"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh.
"Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya.
"Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan.
"Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram.
"Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar.
"Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
"Kalau tidak ada keperluan lagi, bisakah kerumunan masa ini bubar!" pinta Arlan dengan senyuman sinis.
"Dasar pria sableng! Ayo kita pergi dari sini!" ucap salah satu warga membuat kerumunan masa perlahan pergi.
Zara dibersihkan Arlan dengan baju yang masih melekat ditubuhnya, membuat tubuh Zara menggigil kedinginan. Menyadari hal itu Arlan langsung menggendong Zara masuk ke dalam rumah. Air baju Zara terus menetes ketika Zara duduk meringkuk di lantai kedinginan. Arlan termenung sejenak, ia bingung siapa yang bisa membantunya mengganti baju Zara.
"Nak Arlan, ini ada baju istri Bapak yang bisa dipakai Nona Zara," ucap Pak Sholeh mehentikan lamunan Arlan.
"Iya, Pak. Terimakasih banyak!"
"Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiran Nak Arlan?" selidik Pak Sholeh.
"Saya merasa tidak enak harus mengganti baju Zara, karena kami belum sah sebagai suami istri, tetapi di sini tidak ada seorang pun wanita yang bisa dimintai tolong," jawab Arlan dengan wajah tertegun.
"Pemuda yang baik!" Pak Sholeh memukul bahu Arlan.
"Ini bukan keinginanmu, tapi keadaan...!"
"Lihatlah, Zara!" perintah Pak Sholeh.
Arlan melihat Zara telah pucat kedinginan dan jemarinya mulai keriput karena lama kena air. Ia pun langsung menggendong Zara ke kamar dan mengambil baju Alm Istri Pak Sholeh yang telah disiapkan di atas meja ruang tengah.
Arlan mencoba berusaha melepaskan perlahan baju basah yang dikenakan Zara, ia merona-meronta seakan Arlan melakukan hal yang buruk padanya.
"Jangan!"
"Lepaskan aku!" teriak Zara.
"Jangan sentuh aku!" Rintih pilu Zara dengan air mata berlinang.
"Aku mohon jangan sentuh aku!" pinta Zara dengan tenaganya tidak bisa menahan Arlan melepaskan bajunya.
"Maaf!" suara Arlan samar-samar di dalam keheningan.
Zara mulai menyakiti dirinya ketika ia sadar baju yang ia kenakan dilepaskan Arlan.
"Aku lebih baik mati!" Zara memukul-mukul dirinya sendiri.
"Bunuh saja aku!" teriak Zara menatap Arlan penuh kebencian.
Arlan tidak bisa membela dirinya. Di dalam hati ia sangat merasa bersalah telah melihat tubuh Zara sebelum mereka menikah.
"Maaf!" ucap Arlan lagi menundukan kepalanya, agar tidak melihat tubuh Zara.
"Aku mohon ampuni aku, jangan sakiti aku!" raung Zara penuh isak tangis.
Arlan mencoba menenangkan Zara, tetapi ia semakin histeris.
"Bunuh aku!" rintih Zara lagi, mengambil tangan Arlan dan memukulkan ke dadanya.
bulir-bulir kristal bening turun di sudut mata Arlan, ia mulai frustasi sendiri.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu tenang, Zara." Arlan mengeyitkan dahi dengan sangat frustasi melihat Zara hiteris.
Dengan susah payah Arlan bisa mengganti pakaian Zara. Tidak seperti lelaki lainya yang fokus pada bentuk tubuh wanita, tetapi Arlan melihat begitu banyak bekas luka di tubuh Zara. Entah bekas sayatan ataupun lebam karena benda tumpul.
"Sebenarnya apa yang kamu alami Zara!" gumam Arlan.
Setelah pakain Istri Pak Sholeh bermodel tahun enam puluhan itu menempel di tubuh Zara, ia bukannya menjadi tenang tapi makin histeris. Zara berteriak-teriak semakin keras hingga Pak Sholeh yang berada di ruang tengah mendengar teriakannya menjadi khawatir.
tok
tok
tok
Pak Sholeh yang khawatir mengetuk pintu kamar.
"Nak Arlan, kalian baik- baik saja di dalam?" selidik Pak Sholeh.
"Iya, Pak. Saya sedang mencoba menenagkan, Zara!" seru Arlan.
"Baiklah, kalau ada apa-apa panggil saja Bapak," ucap Pak Sholeh beranjak pergi dari depan kamar.
"Zara aku mohon tenanglah!" ucap Arlan memegang kedua bahu Zara.
"Jangan sentuh aku!" Zara masih terisak-isak.
"Aku tidak akan melakukan hal seperti itu, padamu!" Arlan memegang wajah Zara dan menatapnya.
"Aku menyayangimu!"
"Aku tidak akan menyakitimu!" Arlan mengakat wajah Zara yang tertunduk lemas.
"Aku akan melindungimu," tambah Arlan.
"Aku mohon jangan sakiti aku!" teriak Zara dengan tenaga yang tersisa.
"Aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu!" Arlan memeluk Zara.
Suara histeris Zara pun hilang di dalam keheningan setelah Arlan memeluknya.
"Aku berjanji akan menjadi suami yang selalu melindungimu setelah kita menikah," gumam Arlan yang masih memeluk Zara.
Zara tertidur dengan mata bengkak di pelukan Arlan. Arlan menggendong dan membaringkannya di kasur.
"Aku sungguh minta maaf, Zara!" Arlan mengelus mata sembab Zara.
"Kini aku bagian dari mereka yang membuat mata ini mengeluarkan air mata," tambah Arlan menatap Zara yang terlelap.
Arlan dan Zara menginap semalam di rumah Pak sholeh, karena terlalu sore untuk berangkat ke Yogyakarta. Besok pagi sebelum tinggal bersama, Arlan berniat menikahi Zara di KUA terdekat. Arlan pun berniat membawa Pak Sholeh sebagai wali Zara.
"Maaf Pak, saya dan zara merepotkan bapak saja," ucap Arlan merasa segan terhadap Pak Sholeh.
"Bapak sama sekali tidak repot, malahan Bapak sangat senang dengan adanya Nak Arlan dan Zara. Rumah ini terasa hidup kembali setelah sekian lama sunyi karena kepergian Anak dan Istri Bapak," jawab Pak Sholeh dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana kalau bapak tinggal dengan saya dan Zara di Yogyakarta setelah kami menikah," tawar Arlan tidak tega melihat Pak Sholeh sebatang kara.
"Terima kasih tawaran Nak Arlan, tetapi Bapak ingin tetap di sini. Bapak ingin menghabiskan usia yang tersisa di rumah ini. Begitu banyak kenangan di sini yang tidak bisa Bapak tinggalkan," terang Pak Sholeh menolak tawaran Arlan.
"Kalau begitu saya dan Zara akan sering-sering main ke sini. Bolehkan, Pak?" Arlan dengan senyum melingkar di pipi.
"Tentu boleh, Nak Arlan dan Nona Zara sudah Bapak anggap sebagai Anak sendiri," jawab Pak Arlan membalas senyuman Arlan.
Pak Sholeh menyiapkan makan malam seadanya di meja makan. Ada ubi Rebus, sayur, nasi, dan telur dadar.
"Nak Arlan ayo makan malam dulu!" ajak Pak sholeh
" Iya, pak!" Arlan menghampiri pak Sholeh di meja makan sederhana yang telah tua di makan usia.
"Maaf Nak Arlan seadanya!"
"Ini lebih dari cukup, Pak!" Arlan dengan segala kerendahan hatinya.
"Ini untuk Zara!" Pak sholeh tidak lupa menyiapkan piring untuk Zara.
"Saya tidak tega membangunkan Zara setelah keributan tadi!" keluh Arlan.
"Sebaiknya Nak Arlan makan dulu, nanti kalau Nona Zara telah bangun baru suapi dia," saran Pak Sholeh.
"Baiklah, Pak!" Arlan duduk di meja makan dan menikmati makanan yang telah dihidangkan Pak sholeh.
Setelah Zara bangun Arlan pun langsung membawa makanan ke kamar dan menyuapi Zara. Zara terus menolak makanan yang diberikan Arlan sembari matanya menatap kosong ke arah lantai.
"Zara aku mohon, makanlah!" Pinta Arlan melihat Zara tidak mau membuka mulutnya.
"Sedikit saja!" pinta Arlan lagi yang diabaikan Zara.
Pak sholeh yang melihat Zara dan Arlan di pintu kamar pun masuk menghampiri Zara.
"Nona Zara makanlah! Pak Adhi pasti sedih melihat Nona seperti ini!" ucap Pak Sholeh duduk di sebelah Arlan.
"Papa!" ucap Zara dengan bulir air mata membasahi pipinya.
"Iya Papa, Nona Zara akan senang melihat Nona makan, hidup sehat, dan bahagia," bujuk Pak Sholeh.
"Papa Zara sayang, Papa!" Zara langsung mengambil sepiring nasi di tangan Arlan dan langsung memakanya hingga habis.
"Terima kasih, Pak!" ucap Arlan melihat Zara mengahbiskan makananya setelah mendengar Pak Sholeh.
"Iya!" Pak sholeh menepuk bahu Arlan.
"Sebaiknya Nak Arlan istirahat," saran Pak sholeh melihat wajah lelah Arlan.
***
terimakasih sudah mampir vote, like and follow wib.
follow@writer_in _box
@gadis_ pecinta_mendung
youtube musikalisasi puisi Writer in box
love you see ya...
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
❤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiri❤AZED❤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je
Prilaku kekerasan salah satu gejala positif dari skizofrenia, merupakan masalah utama yang membuat penderitanya di bawa ke RSJ untuk penanganan medis, baik pada onset pertama maupun pada kondisi awitan akibat kekambuhan. Gejala ini berpotensi untuk melukai diri sendiri, lingkuangan, keluarga terdekat, dan orang lain. Individu skizofrenia biasanya mempunyai masalah emosi yang mengakibatkan penderitanya melakukan kekerasan, karena ada ganguan pada saraf yang terdapat di otak. Oleh karena, penderita Skizofrenia akan sulit hidup normal seperti yang lainya. Kekerasan inilah yang dialami Bik Dartih, pembantu baru Arlan. Belum cukup sebulan Bik Dartih berkerja, ia langsung mengundurkan diri karena mengalami kekekrasan dari Zara.Zara yang sudah bisa berjalan menghampiri Bik Dartih yang sedang membuatkan teh di dapur."Bik, ini apa?" tanya Zara memainkan gula di sebuah botol."Gula atuh, Non! Masak garem," seru Bik Dartih."Kalau ini,
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam
Bab 23 calon Ibu❤Pengharapan cinta ini terlalu besar dan tanpa kusadari aku telah menyakitimu❤Arlan termenung di meja kerjanya, karena sedari pagi telinganya telah panas oleh sebuah gosip yang membakar telinganya. Setiap mata mulai memandang dan berbisik, ia hanya bisa diam tanpa pejelasan. Meskipun dijelaskan pun tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuang tenaga dan menguras hati, karena seringkali yang didengar seolah-olah adalah kebenaran adanya. Kini Arlan menatap kosong pada pena yang digenggamnya, sembari tangan kanan memegangi pelipisnya, menggambarkan air muka sedikit frustasi."Are you ok, Arlan?" tanya Leo yang merupakan rekan kerja Arlan. Ia merupakan dosen Teknik pertambangan juga, dan meja kerjanya bersebelahan dengan Arlan di ruang dosen."Tidak terlalu baik!" jawab Arlan lesu. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang begitu gelisah."Apa kabar angin itu benar?" selidik Leo.Mendorong
Sepiring nasi dengan lauk ikan gurame goreng telah, Arlan hidang untuk Zara di meja makan. Nanar mata Zara menatap jijik melihat ikan goreng gurame yang ada di atas piringnya. Ia mengakat Ikan gurame itu dengan dua jemarinya dan mulutnya sedikit miring. Arlan yang sadar dengan raut wajah istrinya pun bertanya, "Kenapa? Ikannya tidak enak?""Enak!" Zara tersenyum dengan kening berkerut."Kalau enak kenapa tidak dimakan tanya Arlan?" mengambil sendok di tangan Zara dan menyuapinya."Buka mulut!" perintah Arlan yang dipatuhi Zara.Zara mulai mengunyah makanan yang baru saja disuapi Arlan, ia menelan makanan itu dengan setengah hati, karena bau ikan memasuki seluruh rongga hidungnya. Zara pun langsung berlari ke toilet untuk memuntahkan semua bau busuk itu dari lambungnya."Apa kamu baik-baik saja sayang! Bagaiman kalau kita ke rumah sakit aja!" saran Arlan menepuk-nepuk punggung istrinya yang terus muntah di closet.
Terdengar kericuhan di lapangan yang berada di depan kampus. Terlihat gerombolan mahasiswa membawa spanduk, dan beberapa diantaranya mengunakan pengikat kepala bertulisan 'Kami Butuh Keadilan'. Arlan yang barus saja membuka pintu mobilnya, bingung sejenak. Melihat begitu banyak Mahasiswa berlarian di depannya."Ada apa?" tanya Arlan menghentikan seorang pemuda berbaju biru yang berlarian kecil di depannya."Kami lagi demo, Pak!" jawab pemuda itu singkat, berlalu pergi."Demo!" pikir Arlan sejenak, memegang dagunya."Tumben!"Sudah lama tidak terdengar, para mahasiswa mengeluarkan taringnya. Sekarang tidak ada hujan, tiba-tiba demo. Bukan hal yang ganjil, mahasiswa melakukan demo atas sebuah kebijakan, tetapi semua terasa aneh. Ketika di zaman yang mulai individualisme, dan apatis ini. Ada beberapa yang berani meneriakan suara. Bukankah itu luar biasa, disaat mahasiswa lainya fokus dengan nilai, dan mengejar toga.
Arlan telah mengajak Zara berputar-putar mencari Gudeg Mbah Lindu. Sebuah gudeg buatan seorang wanita yang telah sepuh dimana ia telah berusia hampir satu abad. Kelezatan Gudegnya tiada tara, meskipun cuma jajanan sederhana, tetapi memiliki rasa istimewa. Arlan ingin Zara mencobanya juga."Biasanya Mbah Lindu jualan di sini, Zara!" tunjuk Arlan pada sebuah tempat lesehan, biasanya Mbah Lindu berjualan."Zara capek, Arlan!" keluh Zara."Apa Mbahnya tidak jualan lagi atau Dia cuma jualan di siang hari, ya?" pikir Arlan."Suami!" panggil Zara."Apa sayang?"Zara memegang perutnya, menunjukan gerak-gerik kelaparan."Lapar, ya?" tanya Arlan."Hmmm!" jawab Zara mengagukan kepalanya."Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja," usul Arlan, menarik tangan Zara."Ayo!" ajak Arlan, melihat Zara masih bengong.Karena tidak menemukan Gudeg Mbah
❤Tidak ada kata terimakasih di dalam cinta❤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
❤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen❤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam