Bian dan Misell adalah sepasang sahabat. Karena kedekatannya, banyak orang lain tidak percaya jika mereka adalah teman biasa. Keduanya selalu berteriak dan menegaskan jika mereka hanyalah sahabat. Tidak akan berubah, dan akan terus seperti itu. Namun, apa jadinya bila ego dari mereka sendiri yang membuat persahabatan ini semakin rumit? Jika kalian pernah mengalaminya atau hanya ingin mengenangnya kembali, mungkin cerita ini yang kalian cari.
Lihat lebih banyak"Udah kali, Sell! Difoto aja catatannya, 'kan nanti juga bisa disalin di rumah," ucap gadis berjepit merah muda yang terlihat bingung dengan teman sebangkunya.
"Nggak mau! Ntar, kalau gue ngefoto papan tulis, ujung-ujungnya bakal jadi koleksi doang di galeri. No, no, no! Jadi, mending gue kelarin sekarang aja sekalian." Misell membalas dengan tatapan yang masih fokus ke papan tulis tanpa peduli hasil tulisannya.
"Nyatet, sih, nyatet, emang bisa kebaca kalau tulisannya naik turun gitu?" tanya Salsa yang semakin dibuat bingung.
Misell lantas mengalihkan pandangan ke buku catatannya, yang saat ini tulisannya sudah seperti sandi rumput. "Hah? Astaga, Salsa! Kenapa baru bilang?" Ia berteriak sampai murid lain yang masih ada di kelas memutar tubuh ke arahnya.
"Ya gimana mau bilang, kalau dari tadi sahabatku yang cantik ini nggak peduli sama sekelilingnya.”
Misell memasang wajah cemberutnya. "Ih, tetep ingetin dong, Sal! Terus ini gimana dong?"
"Nggak usah dicatet aja, kayak gue dong nggak pernah nyatet," kata Salsa dengan bangganya.
Misell adalah murid di kelas IPA-1 yang paling rajin, tak heran banyak anak kelasnya yang sering meminjam buku catatannya. Banyak yang heran juga, bagaimana bisa seorang Misell yang selalu pecicilan dan tidak bisa diam ini adalah murid yang rajin.
"Itu 'kan lo Salsa, pokoknya catetan gue nggak boleh sampai bolong! Gimana, nih?"
Salsa hanya menanggapi Misell dengan senyum miring dan berdiri dari tempat duduknya. "Bodo amat, wlee! Bang Adit udah jemput di depan. Gue pulang duluan, ya! Eh, atau mau nebeng?"
"Nggak deh, nanti gue pulang bareng the one and only .. Bian," balas Misell cengengesan.
"Dih, the one and only! Jadian aja kali!" Salsa berkata sambil melenggang pergi dan tak peduli dengan teriakan Misell.
"Udah gue bilang, kan, kalau gue nggak bakal pacaran sama Bian! Awas lo, ya!" teriak Misell tanpa peduli keadaan di sekelilingnya.
Tanpa Misell sadar, di waktu yang bersamaan juga, sosok laki-laki sedang berdiri di pintu sambil melihat ke arahnya. "Lagi ngomongin aku ya, Sell?" tanya laki-laki tersebut.
Bian dan Misell memang menggunakan aku-kamu sejak kecil. Bukan apa-apa, karena itu memang kebiasaan mereka sejak kecil. Justru, terlihat aneh jika mereka memakai sapaan lo-gue seperti yang lain.
"Dih, pede banget jadi orang!" jawab Misell tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis.
Laki-laki itu, berjalan ke arah Misell, dan duduk di bangku kosong yang ada di sampingnya. "Sell?" panggil Bian tiba-tiba.
"Hmm?"
"Pulang yuk, laper nih," ajak Bian pada Misell.
"Bentar, ini dikit lagi selesai kok," kata Misell sembari menyalin catatannya secepat mungkin.
"Sell, cari pacar aja sana! Biar nggak ngerepotin aku terus," ucap Bian pada Misell.
Misell yang mendengar itu, langsung memutar tubuhnya ke arah Bian seraya menunjukkan senyum paksanya. "Bian, kalau mau ngajak ngobrol omong kosong nanti aja ya.”
Bian pun tersenyum dan menuruti kemauan Misell untuk diam, ia hanya menatap Misell yang sedang sibuk menyalin catatannya.
"Oke udah beres, akhirnya!" kata Misell sambil memainkan buku-buku jarinya.
"Eh, udah aku bilangin berapa kali, kalau kamu lagi capek, secapek apapun itu, jangan pernah ngelakuin ini, gak baik," kata Bian sambil meraih dan memisahkan tangan Misell supaya tidak melanjutkan kegiatannya itu.
"Oh iya, lupa. Emang temanku yang satu ini paling cocok masuk jurusan IPA."
Bian tersenyum mendengar perkataan Misell. "Hahaha, ya udah yuk pulang!" ajak Bian kemudian.
"Yuk! Cari makan dulu yuk, katanya kamu laper. Eh, tapi aku juga laper sih, hehe," kata Misell sembari menghadap ke Bian.
"Hahaha, dasar! Makanan mulu yang ada di otak," kata Bian sambil mengacak-acak rambut Misell, lalu kabur menuju parkiran.
"Ish, Bian! Ngeselin!" teriak Misell sambil berlari menyusul Bian.
*****
Hidup Bian tidak akan pernah lepas dari Misell. Jujur saja, hari ini sahabat sekelasnya akan nongkrong di tempat biasa. Namun, entah kenapa Bian lebih memilih pulang dan jalan bersama Misell daripada pergi dengan teman-temannya yang lain. Di atas motor dalam perjalanan, mereka selalu asyik membicarakan apapun, mulai dari hal kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.
"Bi, aku kemarin habis mimpi," kata Misell tiba-tiba.
"Bukannya hidup kamu memang selalu mimpi? Kan kamu selalu ngehalu nggak jelas," ejek Bian.
"Ih, jahat! Aku serius kali ini. Mimpi beneran, Bi."
"Mimpi tuh ng gak ada yang beneran Misell, adek aku juga tahu. Masa kamu kalah sama anak SD," jawab Bian dengan nada mengejek.
"Ya pokoknya, mimpiku itu berasa nyata. Mau tahu nggak, aku mimpi apa? Hehe," ucap Misell pada Bian.
"Nggak."
"Ih, ayo Bian. Tanya kenapa!" kata Misell memaksa sembari memukul punggung Bian.
"Mimpi apa Misell?" tanya Bian dengan nada yang lembut.
"Aku mimpi jadi gurita," jawab Misell dengan semangat.
"Hah? Gurita yang di laut itu? Ngaco, kan kamu nggak bisa renang."
"Ih, namanya aja mimpi. Cuma mimpi! Mimpi tuh nggak ada yang beneran Bian," kata Misell mengulang pernyataan Bian tadi.
Lelaki itu mengulum senyumnya. “Iya deh iya."
"Jadi, ceritanya malam itu, aku lagi liat onesie gemes bentuk gurita di online shop. Terus tiba-tiba, malamnya sampai kebawa mimpi dong. Kesel banget, bikin kepikiran sampai sekarang," Misell bercerita panjang lebar pada Bian.
Perkataan Misell itu, tidak berhasil menahan senyum Bian. “Ya ampun, Sell. Gemes banget, sih!” Pada akhirnya, senyum Bian berubah semakin lebar dan terlihat sangat bahagia. Misell melanjutkan bercerita tentang mimpinya semalam. Perjalanan pulang ini mereka habiskan dengan bercerita dan sesekali tertawa bersama karena ceritanya yang selalu tidak masuk akal.
*****
tbc~
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahanđBian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen