Tak
Tak
Tak
Suara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya.
"Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya.
"Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.
Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya.
"Lihat!" perintah Idah melihat ke arah Arlan yang sedang berjalan hendak melewati mereka.
"Ganteng," gumam Renata memiringkan mulutnya.
"Itu tidak cuma ganteng, Re!" Idah masih terpesona dengan ketampanan Arlan.
"Sangat!" ucap Renata lagi, memangku tangan di dadanya.
"Selamat pagi!" sapa Arlan yang lewat di depan Renata dan Idah.
"Pagi, Mas! Maksudnya, Pak," jawab Idah gugup.
Sedangkan Renata tidak menjawab sapaan Arlan, ia hanya membentuk simpul senyum yang penuh makna dengan bola mata coklatnya menatap Arlan.
"Eh, Mas gantengnya masuk kelas kita," seru Idah memukul-mukul gemas bahu Renata sembari bola matanya melihat Arlan memasuki sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Ayo!" ajak Renata menarik Idah.
"Ayo, apa?" Idah bingung sesaat.
"Masuk kelas, Idah!" seru Renata mengangkat kaca mata Idah.
Renata dan Idah mengikuti Arlan, berjalan di belakannya untuk memasuki kelas.
"Assallammulaikum!" Ucap Arlan sebelum memasuki ruangan kelas.
Semua mahasiswi bengong sejenak dengan nanar mata mereka fokus pada ketampanan Arlan.
"Walakuimsalam, Pak!" jawab para mahasiswa setelah Arlan duduk di meja depan.
"Apa dia dosen barunya? Gantengnya," bisik - bisik mahasiswi yang tidak seberapa jumlahnya.
Idah dan Renata langsung berlari dari luar kelas menuju kursi paling depan, posisi paling sudut.
"Perkenalkan nama saya Arlan sujibto. Saya merupakan dosen teknik pertambangan yang baru," ucap Arlan memperkenalkan diri secara singkat sembari berdiri di depan kelas.
Renata yang duduk di sudut ruangan. Berhadapan dengan Arlan berkata, "Singkat sekali perkenalanya, Pak. Tak kenal maka tak sayang!"
Semua mata para mahasiswi melototi Renata yang mencoba mencari perhatian Arlan.
"Dasar caper!" seru salah satu mahasisiwi yang duduk di sebelah kanan Renata.
Renata dengan santainya mengabaikannya. Ia membuang wajah ke arah Arlan dengan sombongnya.
"Apalagi yang ingin kalian ketahui tentang saya?" tanya Arlan sembari menutup tutup spidol yang tadi telah dibukanya.
"Alamat rumah, nomor WA, dan satu lagi, Apakah bapak sudah punya pacar?" cetus Renata, memainkan pena di tangannya.
"Iya, pak! Kami ingin tahu!" seru mahasiswi lainnya.
"Dasar! Tadi semua polototin aku. Tengok mereka sekarang," gedumel Renata di dalam hati.
"Alamat rumah, dan nomor WA. Saya tidak bisa memberi tahunya, karena itu privasi. Tetapi kalau pacar, saya tidak punya!" jawab Arlan membuat wajah para mahasiswi di kelas sumringgah, merasa memiliki kesempatan.
"Saya punya kesempatan kalau begitu, Pak!" goda Renata dengan wajah tersipu malu.
Dion yang duduk di baris ke dua, tepat di belakang Renata mulai terbakar api cemburu. Air mukanya mulai berubah merah padam ketika kekasihnya menggoda Arlan di depan matanya.
"Uuuuuu!" sorak para mahasiswi mendengar ucapan Renata.
Arlan melangkah dari tempat ia berdiri, "Saya memang tidak memiliki pacar, tetapi saya memiliki istri."
"Hahahahaha," tawa para mahasiswa melihat kaum minoritas yaitu para mahasiswi patah hati masal.
"Udah, ya!" isyrat Arlan untuk memulai pembelajaran.
Arlan duduk di kursi berwarna abu-abu, ia mengeluarkan beberapa berkas dan materi dari tas punggung yang ia bawa dan menaruhnya di atas meja, Sedangkan Renata mengeluarkan Hp dari sakunya dan mengambil photo Arlan secara diam-diam.
*lovely
My future husband*.
(Ketikan caption Renata yang ia share di instagram)
"Kamu main Hp, Re?" tanya Idah melihat Renata sibuk dengan Hpnya.
"Enggak aku cuma balas chat, Dion!" dalih Renata.
"Dion ada di belakangmu! Ngapain harus chattingan?" Idah menolehkan kepala ke dion.
"Kangen dianya," dalih Renata lagi.
"Orang pacaran lebay gitu, ya?" tanya polos Idah.
"Hmmmm!"
"Simpan ponselmu, gih!"
"Pak Arlan akan memulai pembelajaran!" seru Idah.
"Hmmmm!"
Dengan bekal ilmu dan gelar Ph.D. (doctor of philosopy), Alumni NTNU (Nowergian University of science and Technology), Arlan berdiri di depan kelas dengan sangat percaya diri, sembari tangannya menari-nari menjelaskan bagaimana genesa batu bara dan mamfaatnya.
"Unsur utama batu bara adalah carbon (C), hidrogen (H2), dan oksigen (O2)...," penjelasan Arlan terhenti.
"Kamu!" Arlan menunjuk seorang mahasiswi yang merupakan Renata.
Di kelas teknik pertambangan yang mayoritas kaum adam. Tampak sangat jelas yang mana memperhatikan pembelajaran, dan hanya meperhatikan wajah tampan Arlan.
"Saya, Pak!" Seru Renata menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, siapa lagi yang bengong sedari tadi kalau bukan kamu!" tegur Arlan.
"Saya tidak bengong Pak. Saya memperhatikan," dalih Renata.
"Sebutkan dua tahap pembentukan batu bara?" tanya Arlan ingin membuktikan bahwa Renata tidak memperhatikan pembelajarannya.
"Saya tidak tahu, Pak!" Renata menundukan kepala.
"Lalu apa yang sedari tadi kamu perhatikan?" Arlan kesal.
"Bapak!"
"Uuuuuuuu!" sorak terdengar di dalam ruangan.
"Ada yang salah dengan wajah saya sehingga kamu harus memperhatikannya?" sungut Arlan.
"Ada! wajah Bapak mengalihkan dunia saya," jawab santai Renata.
"Re, ada apa dengan mu?" bisik Idah bingung dengan sikap sahabatnya itu.
Semua bersorak lagi mendengar pernyataan Renata, "Uuuuuuuuu!."
"Semua tenang ini bukan pasar," seru Arlan membuat kelas kembali kondusif.
Arlan yang tidak habis pikir dengan jawaban gadis itu, berbalik badan ke arah papan tulis, dan melanjutkan materinya.
"Sudahlah kita lanjut saja!"
"Lanjut kemana, Pak?"
"Lanjut kepelaminan, ayuk!" seru Renata lagi.
"Re, kamun kenapa," bisik Idah lagi.
"Abaikan saja, kita lanjut pelajarannya!" titah Arlan.
Semua mahasiswa melanjutkan aktifitasnya dan mengabaikan ucapan Renata.
"Re, kenapa kamu jadi genit sama dosen baru itu, sih!" gerutu Dion melirik Renata dengan tangan dikepal.
"Kenapa diabaikan, Pak!"
"Sepertinya saya jatuh cinta pada pandang pertama, dan saya tidak bisa mengabaikanya. Bapak juga tidak boleh mengabaikan perasaan saya!" celetuk Renata.
"Re!" Idah kaget sahabatnya bisa sekonyol itu, karena terpesona dengan dosen barunya.
Dion yang tidak tahan mendengar ucapan Renata pun menghampiri Renata dan menarik tanganya, "Ikut!"
"Apaan tarik-tarik!" keluh Renata.
Arlan memijat lembut keningnya melihat tingkah mahasiswinya.
"Kayaknya bucin pada padangan pertama sama Bapak, tuh," ucap mahasiswa yang duduk paling depan berhadapan dengan Arlan.
"Sudahlah!"
"Kita lanjut aja, ya!" seru Arlan.
Setelah proses belajar mengajar selesai. Semua mahasiswa dan mahasiswi meminta Arlan berfoto bersama.
"Pak ini hari pertama Bapak mengajar di kelas kami, ayo kita berfoto bersama!" ajak seorang mahasiswa.
"Boleh, Ayo!" Arlan menerima ajakan mahasiswanya.
***
vote, like, love and ikuti juga writer in box
love you see ya
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
❤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiri❤AZED❤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je
Prilaku kekerasan salah satu gejala positif dari skizofrenia, merupakan masalah utama yang membuat penderitanya di bawa ke RSJ untuk penanganan medis, baik pada onset pertama maupun pada kondisi awitan akibat kekambuhan. Gejala ini berpotensi untuk melukai diri sendiri, lingkuangan, keluarga terdekat, dan orang lain. Individu skizofrenia biasanya mempunyai masalah emosi yang mengakibatkan penderitanya melakukan kekerasan, karena ada ganguan pada saraf yang terdapat di otak. Oleh karena, penderita Skizofrenia akan sulit hidup normal seperti yang lainya. Kekerasan inilah yang dialami Bik Dartih, pembantu baru Arlan. Belum cukup sebulan Bik Dartih berkerja, ia langsung mengundurkan diri karena mengalami kekekrasan dari Zara.Zara yang sudah bisa berjalan menghampiri Bik Dartih yang sedang membuatkan teh di dapur."Bik, ini apa?" tanya Zara memainkan gula di sebuah botol."Gula atuh, Non! Masak garem," seru Bik Dartih."Kalau ini,
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
❤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen❤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
❤Tidak ada kata terimakasih di dalam cinta❤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Bab 23 calon Ibu❤Pengharapan cinta ini terlalu besar dan tanpa kusadari aku telah menyakitimu❤Arlan termenung di meja kerjanya, karena sedari pagi telinganya telah panas oleh sebuah gosip yang membakar telinganya. Setiap mata mulai memandang dan berbisik, ia hanya bisa diam tanpa pejelasan. Meskipun dijelaskan pun tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuang tenaga dan menguras hati, karena seringkali yang didengar seolah-olah adalah kebenaran adanya. Kini Arlan menatap kosong pada pena yang digenggamnya, sembari tangan kanan memegangi pelipisnya, menggambarkan air muka sedikit frustasi."Are you ok, Arlan?" tanya Leo yang merupakan rekan kerja Arlan. Ia merupakan dosen Teknik pertambangan juga, dan meja kerjanya bersebelahan dengan Arlan di ruang dosen."Tidak terlalu baik!" jawab Arlan lesu. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang begitu gelisah."Apa kabar angin itu benar?" selidik Leo.Mendorong
Sepiring nasi dengan lauk ikan gurame goreng telah, Arlan hidang untuk Zara di meja makan. Nanar mata Zara menatap jijik melihat ikan goreng gurame yang ada di atas piringnya. Ia mengakat Ikan gurame itu dengan dua jemarinya dan mulutnya sedikit miring. Arlan yang sadar dengan raut wajah istrinya pun bertanya, "Kenapa? Ikannya tidak enak?""Enak!" Zara tersenyum dengan kening berkerut."Kalau enak kenapa tidak dimakan tanya Arlan?" mengambil sendok di tangan Zara dan menyuapinya."Buka mulut!" perintah Arlan yang dipatuhi Zara.Zara mulai mengunyah makanan yang baru saja disuapi Arlan, ia menelan makanan itu dengan setengah hati, karena bau ikan memasuki seluruh rongga hidungnya. Zara pun langsung berlari ke toilet untuk memuntahkan semua bau busuk itu dari lambungnya."Apa kamu baik-baik saja sayang! Bagaiman kalau kita ke rumah sakit aja!" saran Arlan menepuk-nepuk punggung istrinya yang terus muntah di closet.
Terdengar kericuhan di lapangan yang berada di depan kampus. Terlihat gerombolan mahasiswa membawa spanduk, dan beberapa diantaranya mengunakan pengikat kepala bertulisan 'Kami Butuh Keadilan'. Arlan yang barus saja membuka pintu mobilnya, bingung sejenak. Melihat begitu banyak Mahasiswa berlarian di depannya."Ada apa?" tanya Arlan menghentikan seorang pemuda berbaju biru yang berlarian kecil di depannya."Kami lagi demo, Pak!" jawab pemuda itu singkat, berlalu pergi."Demo!" pikir Arlan sejenak, memegang dagunya."Tumben!"Sudah lama tidak terdengar, para mahasiswa mengeluarkan taringnya. Sekarang tidak ada hujan, tiba-tiba demo. Bukan hal yang ganjil, mahasiswa melakukan demo atas sebuah kebijakan, tetapi semua terasa aneh. Ketika di zaman yang mulai individualisme, dan apatis ini. Ada beberapa yang berani meneriakan suara. Bukankah itu luar biasa, disaat mahasiswa lainya fokus dengan nilai, dan mengejar toga.
Arlan telah mengajak Zara berputar-putar mencari Gudeg Mbah Lindu. Sebuah gudeg buatan seorang wanita yang telah sepuh dimana ia telah berusia hampir satu abad. Kelezatan Gudegnya tiada tara, meskipun cuma jajanan sederhana, tetapi memiliki rasa istimewa. Arlan ingin Zara mencobanya juga."Biasanya Mbah Lindu jualan di sini, Zara!" tunjuk Arlan pada sebuah tempat lesehan, biasanya Mbah Lindu berjualan."Zara capek, Arlan!" keluh Zara."Apa Mbahnya tidak jualan lagi atau Dia cuma jualan di siang hari, ya?" pikir Arlan."Suami!" panggil Zara."Apa sayang?"Zara memegang perutnya, menunjukan gerak-gerik kelaparan."Lapar, ya?" tanya Arlan."Hmmm!" jawab Zara mengagukan kepalanya."Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja," usul Arlan, menarik tangan Zara."Ayo!" ajak Arlan, melihat Zara masih bengong.Karena tidak menemukan Gudeg Mbah
❤Tidak ada kata terimakasih di dalam cinta❤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
❤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen❤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam