Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.
Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.
Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.
Ia tersenyum. Empat bulan lagi, batinnya.
Gadis itu tersentak saat handphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
"Udah kali, Sell! Difoto aja catatannya, 'kan nanti juga bisa disalin di rumah," ucap gadis berjepit merah muda yang terlihat bingung dengan teman sebangkunya."Nggak mau! Ntar, kalau gue ngefoto papan tulis, ujung-ujungnya bakal jadi koleksi doang di galeri. No, no, no! Jadi, mending gue kelarin sekarang aja sekalian." Misell membalas dengan tatapan yang masih fokus ke papan tulis tanpa peduli hasil tulisannya."Nyatet, sih, nyatet, emang bisa kebaca kalau tulisannya naik turun gitu?" tanya Salsa yang semakin dibuat bingung.Misell lantas mengalihkan pandangan ke buku catatannya, yang saat ini tulisannya sudah seperti sandi rumput. "Hah? Astaga, Salsa! Kenapa baru bilang?" Ia berteriak sampai murid lain yang masih ada di kelas memutar tubuh ke arahnya."Ya gimana mau bilang, kalau dari tadi sahabatku yang cantik ini nggak peduli sama sekelilingnya.”Misell memasang wajah cemberutnya. "Ih, tetep ingetin dong, Sal! Terus ini gimana do
Esok hari telah tiba, hari yang ditunggu-tunggu semua manusia di bumi ini--hari Minggu. Hari di mana orang-orang bisa istirahat sejenak melepas penat atau hanya sekadar berkumpul dengan keluarga. Hari Minggu seakan menjadi hari kebahagiaan Misell. Ia hanya akan tertidur di kamar seharian tanpa peduli apa pun selain kasur dan selimut kesayangannya. mama dan papanya sudah paham betul watak anaknya itu.TING! TONG!Bel rumah Misell berbunyi setelah ada seseorang yang memencetnya. Wulan segera beranjak dari aktivitasnya di dapur untuk mengecek siapa yang berkunjung pagi-pagi di hari Minggu. "Eh, Bian! Nyari Misell, ya? Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Wulan, saat tahu Bian yang datang."Iya Tante, mau ngajak jogging di taman kompleks perumahan sebelah.""Eh, tapi kayaknya Misell masih molor deh, emang kebiasaan tuh anak kalau hari Minggu. Kamu langsung naik aja ya Bian, ke kamar Misell. Bangunin sendiri, Tante mah udah nyerah ngebangunin
Seorang pria yang memakai jersey berwarna navy dan bawahan jogger pants, sedang berdiri di depan pintu rumah bercat putih dengan menenteng kresek yang berisi dua porsi bubur ayam. Siapa lagi kalau bukan Biantara, orang yang baru saja direpotkan si pemilik rumah ini.TING! TONG!Bel rumah telah dipencet oleh Bian berulang kali, tetapi masih tidak ada jawaban. Tidak menyerah, Bian mengulang hal yang sama. Sebenarnya dia bisa saja langsung masuk, karena tahu rumah ini tidak akan terkunci di hari minggu. Namun, ia tetap menghargai si pemilik rumah dan tidak bertindak semaunya secara tidak sopan. Akhirnya dia menyerah dan merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih di sana. Lelaki itu lantas mencari kontak Misell dan menekan tombol calling."Halo? Kenapa? Mau minta maaf?" balas Misell di seberang sana. Dilihat dari intonasi bicaranya dia masih marah pada Bian."Eh, kalau mau marah nanti aja, sekarang mendin
BRAKKK!!!Suara gebrakan meja berhasil mengagetkan seluruh siswa yang saat ini sedang serius belajar untuk ulangan harian nanti. Orang yang paling dikagetkan di sini adalah Bian dan Arya, mereka berdua langsung menatap tajam sang pelaku. Bisa dipastikan Tama adalah pelakunya!"Lo bisa nggak, sih, tenang dikit? Belajar sono! Berisik mulu!" omel Arya pada Tama."Lo pada harus tahu berita terbaru!" kata Tama dengan semangat 45."Ye, bakat admin lambe turah lo kagak ada matinya. Kenapa lagi sekarang?""Ayo dong, tebak dulu apaan?"Arya terlihat berpikir sebentar dan akhirnya mencoba menebak. "Batagor Kang Asep lagi diskon?"Tama menggelengkan kepala yang artinya jawaban Arya salah. "Salah, ayo tebak lagi!""Suami Bi Eni kagak pulang lagi?" tebak Arya sekali lagi."Ah, si kambing! Mau lo apaan, sih? Suka ngasal nebaknya!" ucap Tama geram.Bian yang mendengar kedua sahabatnya berdebat, hanya d
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg