Esok hari telah tiba, hari yang ditunggu-tunggu semua manusia di bumi ini--hari Minggu. Hari di mana orang-orang bisa istirahat sejenak melepas penat atau hanya sekadar berkumpul dengan keluarga. Hari Minggu seakan menjadi hari kebahagiaan Misell. Ia hanya akan tertidur di kamar seharian tanpa peduli apa pun selain kasur dan selimut kesayangannya. mama dan papanya sudah paham betul watak anaknya itu.
TING! TONG!
Bel rumah Misell berbunyi setelah ada seseorang yang memencetnya. Wulan segera beranjak dari aktivitasnya di dapur untuk mengecek siapa yang berkunjung pagi-pagi di hari Minggu. "Eh, Bian! Nyari Misell, ya? Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Wulan, saat tahu Bian yang datang.
"Iya Tante, mau ngajak jogging di taman kompleks perumahan sebelah."
"Eh, tapi kayaknya Misell masih molor deh, emang kebiasaan tuh anak kalau hari Minggu. Kamu langsung naik aja ya Bian, ke kamar Misell. Bangunin sendiri, Tante mah udah nyerah ngebangunin," kata Wulan panjang lebar mengeluhkan putrinya itu.
"Iya, Tante Wulan, kalau gitu, Bian permisi ke atas dulu ya," pamit Bian pada Wulan.
Setibanya di depan kamar Misell, Bian langsung membuka pintu kamar Misell tanpa mengetuk pintu atau segala macam. Hal itu sudah biasa ia lakukan sejak dulu karena saking seringnya ia harus membangunkan Misell yang suka molor saat ada janji. Namun, untuk jogging hari ini, Bian memang tidak merencanakan sebelumnya. Ia berniat untuk mengetes apakah sahabatnya itu sudah tobat. Namun, kenyataannya Misell tetaplah Misell. Ia tidak akan berubah secepat itu.
"Misell! Bangun woi, molor mulu. Ayo jogging!" teriak Bian membangunkan Misell.
Yang dibangunkan hanya mengubah posisi tidurnya tanpa membuka matanya sedetik pun. Tak menyerah, Bian melakukan segala macam cara untuk membangunkan Misell. Namun hasilnya tetap sama, Misell tetap pada posisinya. Entah mimpi apa dia kali ini sampai sulit sekali dibangunkan, apakah kali ini ia menjadi gurita lagi? Atau dia malah menjadi ikan pari? Entahlah, mungkin nanti atau besok, Misell pasti akan menceritakannya pada Bian.
Setelah waktu berlalu, Bian akhirnya menyerah daripada ia harus kesiangan untuk jogging demi menunggu Misell bangun. Bian meninggalkan kamar Misell, dan segera pamit untuk memutuskan jogging sendirian di taman kompleks perumahan sebelah. Bukannya ia tidak punya sahabat lain selain Misell, di kelasnya ia memiliki dua sahabat yang selalu ada kapanpun Bian inginkan. Namun, kelakuan mereka berdua selalu membuat Bian geleng-geleng kepala.
Tama dan Arya adalah dua sahabat yang memiliki kebiasaan konyol yaitu mengumpulkan bolpoin anak sekelas yang tintanya sudah habis. Bian heran apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak ada faedahnya. Dijual pun sepertinya tidak ada yang berminat. Namun, sekonyol apa mereka berdua, jika Bian membutuhkan bantuan, Tama dan Arya siap membantu dengan saran-sarannya yang masuk akal. Namun, acara jogging ini memang tanpa ia rencanakan sebelumnya. Jadi, ia akan tetap jogging sendiri daripada harus kembali lagi ke rumah dan membatalkan niatnya. Toh, baginya tidak ada teman yang menemani, tidak akan jadi penghambat untuk hidup sehat.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Misell baru saja membuka matanya dan turun ke bawah, untuk sekedar menyapa Mama dan Papanya yang pasti sekarang ada di halaman belakang rumah. Sebenarnya, Misell memiliki kakak laki-laki bernama Reihan yang sedang kuliah di Malang dan harus ngekos. Akhirnya, ia seakan-akan menjadi anak tunggal, karena hanya dia anak yang saat ini di rumah.
"Pagi Ma, Pa! Kok, udah seger aja pagi-pagi?" sapa Misell tersenyum kepada orang tuanya.
"Kamu aja Sell, yang bangunnya kesiangan. Tadi Bian ke sini, udah bangunin kamu juga, tapi kamu tetep nggak bangun. Emang dasar ya kamu itu!" omel Wulan panjang lebar.
"Hah? Serius, Ma? Kok, Bian nggak bilang apa-apa sebelumnya? Emangnya, mau ke mana?" tanya Misell tidak sabaran.
"Katanya tadi mau jogging. Tapi pas ngajak kamu, kamu masih tidur dan nggak bisa dibangunin, akhirnya dia jogging sendiri, deh," jawab Mama Misell.
"Yaah, sayang banget! Aku ke atas dulu ya, mau telepon Bian dulu. Bye Ma, Pa, have fun!" seru Misell dengan langkah kaki yang sudah berjalan menuju kamarnya.
Mama, Papa Misell hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya itu.
Sesampainya Misell di kamar, ia langsung mengambil handphone-nya di meja kecil samping tempat tidurnya. Segera, ia langsung menuju menu WhatsApp dan mencari nama Bian di sana. Ia berniat untuk mengirimkan chat terlebih dahulu ke Bian.
Misellia
Biiiii
Tadi kamu ke sini yaa?
Maaf baru bangunn:( hehe
Masih di sana nggak?
Sudah tiga menit berlalu sejak mengirim chat-nya ke Bian, tetapi belum ada balasan dan centang masih berwarna abu-abu. Ketidaksabaran Misell membuatnya segera menekan tombol calling untuk menelpon Bian.
"Halo, ada apa, Sell? Udah bangun?" balas seseorang di seberang sana.
"Maafin aku Bian, aku baru bangun. Kamu, sih, nggak ngebangunin aku tadi." Misell memasang wajah melas yang sebenarnya sia-sia, karena Bian juga tidak akan bisa melihatnya.
"Eh, aku tadi udah ngebangunin kamu Sell. Andai aja, di kamarmu ada CCTV-nya, bisa kamu liat betapa susahnya aku ngebangunin kamu tapi nggak bangun-bangun," omel Bian panjang lebar di seberang sana.
"Hehe ya maaf, kan, aku emang susah bangun di hari Minggu. Lagian kenapa, sih, nggak bilang dulu sebelumnya. By the way, masih di sana nggak, Bi?" tanya Misell di telepon.
"Iya, nih, masih, tapi udah selesai jogging, sih. Kenapa emangnya? Mau ke sini?"
"Nggak deh, aku belum mandi. Aku titip bubur ayam aja ya, sahabatku tersayang. Aku tahu kamu baik banget," kata Misell dengan nada merayu.
"Dih apa-apaan, nggak mau! Males banget, orang aku juga bentar lagi balik.”
"Yah, Bian Please! Bian! Bian! Bian!" teriak Misell setelah tahu bahwa teleponnya diputuskan sepihak oleh Bian.
"Dasar, punya sahabat nggak ada gunanya! Awas aja kalau besok ketemu," Misell mengomel sendiri di depan handphone-nya.
Di tempat lain, Bian bukannya pulang tapi ia justru berjalan ke arah penjual bubur ayam langganannya. "Mang, bubur ayam komplit dua porsi ya, dibungkus," ucap Bian pada penjual bubur ayam tersebut.
"Eh, Bian! Sendirian aja nih? Biasanya sama Misell. Kenapa? Lagi berantem?" tanya penjual bubur ayam tersebut.
"Enggak kok Mang, Misell tadi belum bangun. Jadi, ya udah deh, aku ke sini sendiri," jawab Bian dengan menampilkan senyum manisnya yang tidak pernah ketinggalan itu.
Bukan Bian namanya jika ia akan cuek dengan Misell. Tidak akan bisa rasanya kalau ia harus marah pada Misell. Apa pun keinginan Misell, ia akan menurutinya. Bian rasa, itulah bentuk kepeduliannya pada Misell, perempuan yang paling ia sayangi setelah mamanya.
*****
Seorang pria yang memakai jersey berwarna navy dan bawahan jogger pants, sedang berdiri di depan pintu rumah bercat putih dengan menenteng kresek yang berisi dua porsi bubur ayam. Siapa lagi kalau bukan Biantara, orang yang baru saja direpotkan si pemilik rumah ini.TING! TONG!Bel rumah telah dipencet oleh Bian berulang kali, tetapi masih tidak ada jawaban. Tidak menyerah, Bian mengulang hal yang sama. Sebenarnya dia bisa saja langsung masuk, karena tahu rumah ini tidak akan terkunci di hari minggu. Namun, ia tetap menghargai si pemilik rumah dan tidak bertindak semaunya secara tidak sopan. Akhirnya dia menyerah dan merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih di sana. Lelaki itu lantas mencari kontak Misell dan menekan tombol calling."Halo? Kenapa? Mau minta maaf?" balas Misell di seberang sana. Dilihat dari intonasi bicaranya dia masih marah pada Bian."Eh, kalau mau marah nanti aja, sekarang mendin
BRAKKK!!!Suara gebrakan meja berhasil mengagetkan seluruh siswa yang saat ini sedang serius belajar untuk ulangan harian nanti. Orang yang paling dikagetkan di sini adalah Bian dan Arya, mereka berdua langsung menatap tajam sang pelaku. Bisa dipastikan Tama adalah pelakunya!"Lo bisa nggak, sih, tenang dikit? Belajar sono! Berisik mulu!" omel Arya pada Tama."Lo pada harus tahu berita terbaru!" kata Tama dengan semangat 45."Ye, bakat admin lambe turah lo kagak ada matinya. Kenapa lagi sekarang?""Ayo dong, tebak dulu apaan?"Arya terlihat berpikir sebentar dan akhirnya mencoba menebak. "Batagor Kang Asep lagi diskon?"Tama menggelengkan kepala yang artinya jawaban Arya salah. "Salah, ayo tebak lagi!""Suami Bi Eni kagak pulang lagi?" tebak Arya sekali lagi."Ah, si kambing! Mau lo apaan, sih? Suka ngasal nebaknya!" ucap Tama geram.Bian yang mendengar kedua sahabatnya berdebat, hanya d
Bian saat ini sedang bersusah payah untuk fokus dengan materi. Kalimat teman-temannya di kantin tadi, sukses membuatnya memikirkan masalah itu, sampai-sampai tidak fokus ke pelajaran. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari kelasnya, untuk menemui Misell dan pulang ke rumah. Sisa waktu pelajaran, hanya Bian gunakan untuk memandangi detik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.KRINGGG!!!Suara yang dinanti-nantikan, akhirnya berbunyi. Dengan secepat kilat, dia langsung membereskan buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan segera pergi ke luar kelas. Tama dan Arya hanya melongo kebingungan melihat tingkah Bian. Mereka berdua heran karena tidak biasanya Bian bersikap seperti ini.Bian berlari menuju ruang di samping kelasnya yang bertuliskan 12 IPA-1 di pintu bagian atasnya. Setelah ia melihat kedalam, orang yang dicarinya masih berbicara dengan Bu Indah, guru Kimia SMA Pelita yang terkenal killer itu. "Ck, dasar! Masih aja suka cari muka sa
Malam sudah semakin larut, tetapi lelaki ini tak kunjung memejamkan matanya. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur dengan maksud mengubah posisi tidurnya agar cepat terlelap. Namun, tetap saja semua terasa sia-sia.Hingga detik ini, ia tak kunjung memejamkan matanya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar, seakan bermaksud meluapkan seluruh perasaan yang mengganjal di hatinya sejak tadi. Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya saat ini?Entahlah, terlalu banyak sampai ia tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.*****Keseharian Bian tidak pernah berubah sejak dulu, setiap pagi dia harus menjemput Misell untuk berangkat ke sekolah bersama. Bukan masalah besar bagi Bian jika harus menjemput Misell. Karena, rumahnya hanya berbeda blok di perumahan yang sama. Walaupun masalah kemarin masih mengganggu pikirannya, dia tetap harus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Bian berpikir, mungkin Misell m
"Kenapa lo? baru ditinggal bentar udah kangen?" tanya Misell tanpa dosa saat baru tiba di kelasnya. Gadis itu seolah melupakan apa yang dialaminya."Dih, ogah! Pake acara kabur-kaburan lagi. Dari tadi gue diomongin sama banyak orang tau, dikiranya gue lagi berantem sama lo," jawab Salsa dengan sedikit emosi.Misell hanya tertawa membuat Salsa semakin menatapnya penuh kesal. "Lagian lo kenapa, sih? udah ketemu Bian?" tanya Salsa."Iya, udah."Perkataan itu menutup obrolannya kali ini, karena Pak Bimo, guru Fisikanya sudah memasuki ruang kelas. "Lo masih utang cerita sama gue!" bisik Salsa.Misell yang mendengar perkataan itu, hanya memutar bola matanya malas. Misell berbeda dengan cewek lain yang sangat suka bercerita pada sahabatnya jika ada masalah percintaan. Dia cenderung memendam dan mencari penyelesaian masalahnya sendiri."Selamat siang semua, tolong semua buku yang ada di meja, dimasukkan ke dalam tas. Kita akan ulangan hari
Bian memarkirkan sepeda motornya, di samping sepeda motor yang ia kenal. Siapa lagi pemiliknya, jika bukan Tama dan Arya. Setelah memarkirkan motornya, dia lalu bergegas masuk ke tempat bertuliskan Warung Bi Eni itu, yang sudah sangat ramai pengunjung."Woy, nyet! Ke mana aja lo? Pasti jalan-jalan dulu sama Tiara," tebak Arya.Bukannya menjawab pertanyaan Arya, Bian justru mengambil bala-bala yang saat ini ada di depannya."Eh, ditanyain tuh dijawab!" kata Tama pada Bian dengan gemas.Bian tetap tidak berkata apa pun dan memasang wajah kusutnya."Tuh, muka juga kenapa lagi?" Tama semakin gemas dengan Bian, yang sedari tadi hanya diam dan tidak merespon ucapannya."Gara-gara lo ditolak Tiara? Salah siapa langsung ditembak. Baru juga jalan sekali. Nggak sabaran banget sih lo," sahut Arya dengan asal.Mendengar perkataan Arya barusan, membuat Bian akhirnya membuka suara. "Apa-apaan sih, lo! Ya kagak, lah! Ngapain gue ne
Setelah hening beberapa saat, Bian memutuskan untuk pamit pulang karena malam yang sudah semakin larut. "Sell, aku pamit pulang dulu ya, besok aku jemput ke sekolah.""Oke Bi, ayo! Aku anter kamu sampai depan!" kata Misell pada Bian.Bian menoleh ke arah Misell, karena dia tidak percaya dengan ucapan Misell. "Sell, aku nggak salah denger?" tanya Bian heran.Misell menarik sudut bibirnya ke atas. “Kamu nggak suka aku anter ke depan? Ya udah deh nggak jadi.""Eh, iya, iya, suka. Yuk!" ajak Bian dengan senyum di bibirnya.Misell membalas senyum Bian, dengan senyumannya yang tak kalah manis."Jangan senyum.""Kenapa, Bi?" tanya Misell pada Bian, berharap dia akan mendengar gombalan Bian."Takut tikus di rumah kamu pada kabur, hahaha," ejek Bian."Ih, Bian! Ngeselin! Mau ribut apa mau pulang?" tanya Misell dengan kesal."Ya pulang, lah!" jawab Bian pada Misell."Ya udah," kata Misell sembari jalan keluar m
Motor Bian akhirnya tiba di depan rumah Tiara. Mereka berdua, telah berada di atas motor selama hampir sejam, karena jarak yang lumayan jauh, ditambah macetnya jalanan soreitu. Tiara segera turun dari boncengan dan melepas helmnya. "Makasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin," ucap Tiara sembari tersenyum pada Bian."Iya, sama-sama, Ra. Nggak ngerepotin sama sekali kok," kata Bian dengan membalas senyum Tiara.Tiara terdiam dan bergumam dalam hati. Astaga, kenapa manis sekali senyumnya?"Kalau gitu, aku masuk dulu ya, Kak. Pulangnya hati-hati," kata Tiara sambil menyodorkan helm yang dipakainya tadi kepada Bian. Lelaki itu lantas mengambil helm tersebut sembari tersenyum Pada Tiara.Tiara segera berbalik dan memasuki rumahnya. Saat Bian hendak memakai helmnya kembali, tiba-tiba ponsel di saku hoodie-nya bergetar. Menandakan jika ada panggilan masuk untuknya. Saat Bian melihat nama di layar ponselnya, dia mengembuskan napasnya sekilas
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg