🌹Kau adalah orang yang paling beruntung, meskipun berpalung malang🌹
Pak Sholeh memapah tubuh tinggi 180 itu, melewati pematang sawah, di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah Gubuk tua yang sangat memprihatinkan, terlihat seperti kandang hewan ternak. Meskipun tergopoh-gopoh, Arlan dibantu Pak Sholeh mampu sampai di gubuk tua itu. Dengan tatapan mata kosong yang tak bisa diartikan, Arlan melihat gembok yang mengunci gubuk itu.
Lalu, ia memegang gembok sejari matanya tak lekat dari gembok itu, "Apa Zara berada di dalam, Pak?" tanya Arlan dengan kerisauan hati.
Pak Sholeh hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Arlan pun tersenyum getir, dan berkata, "Lalu kenapa dikunci?"
Pak Sholeh masih terdiam, tidak menanggapi pertanyaan Arlan.
"Bapak punya kuncinya?" tanya Arlan dengan suara lembut bergetar.
"Kuncinya ada pada Tuan Radit. Pamannya Nona Zara," jawab singkat Pak Sholeh yang membuat darah Arlan mendidih.
"Satu-satunya wali Zara?" Arlan menghempaskan gembok yang sedari tadi ia pegang, dan memegangi keningnya.
"Iya, Nak Arlan. Dia satu-satunya yang bertanggung jawab pada Nona Zara setelah semua keluarganya tiada."
Arlan membalikan badannya dari gubuk tua itu dan berteriak sekeras-kerasnya, "Haaaaaaaaaaa-"
"Bagaimana seorang Paman bisa melakukan ini kepada keponakannya, sedangkan ia tahu ini semua bukanlah kesalahan, Zara!" suara parau Arlan, menahan kemarahan, telontar begitu saja.
"Kenapa harus Zara yang dihukum atas kejahatan para penjahat itu," keluhnya dengan expresi wajah penuh kemarahan.
Pak Sholeh yang melihat expresi hancur Arlan hanya bisa terdiam. Ia tak tau harus bicara apa soal keadaan Zara.
Arlan pun kembali ke arah pintu gubuk tua, dan mengetuk-ngetuk pintunya dengan terus memanggil nama Zara.
Tok
Tok
Tok
"Zara kamu di dalam?"
"Aku Arlan datang untukmu."
"Zara, jawab aku!" pinta Arlan sejari tangannya terus mengetuk pintu.
Pak Sholeh hanya dapat menatap sedih ke arah Arlan tanpa bicara sepatah kata pun.
"Zara, jawablah aku! Jangan menghindariku!"
"Zara aku mohon! Jika kamu ada di dalam jawablah!Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi. Bagaimana pun keadaanmu aku akan selalu menerimamu," tegas Arlan terus mencoba memanggil Zara, dan berharap ia menyautnya.
"Kumohon Zara! Apakah kamu ada di dalam?" Arlan mulai terlihat sangat menyedihkan dengan rintihan suara hatinya.
Pak Sholeh masih diam membeku di belakang Arlan tak mampu mengucapkan apapun, hanya ada sebening emun jatuh di sudut matanya yang berusaha ia sembunyikan.
Batu yang cukup besar di tepian sawah menarik perhatian kedua bola mata Arlan. Ia pun langsung mengambilnya tanpa mempedulikan baju mahal yang ia kenakan bercipratan dengan lumpur. Kemudian batu itu, dipukulkannya pada gembok yang ada pada gubuk tua, hingga gempok lepas dari pasaknya. Pintu gubuk tua pun terbuka.
Arlan membeku sejenak, menatap seorang gadis yang ada di dalam gubuk tua. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatan di wajah itu. Wajah lusuh, dan kumuh sekarang ada di depan Arlan. Ia tak dapat mengenali gadis yang terpasung di depan matanya. Baju compang - camping, rambut kumal, dan kulit kasar kumuh, tak sedikit pun menggambarkan Zara Si kembang desa yang dulu ia kenal dan cintai. Hanya mata coklat tanpa dosa itu, yang mampu ia kenali. Mata coklat yang tersenyum dan memperlihatkan keindahan dunia, kini penuh kekosongan dan kehampaan, tetapi tak mehilangkan keindahannya.
Arlan yang terduduk menatap gadis malang itu, pun bangkit, berdiri, dan mulai memasuki tempat yang tak bisa disebut sebagai ruangan. Ketika pintu baru dibuka bau busuk langsung menyerbak keluar. Bau kotoran, urine, dan makanan yang telah membusuk. Bagaimana tidak kedua kaki gadis malang itu, dipasung dengan kayu besar dan dirantai. Ia tidak bisa kemana - mana, pastinya ia melakukan segala aktifitas di sana, baik buang air besar, dan kecil. Di sudut gubuk terdapat pintu kecil, tempat Pamannya melempar makan, dan minuman dari luar. Kondisi Zara sangat memprihatinkan, kakinya lebam karena terlalu lama dipasung. Tubuhnya juga kurus, karena tidak mendapat makanan yang layak. Kondisi fisiknyanya jauh dari gadis pujaan hati Arlan dulu.
Zara yang dulu memiliki kulit putih bersih, kini tak berwarna lagi, karena kotor dan terpapar sinar matahari yang masuk dari atap gubuk yang penuh lubang. Arlan tak dapat membayangkan bagaiman Zara bisa hidup di kondisi yang bahkan untuk binatang saja tidak layak. Arlan mendekati Zara tanpa mempedulikan betapa busuknya tempat itu.
"Terimakasih untuk tetap hidup!" Arlan memeluk Zara begitu erat tanpa mempedulikan bau busuk, dan kondisi wanita yang ada di pelukannya.
Pak Sholeh yang melihat semua hal itu, tak dapat membendung air matanya.
"Akhirnnya ada yang menyelamatkanmu Nona Zara. Pak Adhi pasti bisa tenang sekarang di sana." Pak Sholeh mengusap air matanya.
Zara yang berada di dalam pelukan Arlan hanya diam tanpa expresi. Terlihat kehidupan di ke dua bola matanya telah mati, entah sejak kapan.
"Maafkan aku datang terlambat!" Arlan mempererat pelukannya.
Setelah mendapati gadis pujaan hatinya di sebuah gubuk yang berada di tengah sawah dalam keadaan tak manusiawi. Emosi Arlan pun memuncak, ia berusaha melapaskan pasungan Zara, tetapi begitu sulit. Ia terus berusaha memukul gembok pasungan itu, yang tak kunjung terbuka malahan melukai kaki Zara.
"Pak Sholeh, mohon jaga Zara sebentar, beri ia makanan yang layak!" Arlan berjalan meninggalkan Zara.
"Nak, Arlan mau ke mana?"
"Saya mau menjumpai Radit, Pamannya Zara. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan ini semua terhadap keponakannya," nada suara Arlan naik dan raut wajah sangat marah.
"Maaf, Pak. Saya terlalu emosi. Seharusnya ia melakukan pengobatan terhadap Zara bukan memasungnya secara tidak manusiawi seperti ini." Arlan menyadari nada suaranya yang tidak sopan terhadap Pak Sholeh.
"Memangnya kamu tahu di mana rumah Radit. Biar saya antar."
"Tidak, Pak. Saya akan bertanya dengan warga desa di dalam perjalanan nanti. Bapak di sini saja menjaga, Zara!"
"Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Radit?" tanya Pak Sholeh menghentikan langakah Arlan.
"Saya tetap akan menikahi Zara. Bagaimana pun ia satu-satunya wali Zara. Saya butuh izinnya dan kunci dari pasungan," ucap Arlan penuh keyakinan dan gelombang emosi.
Pak sholeh memandang punggung Arlan dari kejauhan dan menutup gubuk sebentar. Ia kembali ke rumahnya, mengambil makanan, dan minuman kemudian diberikannya kepada Zara yang begitu kelaparan.
"Semua mata tak akan mampu melirikmu lagi, Nak!" ucap Pak Sholeh sembari tanganya memberi minuman ke Zara.
"Tetapi pemuda itu sungguh berbeda, ia tetap melirik ke arahmu meskipun sudut dunia pun bukan untukmu. Orang berpikir betapa malangnya dirimu, Nak!"
Zara yang mendengar kata-kata pak Sholeh seakan kesadarannya kembali.
"Terima kasih," suara samar-samar terdengar dari kesunyian.
"Mereka tak sadar kau adalah orang yang paling beruntung meskipun berpalung malang," tambah Pak Sholeh.
***
Terima kasih udah mampir dan stay on di novelku, mohon kritik dan sarannya jangan lupa saling mendukung dalam berkarya dengan like, love, vote dan follow juga writer in Box🥰🥰🥰🥰💪💪.
Love you see ya....🥰🥰🥰🥰🥰💪
Arlan menemukan rumah Radit yang berada di tengah desa, iya langsung mengetuk pintu.TokTokTok"Assalammualaikum!" Arlan dengan tangan terus mengetuk pintu."Walaikumsalam!" Tante Sofia bergegas memubuka pintu.Sofia, wanita separuh baya itu, merupakan istri Radit Paman Zara. Ia langsung keluar mendengar ucapan salam Arlan dengan tangan dipenuhi busa Sabun, terlihat seperti selesai mencuci piring atau baju."Siapa, ya?" Tante Sofia asing dengan wajah Arlan."Saya Arlan, temannya Zara. Saya ingin bertemu dengan Paman Radit," jawab Arlan."Radit sedang keluar, tetapi sebentar lagi dia pulang untuk makan siang bersama Anaknya." Tante Sofia mengibaskan rambut yang menutup matanya dengan punggung tangan."Anak yang dimaksud! Pasti Anaknya Zara," pikir Arlan."Silahkan masuk!""Tunggu di dalam saja." Tante S
🌹Apapun kisah dibaliknya, hubungan antara Ibu dan Anak akan selalu begitu. Menyimpan kasih sayang satu sama lain🌹Zayn setelah mencuci muka berjalan ke ruang tengah di mana Sofia dan Arlan sedang berbincang-bincang."Tidak masuk akal, kamu ingin menikahi Zara dengan kondisi Zara saat ini," ucap Tante Sofia, mendengar tujuan Arlan menemui Pamannya Zara, Radit."Lebih tak masuk akal membiarkan Zara terpasung seperti itu." Arlan merapatkan giginya menahan emosi."Kami tidak punya pilihan lain," sesal Tante Sofia dengan keadaan Zara.Dilihat dari kondisi ekonomi keluarga Pamannya Zara, bisa dikatakan mereka keluarga berada, malahan lebih. Radit memiliki usaha sendiri dan Pabrik tahu di desanya. Ia juga termasuk orang terpandang di desa, dan tak mungkin mereka kurang uang atau kesulitan hanya untuk melakukan pengobatan pada Zara."Tidak punya pilihan!" seru Arlan dengan nada suara kesa
Tante Sofia sedang menyiapkan makan siang di meja makan, sedangkan Paman Radit menemui Arlan yang sedari tadi telah menunggunya."Perkenalkan paman, saya Arlan sujibto teman masa kecil Zara." Arlan mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya pada Paman Radit yang memang untuk pertama kalinya ia jumpai."Sujibto?" Paman Radit tidak asing dengan nama belakang Arlan."Iya, saya anaknya Burhan sujibto dari kampung hilir.""Ah, iya yang punya toko klontong yang cukup besar dikampung hilir itu, ya!" Paman Radit menyadari ia mengenal Bapaknya Arlan."Iya, Paman!""Kamu Anak Burhan yang kuliah di luar negeri itu, ya. Kapan sampainya di Indonesia?""Iya Paman! Saya sampai baru tadi subuh dan langsung ke desa ini."Setelah bersalaman, Radit mempesihlakan kembali Arlan duduk."Silahkan duduk!"Mereka pun duduk bersamaan. Sekila
Setelah sekian lama terkungkung kejamnya dunia Zara Adhira bisa merasakan hembusan angin di kulit lusuhnya. Setelah Arlan medapatkan kunci pasungan dari Paman Radit, ia Iangsung menemui Zara."Nak Arlan, berhasil mendapatkan kuncinya?" tanya Pak Sholeh yang sedang mendaping Zara."Alhamdulilah pak, meskipun harus bersetegang sedikit dengan Orang itu," jawab Arlan kesal mengingat Paman Radit."Radit bukanlah orang biasa, Nak!" gumam Pak Sholeh mengingat bagaimana Radit dulu mengacam keluarga Pak Soleh ketika ia mencoba melindungi Zara, ditambah lagi Pak Sholeh mengetahui tentang kebenaran Zayn. Hidup keluarga Pak Sholeh selalu dihantui oleh lelaki picik itu."Saya bisa merasakan itu, Pak!" jawab Arlan."Berhati-hatilah dengannya!" tambah Pak Sholeh Lagi."Iya, Pak. Saya akan menjauhkan Zara dari srigala berbulu domba itu." Arlan Geram mengingat nama Paman Radit.
"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh."Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya."Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan."Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram."Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar."Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
Bab 23 calon Ibu❤Pengharapan cinta ini terlalu besar dan tanpa kusadari aku telah menyakitimu❤Arlan termenung di meja kerjanya, karena sedari pagi telinganya telah panas oleh sebuah gosip yang membakar telinganya. Setiap mata mulai memandang dan berbisik, ia hanya bisa diam tanpa pejelasan. Meskipun dijelaskan pun tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuang tenaga dan menguras hati, karena seringkali yang didengar seolah-olah adalah kebenaran adanya. Kini Arlan menatap kosong pada pena yang digenggamnya, sembari tangan kanan memegangi pelipisnya, menggambarkan air muka sedikit frustasi."Are you ok, Arlan?" tanya Leo yang merupakan rekan kerja Arlan. Ia merupakan dosen Teknik pertambangan juga, dan meja kerjanya bersebelahan dengan Arlan di ruang dosen."Tidak terlalu baik!" jawab Arlan lesu. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang begitu gelisah."Apa kabar angin itu benar?" selidik Leo.Mendorong
Sepiring nasi dengan lauk ikan gurame goreng telah, Arlan hidang untuk Zara di meja makan. Nanar mata Zara menatap jijik melihat ikan goreng gurame yang ada di atas piringnya. Ia mengakat Ikan gurame itu dengan dua jemarinya dan mulutnya sedikit miring. Arlan yang sadar dengan raut wajah istrinya pun bertanya, "Kenapa? Ikannya tidak enak?""Enak!" Zara tersenyum dengan kening berkerut."Kalau enak kenapa tidak dimakan tanya Arlan?" mengambil sendok di tangan Zara dan menyuapinya."Buka mulut!" perintah Arlan yang dipatuhi Zara.Zara mulai mengunyah makanan yang baru saja disuapi Arlan, ia menelan makanan itu dengan setengah hati, karena bau ikan memasuki seluruh rongga hidungnya. Zara pun langsung berlari ke toilet untuk memuntahkan semua bau busuk itu dari lambungnya."Apa kamu baik-baik saja sayang! Bagaiman kalau kita ke rumah sakit aja!" saran Arlan menepuk-nepuk punggung istrinya yang terus muntah di closet.
Terdengar kericuhan di lapangan yang berada di depan kampus. Terlihat gerombolan mahasiswa membawa spanduk, dan beberapa diantaranya mengunakan pengikat kepala bertulisan 'Kami Butuh Keadilan'. Arlan yang barus saja membuka pintu mobilnya, bingung sejenak. Melihat begitu banyak Mahasiswa berlarian di depannya."Ada apa?" tanya Arlan menghentikan seorang pemuda berbaju biru yang berlarian kecil di depannya."Kami lagi demo, Pak!" jawab pemuda itu singkat, berlalu pergi."Demo!" pikir Arlan sejenak, memegang dagunya."Tumben!"Sudah lama tidak terdengar, para mahasiswa mengeluarkan taringnya. Sekarang tidak ada hujan, tiba-tiba demo. Bukan hal yang ganjil, mahasiswa melakukan demo atas sebuah kebijakan, tetapi semua terasa aneh. Ketika di zaman yang mulai individualisme, dan apatis ini. Ada beberapa yang berani meneriakan suara. Bukankah itu luar biasa, disaat mahasiswa lainya fokus dengan nilai, dan mengejar toga.
Arlan telah mengajak Zara berputar-putar mencari Gudeg Mbah Lindu. Sebuah gudeg buatan seorang wanita yang telah sepuh dimana ia telah berusia hampir satu abad. Kelezatan Gudegnya tiada tara, meskipun cuma jajanan sederhana, tetapi memiliki rasa istimewa. Arlan ingin Zara mencobanya juga."Biasanya Mbah Lindu jualan di sini, Zara!" tunjuk Arlan pada sebuah tempat lesehan, biasanya Mbah Lindu berjualan."Zara capek, Arlan!" keluh Zara."Apa Mbahnya tidak jualan lagi atau Dia cuma jualan di siang hari, ya?" pikir Arlan."Suami!" panggil Zara."Apa sayang?"Zara memegang perutnya, menunjukan gerak-gerik kelaparan."Lapar, ya?" tanya Arlan."Hmmm!" jawab Zara mengagukan kepalanya."Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja," usul Arlan, menarik tangan Zara."Ayo!" ajak Arlan, melihat Zara masih bengong.Karena tidak menemukan Gudeg Mbah
❤Tidak ada kata terimakasih di dalam cinta❤Renata yang sedang menggendeng tangan Dion dengan mesranya, tiba-tiba beradu pandang dengan dua sosok yang merengkuh nikmatnya sebuah kebersamaan. Dua mata coklat Renata menggeliat pada seorang Pria yang menggendong istrinya di punggung. Renata pun menghentikan langkahnya. Membuat Dion menoleh ke arahnya."Berhenti!" ucap Renata menahan tangan Dion yang berjalan di sampinya."Kenapa?""Bukankah itu, Pak Arlan!" Renata menunjuk ke arah paradise gate."Yang mana?""Itu yang menggendong wanita di punggunya!" tunjuk Renata."Ooooo, iya!""Ayo ke sana!" ajak Renata."Ngapain coba!" sungut Dion risih melihat Renata begitu tertarik dengan Arlan."Ya, aku cuma mau menyapa Pak Arlan!" jawab Renata santai menghadapi Dion yang mulai cemburu."Sekadar menyapa atau ingin menggoda Pak Arlan!" celetuk Dion d
Jika takdirmu adalah akuJika rasa resahmu adalah akuJika takdirku adalah kamuJika rasa resahku adalah kamuKuingin di garis takdirku hanya namamuTuamu, tuaku, kita akan selalu bersama. Arlan melajukan mobilnya. Menembus jalanan kota Yogyakarta, menuju The Lost World Castle. Sebuah tempat wisata di kawasan lereng gunung merapi. Arlan dan Zara memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai tempat wisata yang berada di ketinggian. Mereka bisa melihat segala hal tanpa sekat, dan membebaskan jiwa dari tekanan kehidupan. di sepanjang perjalanan Zara tertidur, menyenderkan kepalanya ke jendela mobil. "Jangan tidur seperti itu, Nanti telingamu sakit," tegur Arlan memiringkan kepala Zara ke bahunya yang sedang menyetir. "Aku akan pergi jauh! Jauh sekali!" Zara menceracau tidak jelas di dalam tidurnya. Arlan mencium pucuk kepala istrinya yang masih menceracau, "Kamu sungguh butuh liburan, Zara!" Untuk mencapai lokasi The L
❤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmen❤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade
❤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisu❤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawab❤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam