapat berhenti tersenyum sepanjang perjalanan. Angin perdesaan yang meniup pipi tirusnya melalui jendela bus yang ia naiki, seakan lambaian kehangatan sebuah sambutan kedatangannya kembali ke kampung halaman.
"Assallamulaikum, Pak. Bapak mau roti?" tawar Arlan penuh sopan santun tak lupa budayanya, meskipun telah lama hidup di Negeri orang.
"Tidak usah, Nak. Buat kamu saja, sepertinya kamu habis melewati perjalanan yang sangat jauh," jawab lelaki tua yang duduk di sebelah arlan dengan binar mata penuh keramah tamahan yang dirindukan Arlan.
"Saya punya dua. Satu untuk Bapak satunya lagi buat saya." Arlan memberikan satu dari dua roti yang ia pegang ke pria tua itu sejari tersenyum.
"Terima kasih, Nak!" jawab pria itu yang ditanggapi senyuman hangat Arlan.
"Sepertinya kamu bukan orang kampung sini, Nak. Bapak tidak pernah melihatmu sebelumnya," ucap pria tua itu lagi.
"Saya orang sini, Pak. Kebetulan saya udah lama merantau."
"Rindu kampung halaman, ya. Jadi melepas rindu balik ke sini?" tanya pria tua itu lagi.
"Iya, Pak. Melepas rindu akan kampung halaman dan ingin meminang gadis pujaan hati yang masih berada di kampung ini." Arlan tampak sangat bahagia.
"Kamu pasti sangat mencintainya. Siapa gadis beruntung itu?"
"Tak hanya sangat cinta, tetapi juga sayang, pak. Namanya Zara, gadis penuh kasih sayang dan lemah lembut." tergambar kebahagian tak berbatas saat lidah Arlan menyebut nama gadis beruntung itu.
"Zara?"
"Zara! Tak mungkin Zara itu," Gumam Pria tua itu.
"Bapak kenal, Zara?" tanya Arlan melihat pria tua itu, tiba-tiba bengong ketika mendengar nama Zara.
"Ah, tidak ..."
"Kampung ini cukup luas. Mungkin Zara yang bapak kenal bukan pujaan hati yang hendak Anak muda tampan ini pinang!" suaranya gugup.
Arlan dan Zara memang satu kampung, tetapi berada di wilayah yang berbeda, tempat tinggal Arlan arah ke pesisir pantai, sedangkan Zara di bawah bukit. di mana banyak berjejeran sawah yang sangat subur. Kini Arlan menuju rumah Zara, ia begitu tak sabar berjumpa dengan pujaan hatinya itu, meskipun ia harus menyeret koper besarnya kemana-mana ia tak peduli.
***
Rumah yang terlihat paling bagus diantara sekelilingnya itu kini telah setengah hancur, cat kuning yang menempel di dinding - dinding, kini telah hitam pekat dan berlumut, setengah atap rumah telah roboh, halaman yang dulu di penuhi ragam bunga, kini ditinggali ilalang yang terus merambat ke bongkahan dinding-dinding yang telah roboh. Tak lupa bekas garis polisi yang telah koyak oleh masa melingkar di sekeliling pagar.
Nanar mata hitam pekat itu pun tak mampu mengalihkan pandanganya, sejari bulir-bulir kristal menetes. Tubuh gagahnya yang tegak, roboh seketika dengan kaki berlutut.
"Apa yang terjadi?" Teriak Arlan tak mempedulikan beberapa warga desa yang lalu - lalang.
Kekasih hati yang hendak ia cari, kini hanya meninggalkan puing-puing bangunan tua penuh tanda tanya. Kemana ia cari jejak langakah pujaan hatinya. Ia telah bertanya ke semua tetangga yang ada di sekitaran rumah, tetapi tak ada yang mau menjawab, semua seolah membisu dan mengabaikan rintihan hatinya. Sepanjang jalan ia bertanya soal Zara dan keluarganya. Semua menjawab dengan exspresi, dan jawaban yang sama.
"Kemana aku harus mencarimu, Zara?"
ucap Arlan pada dirinya sendiri sembari matanya menatap mentari yang begitu terik.
Arlan terus menyeret kopernya sepanjang desa hingga akhirnya, ia bertemu dengan pria tua yang ia jumpai di Bus tadi.
"Nak, Apa kamu yang di bus tadi?" Pria tua itu, menghampiri Arlan yang terlihat begitu lelah menyeret kopernya sepanjang desa.
"Bapak ...!" Arlan tersenyum, berpikir pria tua itu bisa membantunya menemui Zara.
"Kamu sudah menemukan gadis yang hendak kamu pinang itu?" tanya pria tua itu lagi.
"Belum, Pak." Arlan dengan wajah putus asa menyapu keringat yang ada di dahinya.
"Kalau begitu, ayo mampir ke rumah bapak untuk istirahat sejenak, sebelum kamu melanjutkan pecarianmu," tawar pria tua itu, yang tidak ditolak Arlan, karena ia begitu lelah setelah berkeliling mencari Zara.
Di rumah pria tua sebatang kara itu, Arlan didudukan di sebuah ruang tamu yang sangat sederhana, tak lupa ia dihidangkan secangkir teh hangat dan Kue kering di dalam sebuah plastik yang diikat karet gelang.
"Bapak tinggal sendirian?" tanya Arlan melihat tak ada seorang pun di rumah sangat sederhana tapi cukup luas.
"Iya, Nak. Anak bapak satu-satunya telah meninggal disusul pula oleh istri Bapak tahun kemaren." Pak tua itu, menelan salivanya, menahan sedih.
"Yang sabar, Pak. Hidup memang begitu seringkali tak dapat ditebak dan dimengerti. Tugas kita cuma sabar dan ikhlas." Arlan dengan binar mata kesedihan.
"Kalau boleh tau bapak bicara dengan siapa ini. Dari tadi kita ngobrol, tetapi Bapak tidak tau nama, Nak?" pria tua itu menanyakan nama Arlan.
"Maaf, Pak. Kita dari tadi ngobrol, tetapi saya tidak kunjung memperkenalkan diri. Perknalkan nama saya Arlan sujibto."
"Arlan sujibto anaknya Burhan sujibto yang tinggal di desa hilir, temannya nona Zara Adhira?" Pria tua itu, mengejutkan Arlan.
"Ini Pak sholeh. Salah satu pegawai dan tangan kanan Pak Adhi, Papanya Nona Zara," tambah Pria tua lagi membuat hati Arlan lega.
"Pak, sholeh! Kenapa Arlan tidak bisa mengenali Bapak. Seingat Arlan dulu Pak sholeh sangat tampan dengan rambut hitam, dan tas kulit yang selalu dijinjing." Arlan terpaku kaget melihat pria tua yang rupanya orang yang sangat ia kenal.
"Hahahaha, itu cerita lama Arlan," tawa pria tua itu, memenuhi ruangan.
"Sekarang Bapak sudah tua, rambut pun telah memutih, apalagi sejak kepergian Pak Adhi. Masa kejayaan Bapak pun berlalu," suara sendu, dan sedih terdengar dari ucapan Pak Sholeh.
"Memangnya, Pak Adhi kemana, Pak?" tanya Arlan bingung.
"Nak, Arlan tidak tau apa yang terjadi dengan keluarga Pak Adhi?"
"Tidak, Pak!"
"Jadi pujaan hati yang Nak Arlan ceritakan tadi, Nona Zara Adhira?"
"Iya, Pak. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Zara dan keluarganya?"
Pak Sholeh terdiam sejenak dan tidak menanggapi pertanyaan Arlan.
"Bapak juga tidak akan menjawab pertanyaan ini. Saya telah mencoba mencari tahu keberadaan Zara dan keluarganya dengan berkeliling desa, menanyai orang sedesa ini, tetapi tak ada satu pun yang menjawab." Arlan dengan raut wajah sangat putus asa.
Melihat raut wajah Arlan, Pak Sholeh pun menceritakan tragedi yang menimpa keluarga Zara yang sebenarnya tak ingin ia ingat lagi, karena sangat meningalkan luka baginya yang merupakan tangan kanan Pak Adhi Papanya Zara.
"Keluarga, Pak Adhi semuanya terbunuh," cerita singkat Pak Sholeh.
Arlan yang tak mampu menahan air matanya, menangis sejadi-jadinya. Ia masukan jari-jemarinya ke mulut untuk menahan tangisnya.
"Pantesan, tadi pagar Rumah Zara ada bekas garis polisi. Mereka semua terbunuh dirumahnya?" Arlan menundukan kepalanya denga suara bergetar.
"Iya, rumah itu adalah saksi bisu terbunuhnya Pak Adhi dan sekeluarganya oleh para maling yang memasuki rumahnya, tetapi belakangan ini terdengar pula berita bahwa yang membunuh Pak Adhi bukanlah Para kawanan maling, tetapi pesaing Pak Adhi yang merupakan sesama tuan tanah," cerita pak Sholeh panjang lebar.
"Zara ..." Arlan terus menyebut nama Zara dengan air mata terus membasahi pipinya.
Kini lelaki gagah nan tampan itu terlihat sangat hancur, "Bawa saya ke makam Zara, Pak!" seru Arlan bangkit dari duduk dan kehancuran hatinya.
"Makam?"
"Iya, Makam Zara ...," suara Arlan melemah, terdengar sangat hampa.
"Zara, ia masih hidup, tetapi kondisinya sangat buruk." wajah Pak Sholeh Berubah begitu dingin.
"Zara, masih hidup! Alhamdulilah saya akan menerimanya tak peduli apapun keadaannya. Di mana dia sekarang, Pak?"
"Lebih baik Nak Arlan pulang ke rumah!" perintah pak Sholeh dan berlalu meninggalkan Arlan.
"Saya balik ke indonesia bukan untuk pulang kerumah, tetapi untuk Zara." Arlan mengikuti Pak sholeh.
"Tolong saya, Pak!"
"Pak sholeh tau betul arti Zara bagi saya."
Pak sholeh tahu persis bagaimana kedekatan Zara dan Arlan dari kecil, karena Arlan sering main ke rumah Zara ketika pulang mengaji dan sekolah. selain itu, hingga remaja mereka tetap sangat akrab baik pas SMP maupun SMA, Arlan juga satu sekolah dengan Zara. Mereka berpisah ketika Arlan dapat beasiswa kuliah ke Nowergia. Di titik inilah sama sekali tak ada komunikasi diantara mereka, tetapi saling menyimpan hati satu sama lain.
"Nak, Arlan tidak akan sanggup di sisi Nona Zara yang sekarang." Pak Sholeh duduk di kursi rotan panjang.
"Apapun yang tarjadi saya berjanji akan selalu ada di sisi Zara. Semasih dia hidup apapun kondisinya akan saya terima, dan saya tetap akan menjadikannya istri saya, seperti niat awal saya. Jadi bawa saya padanya." Pria gagah itu mulai mengeluarkan air mata lagi untuk seorang gadis yang bernama Zara.
Melihat kesungguhan hati Arlan, sungguh pak Sholeh tak ingin ia kecewa, tetapi dari pada terus membiarkannya mempercayai keyakinan yang semu, maka Pak Sholeh terpaksa memperlihatkan kenyataan pada Pria yang meagungkan cintanya pada seorang gadis yang bernama Zara itu.
"Zara adalah satu-satunya yang dibiarkan hidup oleh para penjahat itu, bukan tanpa Alasan. Setelah semua keluarganya dibinasakan, Zara yang merupakan salah satu kembang desa tak mungkin dibiarkan begitu saja. Ia diperkosa oleh para penjahat itu, dan melahirkan seorang anak yang kini dirawat oleh satu-satunya wali dan keluarga yang dimiliki Zara yaitu Pamannya yang kebetulan tidak memimiliki anak." Pak Sholeh memandang langit - langit rumahnya menahan sedih di hati.
Arlan yang mendengar cerita Pak Sholeh tak mampu menahan sesak di rongga dadanya. Ia terus memegangi dadanya dengan napas tersengal, sesak dengan tubuh tegap gagahnya mebungkuk menahan rasa kecewa dan sakit hati yang memenuhi relung jiwanya.
"Antarkan saya padanya! Dia tetaplah pujaan hati saya. Terimakasih untuk tetap hidup Zara ..." Arlan dengan expresi wajah yang tidak bisa digambarkan, marah, sedih, terluka, kecewa, bersyukur karena Zara masih hidup.
Pak sholeh yang mendengar ucapan Arlan pun mengantarkan Arlan menuju Zara. Dengan semboyongan dipukul kekecewaan hidup, Arlan terus berjalan menuju Zara dengan dibantu pak Sholeh memopong tubuh tingginya, sembari tangan kanannya tetap memegangi Dadanya yang sesak.
***
Terima kasih telah mampir, mohon maaf apabila ada cerita yg kurang berkenan ini hanya fiktif dan imajinasi penulisš
fb leeana ratna sari
iG @Gadis pecinta mendung@writer_ in_box
Bab 23 calon Ibuā¤Pengharapan cinta ini terlalu besar dan tanpa kusadari aku telah menyakitimuā¤Arlan termenung di meja kerjanya, karena sedari pagi telinganya telah panas oleh sebuah gosip yang membakar telinganya. Setiap mata mulai memandang dan berbisik, ia hanya bisa diam tanpa pejelasan. Meskipun dijelaskan pun tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuang tenaga dan menguras hati, karena seringkali yang didengar seolah-olah adalah kebenaran adanya. Kini Arlan menatap kosong pada pena yang digenggamnya, sembari tangan kanan memegangi pelipisnya, menggambarkan air muka sedikit frustasi."Are you ok, Arlan?" tanya Leo yang merupakan rekan kerja Arlan. Ia merupakan dosen Teknik pertambangan juga, dan meja kerjanya bersebelahan dengan Arlan di ruang dosen."Tidak terlalu baik!" jawab Arlan lesu. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang begitu gelisah."Apa kabar angin itu benar?" selidik Leo.Mendorong
Sepiring nasi dengan lauk ikan gurame goreng telah, Arlan hidang untuk Zara di meja makan. Nanar mata Zara menatap jijik melihat ikan goreng gurame yang ada di atas piringnya. Ia mengakat Ikan gurame itu dengan dua jemarinya dan mulutnya sedikit miring. Arlan yang sadar dengan raut wajah istrinya pun bertanya, "Kenapa? Ikannya tidak enak?""Enak!" Zara tersenyum dengan kening berkerut."Kalau enak kenapa tidak dimakan tanya Arlan?" mengambil sendok di tangan Zara dan menyuapinya."Buka mulut!" perintah Arlan yang dipatuhi Zara.Zara mulai mengunyah makanan yang baru saja disuapi Arlan, ia menelan makanan itu dengan setengah hati, karena bau ikan memasuki seluruh rongga hidungnya. Zara pun langsung berlari ke toilet untuk memuntahkan semua bau busuk itu dari lambungnya."Apa kamu baik-baik saja sayang! Bagaiman kalau kita ke rumah sakit aja!" saran Arlan menepuk-nepuk punggung istrinya yang terus muntah di closet.
Terdengar kericuhan di lapangan yang berada di depan kampus. Terlihat gerombolan mahasiswa membawa spanduk, dan beberapa diantaranya mengunakan pengikat kepala bertulisan 'Kami Butuh Keadilan'. Arlan yang barus saja membuka pintu mobilnya, bingung sejenak. Melihat begitu banyak Mahasiswa berlarian di depannya."Ada apa?" tanya Arlan menghentikan seorang pemuda berbaju biru yang berlarian kecil di depannya."Kami lagi demo, Pak!" jawab pemuda itu singkat, berlalu pergi."Demo!" pikir Arlan sejenak, memegang dagunya."Tumben!"Sudah lama tidak terdengar, para mahasiswa mengeluarkan taringnya. Sekarang tidak ada hujan, tiba-tiba demo. Bukan hal yang ganjil, mahasiswa melakukan demo atas sebuah kebijakan, tetapi semua terasa aneh. Ketika di zaman yang mulai individualisme, dan apatis ini. Ada beberapa yang berani meneriakan suara. Bukankah itu luar biasa, disaat mahasiswa lainya fokus dengan nilai, dan mengejar toga.
Arlan telah mengajak Zara berputar-putar mencari Gudeg Mbah Lindu. Sebuah gudeg buatan seorang wanita yang telah sepuh dimana ia telah berusia hampir satu abad. Kelezatan Gudegnya tiada tara, meskipun cuma jajanan sederhana, tetapi memiliki rasa istimewa. Arlan ingin Zara mencobanya juga."Biasanya Mbah Lindu jualan di sini, Zara!" tunjuk Arlan pada sebuah tempat lesehan, biasanya Mbah Lindu berjualan."Zara capek, Arlan!" keluh Zara."Apa Mbahnya tidak jualan lagi atau Dia cuma jualan di siang hari, ya?" pikir Arlan."Suami!" panggil Zara."Apa sayang?"Zara memegang perutnya, menunjukan gerak-gerik kelaparan."Lapar, ya?" tanya Arlan."Hmmm!" jawab Zara mengagukan kepalanya."Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja," usul Arlan, menarik tangan Zara."Ayo!" ajak Arlan, melihat Zara masih bengong.Karena tidak menemukan Gudeg Mbah
ā¤Tidak ada kata terimakasih di dalam cintaā¤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
ā¤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen⤠Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
ā¤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu⤠Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawabā¤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments