Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu.
"Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong.
"Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.
Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan.
"Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.
Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat.
"Terimakasih!" Arlan tersenyum.
Akad nikah Arlan dan Zara begitu sederhana, dan sakral meskipun tidak ada tamu undangan ataupun keluarga terdekat, hanya ada Pak Sholeh, Penghulu, dan pegawai KUA.
Arlan duduk di kursi yang disediakan kantor KUA. Penghulu sudah berada di tempatnya, tetapi Zara masih berada di kursi tunggu. Arlan pun menghampiri Zara, dan mendudukan disebelahnya. Sekarang mereka duduk berdampingan.
"Hati-hati kakimu." Arlan menggendong Zara.
"ahhhh...!" Zara menahan sakit ketika kakinya bersentuhan dengan lantai.
Kaki Zara tidak bisa dibawa berjalan, karena masih membiru dan bengkak. Arlan duduk bersimpuh di lantai, mengambil kaki Zara meletakan ke lantai perlahan dan mengelusnya. Kemudian setelah wajah Zara tampak lebih baik, Arlan kembali duduk di samping Zara.
"Lebih baik?" ucap Arlan tersenyum. Zara menanggapi Arlan dengan tatapan bingung.
Melihat Zara menatapnya, Arlan langsung memeluknya dengan begitu erat. Zara yang merasa sesak mendorong tubuh Arlan.
"Maaf!" ucap Arlan samar-samar.
Pak sholeh sebagai wali nikah Zara duduk di sebelah penghulu, dan saksi. Bapak penghulu memberi wewejangan pernikahan sebelum akad dimulai. Raut wajah Arlan sangat gugup. Ia menyatukan ke dua kelopak tangannya dan mengusap secara bersamaan, keringat dingin pun juga mengalir di dahinya.
"Apakah kamu sudah siap untuk ijab kabul?" tanya Bapak penghulu.
"Insyallah, Pak!" Arlan yang masih terlihat gugup.
Bapak penguhulu mengulurkan tangannya yang kemudian di raih Arlan dan akad nikah pun dimulai.
"Saya terima nikahnya, Zara Adhira binti Adhi dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai." Arlan mengucapkan akad nikah dengan satu tarikan napas.
"Sah!" Bapak penghulu.
"Sah." suara saksi, Pak sholeh dan pegawai KUA yang ada.
Bulir-bulir kristal bening turun dari ujang mata arlan, wajah sangat bahagia tidak dapat ia sembunyikan. Keringat yang terus menetes dari dahi terus diusap Arlan bersamaan dengan air mata yang menetes di sudut matanya. Ciuman mendarat di kening Zara setelah gemuruh 'Sah' bergaung mengisi ruangan, tidak segan Arlan juga memeluk Zara yang terdiam tanpa expresi.
"Kita telah jadi suami-istri sekarang, tidakah kamu bahagia, Zara?" tanya Arlan manatap mata Zara dengan kedua tangannya memegang wajah Zara.
Zara hanya diam tanpa expresi menanggapi perlakuan Arlan. Arlan menyatukan keningnya pada kening Zara, "Aku sangat bahagia Zara."
Ada rasa bersalah di dalam hati Arlan, ia tidak bisa membuat hari bahagianya, dan Zara seperti pasangan lainya, tiada ritual adat, keluarga terdekat, apalagi sebuah pesta, tetapi Arlan berpikir semua tergantung niat. Lagi pula pernikahan bukan soal pesta dan hiruk-pikuknya, tetapi bagaimana kehidupan setelah pernikahan tersebut.
"Meskipun tidak ada pesta, keluarga, kita akan tetap bisa bahagia Zara!" ucap Arlan lagi memberi jarak keningnya dan kening zara yang sedari tadi ia dempetkan.
"Aku akan selalu menjaga dan melindungimu, Zara!" tambah Arlan sembari mengecup kembali kening Zara.
Setelah Arlan mengecup kening Zara, Arlan melepaskan tanganya dari kedua pipi Zara, dan menyalami Bapak Sholeh, penghulu, dan saksi pernikahan mereka, kemudian Pak penguhulu memberikan dua buku yaitu buku pernikahan mereka. Arlan segera metandatangani punyanya dan kemudian membimbing Zara untuk mentandatangani bukunya.
"Hahahhahahahahah," suara tawa Zara terdengar tiba-tiba mengejutkan seisi KUA.
Semua mata menatap heran kepada Zara dengan tatapan mata yang sering ia lihat dari mata masyarakat desa.
"Aku takut...!" ucap suaranya merendah.
Kini tangannya bergelantungan di bahu Arlan. raut gelisah tiba-tiba muncul setelah ia tertawa keras.
"Hahahahaha," tawa Zara kembali terdengar setelah ia melihat orang sekelilinya menatap bingung.
"Sayang!" Arlan menenangkan Zara sembari tangannya mengelus bahu Zara yang bersembunyi di dadanya setelah tawa keras.
"Hahaha, aku telah menikah!" Zara dengan wajah overact, tetapi sedih.
"Sayang tenanglah," ucap Arlan lagi sembari memeluk Zara untuk menenangkannya.
"Kau suamiku?" Zara yang masih di pelukan Arlan mendongakan wajah ke atas.
Arlan yang memeluk Zara bingung sejenak, karena istrinya yang sedari lepas dari pasungan tidak pernah berexpresi, tiba-tiba expresinya sangat mengejutkan.
"Iya sayang aku suamimu! Barusan kita akad!" Arlan mencium kening Zara.
Zara yang mendongakan lagi kepalanya, tersenyum ke arah Arlan, tetapi tiba-tiba beberapa menit kemudian dia kembali histeris.
"Penjahat!" mendorong Arlan penuh kemarahan dari pelukannya.
"Kau bukan suamiku, kau penjahat!" teriak Zara mengejutkan semua orang.
"Kau penjahat, hidupku sudah hancur!" ratap Zara.
Arlan kembali memeluk Zara dan menenangkanya, "Aku suamimu, aku akan selalu melindungimu, Zara."
Beberapa orang berpakaian pemda keluar dari ruangan, karena suara ribut yang mereka dengar dan sekarang meraka sibuk berbisik-bisik mengunjingkan Arlan dan Zara.
"Apa yang terjadi dengan pasutri itu? Apakah mereka bertengkar setelah akad nikah?" bisik wanita berbadan tambun pada temanya, Pria berkacamata yang mengenakan baju pemda coklat.
"Aku juga tidak tau!" jawab pria berkaca mata.
"Bukannya kau sedari tadi menyaksikan akad nikah mereka?" ucap wanita berbadan tambun lagi.
"Iya, tapi tidak terjadi apa-apa! wanita itu, aneh ia tertawa tiba-tiba, bersedih dipelukan suaminya terus marah. Aku juga tidak mengerti," jawab pria berkacamata.
"Apa pria tampan itu menikahi wanita gila," gumam wanita berbadan tambun.
"Aku tidak tahu, jangan ghibah!" Sungut pria berkacamata tidak nyaman.
Penghulu yang belum meninggalkah meja akad hanya melirik Pak sholeh melihat tingkah Zara.
"Putri angkat saya lagi kurang sehat, Pak!" penjelasan Pak Sholeh sebelum Bapak penghulu bertanya.
"Begitu!"
"Iya, Pak. Putri saya sedikit tertekan setelah Ayah kandungnya meninggal," pejelasan Pak Sholeh lagi.
"Kalau begitu saya permisi!"
Bapak penghulu yang tidak ingin terlalu ikut campur pun meninggalkan meja akad nikah, sedangkan Arlan masih berusaha menenangkan Zara. Arlan sedikit berlutut di depan Zara yang masih duduk di kursi, dan mengusap air mata Zara yang membasahi pipinya.
"Zara!"
"Lihat aku, aku bukan penjahat, tetapi suamimu!" ucap Arlan dengan posisi masih berlutut dan kepalanya mendongak ke Zara.
"Suami?" Zara dengan wajah tanpa expresi.
"Iya, barusan setelah akad, aku resmi jadi suamimu!" jelas Arlan.
" Benarkah?"
"Iya, suamimu. Arlan suami Zara adhira" tegas Arlan.
"Arlan!"
"Arlan suamiku?"
"Iya aku suamimu," tegas Arlan lagi.
Kini tangan Zara menyentuh wajah Arlan, "Kamu suamiku."
Arlan menutup matanya, "Iya, kamu harus mengingat wajah ini. Wajah suamimu."
"Hahahahaha, aku menikah!" Zara tertawa terbahak- bahak.
"Hiks hiks hiks, kamu suamiku!" Zara tiba-tiba menangis terisak-isak.
"Hahahah! Hiks hiks Arlan suamiku!" Zara tertawa sambil menangis.
Arlan langsung memeluk Zara yang tidak dapat mengedalikan emosi dan expresinya. Semakin histeris gangguan emosi Zara semakin erat pelukan Arlan, hingga Zara kembali terdiam tanpa expresi.
***
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
❤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiri❤AZED❤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je
Prilaku kekerasan salah satu gejala positif dari skizofrenia, merupakan masalah utama yang membuat penderitanya di bawa ke RSJ untuk penanganan medis, baik pada onset pertama maupun pada kondisi awitan akibat kekambuhan. Gejala ini berpotensi untuk melukai diri sendiri, lingkuangan, keluarga terdekat, dan orang lain. Individu skizofrenia biasanya mempunyai masalah emosi yang mengakibatkan penderitanya melakukan kekerasan, karena ada ganguan pada saraf yang terdapat di otak. Oleh karena, penderita Skizofrenia akan sulit hidup normal seperti yang lainya. Kekerasan inilah yang dialami Bik Dartih, pembantu baru Arlan. Belum cukup sebulan Bik Dartih berkerja, ia langsung mengundurkan diri karena mengalami kekekrasan dari Zara.Zara yang sudah bisa berjalan menghampiri Bik Dartih yang sedang membuatkan teh di dapur."Bik, ini apa?" tanya Zara memainkan gula di sebuah botol."Gula atuh, Non! Masak garem," seru Bik Dartih."Kalau ini,
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
Bab 23 calon Ibu❤Pengharapan cinta ini terlalu besar dan tanpa kusadari aku telah menyakitimu❤Arlan termenung di meja kerjanya, karena sedari pagi telinganya telah panas oleh sebuah gosip yang membakar telinganya. Setiap mata mulai memandang dan berbisik, ia hanya bisa diam tanpa pejelasan. Meskipun dijelaskan pun tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuang tenaga dan menguras hati, karena seringkali yang didengar seolah-olah adalah kebenaran adanya. Kini Arlan menatap kosong pada pena yang digenggamnya, sembari tangan kanan memegangi pelipisnya, menggambarkan air muka sedikit frustasi."Are you ok, Arlan?" tanya Leo yang merupakan rekan kerja Arlan. Ia merupakan dosen Teknik pertambangan juga, dan meja kerjanya bersebelahan dengan Arlan di ruang dosen."Tidak terlalu baik!" jawab Arlan lesu. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang begitu gelisah."Apa kabar angin itu benar?" selidik Leo.Mendorong
Sepiring nasi dengan lauk ikan gurame goreng telah, Arlan hidang untuk Zara di meja makan. Nanar mata Zara menatap jijik melihat ikan goreng gurame yang ada di atas piringnya. Ia mengakat Ikan gurame itu dengan dua jemarinya dan mulutnya sedikit miring. Arlan yang sadar dengan raut wajah istrinya pun bertanya, "Kenapa? Ikannya tidak enak?""Enak!" Zara tersenyum dengan kening berkerut."Kalau enak kenapa tidak dimakan tanya Arlan?" mengambil sendok di tangan Zara dan menyuapinya."Buka mulut!" perintah Arlan yang dipatuhi Zara.Zara mulai mengunyah makanan yang baru saja disuapi Arlan, ia menelan makanan itu dengan setengah hati, karena bau ikan memasuki seluruh rongga hidungnya. Zara pun langsung berlari ke toilet untuk memuntahkan semua bau busuk itu dari lambungnya."Apa kamu baik-baik saja sayang! Bagaiman kalau kita ke rumah sakit aja!" saran Arlan menepuk-nepuk punggung istrinya yang terus muntah di closet.
Terdengar kericuhan di lapangan yang berada di depan kampus. Terlihat gerombolan mahasiswa membawa spanduk, dan beberapa diantaranya mengunakan pengikat kepala bertulisan 'Kami Butuh Keadilan'. Arlan yang barus saja membuka pintu mobilnya, bingung sejenak. Melihat begitu banyak Mahasiswa berlarian di depannya."Ada apa?" tanya Arlan menghentikan seorang pemuda berbaju biru yang berlarian kecil di depannya."Kami lagi demo, Pak!" jawab pemuda itu singkat, berlalu pergi."Demo!" pikir Arlan sejenak, memegang dagunya."Tumben!"Sudah lama tidak terdengar, para mahasiswa mengeluarkan taringnya. Sekarang tidak ada hujan, tiba-tiba demo. Bukan hal yang ganjil, mahasiswa melakukan demo atas sebuah kebijakan, tetapi semua terasa aneh. Ketika di zaman yang mulai individualisme, dan apatis ini. Ada beberapa yang berani meneriakan suara. Bukankah itu luar biasa, disaat mahasiswa lainya fokus dengan nilai, dan mengejar toga.
Arlan telah mengajak Zara berputar-putar mencari Gudeg Mbah Lindu. Sebuah gudeg buatan seorang wanita yang telah sepuh dimana ia telah berusia hampir satu abad. Kelezatan Gudegnya tiada tara, meskipun cuma jajanan sederhana, tetapi memiliki rasa istimewa. Arlan ingin Zara mencobanya juga."Biasanya Mbah Lindu jualan di sini, Zara!" tunjuk Arlan pada sebuah tempat lesehan, biasanya Mbah Lindu berjualan."Zara capek, Arlan!" keluh Zara."Apa Mbahnya tidak jualan lagi atau Dia cuma jualan di siang hari, ya?" pikir Arlan."Suami!" panggil Zara."Apa sayang?"Zara memegang perutnya, menunjukan gerak-gerik kelaparan."Lapar, ya?" tanya Arlan."Hmmm!" jawab Zara mengagukan kepalanya."Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja," usul Arlan, menarik tangan Zara."Ayo!" ajak Arlan, melihat Zara masih bengong.Karena tidak menemukan Gudeg Mbah
❤Tidak ada kata terimakasih di dalam cinta❤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
❤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen❤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam