"Kenapa lo? baru ditinggal bentar udah kangen?" tanya Misell tanpa dosa saat baru tiba di kelasnya. Gadis itu seolah melupakan apa yang dialaminya.
"Dih, ogah! Pake acara kabur-kaburan lagi. Dari tadi gue diomongin sama banyak orang tau, dikiranya gue lagi berantem sama lo," jawab Salsa dengan sedikit emosi.
Misell hanya tertawa membuat Salsa semakin menatapnya penuh kesal. "Lagian lo kenapa, sih? udah ketemu Bian?" tanya Salsa.
"Iya, udah."
Perkataan itu menutup obrolannya kali ini, karena Pak Bimo, guru Fisikanya sudah memasuki ruang kelas. "Lo masih utang cerita sama gue!" bisik Salsa.
Misell yang mendengar perkataan itu, hanya memutar bola matanya malas. Misell berbeda dengan cewek lain yang sangat suka bercerita pada sahabatnya jika ada masalah percintaan. Dia cenderung memendam dan mencari penyelesaian masalahnya sendiri.
"Selamat siang semua, tolong semua buku yang ada di meja, dimasukkan ke dalam tas. Kita akan ulangan hari ini," sapa Pak Bimo pada siswa-siswi di kelas IPA-1.
"Hah?"
"Pak, kenapa mendadak?"
"Pak Bimo, saya minta waktu lima menit untuk belajar dulu pak."
"Pak, saya belum belajar."
"Pak, nggak bisa diundur aja ulangannya?"
Dan masih banyak ucapan lain yang keluar dari mulut siswa IPA-1 karena ada ujian yang mendadak ini.
"Tidak ada toleransi, sekarang cepat masukkan buku ke dalam tas. Kita ulangan sekarang!" ucap Pak Bimo menegaskan setiap kata dari kalimatnya.
Misell hanya menghela napasnya berat. Misell paling lemah di pelajaran Fisika daripada mata pelajaran yang lain. Walau begitu, Misell tidak pernah mendapatkan nilai Fisika di bawah angka tujuh. Rasanya, ia ingin mengutuk orang yang menemukan dan menciptakan Ilmu Fisika. Baginya, ia lebih memilih untuk menyelesaikan seratus soal Kimia daripada harus mengerjakan satu soal Fisika, yang menurutnya kebanyakan teori.
"Sell, gue nggak tau harus ngisi apa nanti!" kata Salsa pada Misell.
"Lo kira, gue paham Fisika? Ya enggak!"
"Ngomongnya nggak bisa, ntar ujung-ujungnya juga dapet nilai bagus! Dasar!" omel Salsa, tetapi hanya dibalas senyum singkat dari Misell.
*****
Bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar beberapa menit yang lalu. Saat ini Misell berada di Ruang Diskusi bersama Gerald, Salsa, dan tim yang lain. Hari ini memang akan diadakan rapat perdana project angkatan. Gerald memilih tempat ini, karena dirasa cocok untuk kegiatan rapatnya kali ini. "Halo, selamat sore temen-temen semua! Sebelumnya, gue pengen ngucapin banyak terima kasih buat kalian semua, yang sudah bersedia bergabung di tim project angkatan kita," sapa Gerald selaku ketua tim.
Rapat dilanjutkan dengan membahas tema awal, serta kegiatan apa yang akan dilaksanakan. Misell mulai mengajukan usulannya terlebih dahulu. "Gue ada usul soal kegiatannya, jadi nanti kita ngadain acara bazar dan music festival. Dari sebagian dana yang kita dapatkan, bisa didonasikan ke orang yang membutuhkan. Istilahnya konser amal lah. Tapi, nanti PR kita, memikirkan ide bagaimana membuat acara itu bisa beda dari yang lain.”
"Boleh, tuh, idenya bagus."
"Iya, gue setuju. Udah lama juga, sekolah kita nggak ada acara musik festival kaya gitu."
"Nah, bener! Jadi selain kita bisa seneng-seneng dan lebih akrab sesama satu angkatan, kita juga bisa beramal melalui donasi itu." Salsa menambahi perkataan yang lain.
"Oke, jadi sekarang konsep acaranya udah deal, ya? Buat tema acaranya nanti kita pikir lagi bareng-bareng," ucap Gerald.
"Oke, deal!" seru semua anggota tim dengan kompak.
Setelah beberapa menit waktu berlalu, akhirnya rapat ini telah selesai. "Oke, gue rasa rapat hari ini cukup. Kalian bisa pulang dan selamat istirahat. Terima kasih semua," kata Gerald menutup rapatnya hari ini.
Tepuk tangan dari orang yang ada di ruangan ini, berbunyi riuh selama beberapa detik. Sekilas, tatapan Gerald mengarah pada Misell dan tersenyum ke arahnya. Misell hanya membalasnya dengan senyum singkat.
Semua anak kecuali Gerald, Misell, dan Salsa telah pergi dari ruangan ini. "Kalian balik naik apa?" tanya Gerald seraya memanggul ranselnya ke pundak.
"Hmm, gue kayaknya mau nebeng Salsa deh, Ger," jawab Misell.
"Eh, siapa bilang gue izinin, sorry Sell gue udah ada janji nih sama doi. Jadi, gue pulang bareng doi.” Misell tidak mempercayai perkataan Salsa yang baru saja diucapkannya. Ia yakin, bahwa sekarang Salsa tidak punya gebetan apalagi pacar. Ia hanya mengumpat dalam hati, merutuki Salsa yang sepertinya sengaja supaya Misell bisa pulang bersama Gerald.
Misell sebenarnya sudah tidak ingin berurusan lagi dengan Gerald selain masalah project angkatan. Dia tidak mau jatuh terlalu dalam dan nantinya bisa menimbulkan masalah-masalah lain yang tidak terduga.
"Sell, mau balik bareng gue?" tanya Gerald kemudian.
Misell terdiam sejenak untuk memikirkannya. "Hmm, iya deh boleh," jawab Misell dengan ragu-ragu.
Salsa yang mendengar obrolan itu, langsung tersenyum puas karena rencananya berhasil. Dia langsung pamit, karena tidak tahan dengan tatapan Misell, yang seakan-akan ingin membunuhnya saat itu juga.
Sepeninggal Salsa, Gerald mengajak Misell untuk keluar dari ruang diskusi, dan menuju ke parkiran untuk pulang. Mereka berdua berjalan bersama secara beriringan, di koridor yang sudah sepi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak hampir dua jam yang lalu.
*****
Beberapa jam yang lalu….
"Eh Ya, Bi, nongkrong, yuk?" ajak Tama setelah bel pulang sekolah berbunyi.
"Kalau gue mah gas-gas aja Tam. Bian, nih, yang biasanya nggak bisa, karena harus nganter bebeb Misell-nya pulang," kata Arya.
Bian yang mendengarnya langsung menoyor kepala Arya. "Gue bisa, hari ini Misell ada rapat project angkatan jadi bakal pulang sorean."
"Project angkatan yang bareng Gerald itu? yakin lo ninggalin Misell sama Gerald?" tanya Tama pada Bian.
"Ya, emang kenapa? Gerald anak baik-baik. Gue bakal nggak yakin kalo Misell gue tinggalin sama lo berdua."
"Lah, lo kira gue juga mau ditinggal sama Misell? Ya kagak! Tuh, anak nyusahin banget. Gue heran kenapa lo bisa betah seumur hidup lo temenan sama tuh anak," ucap Tama dengan kesal. Namun, Bian hanya merespon perkataan Tama dengan senyum miringnya.
"Kalian berdua, nih, mau berantem apa nongkrong?" tanya Arya untuk melerai perdebatan kedua sahabatnya itu.
"Ya nongkrong, lah," jawab Tama dengan semangat.
"Ya udah, ayo!" ajak Arya.
"Yuk!" jawab Bian dan Tama yang hampir bersamaan.
Sesampainya mereka bertiga di parkiran, tiba-tiba ada yang memanggil Bian. "Kak Bian!" teriak seorang gadis yang berlari ke arah mereka bertiga. Setelah ia sudah ada di depan Bian, Tiara melanjutkan perkataannya. "Kak, aku boleh nebeng pulang nggak? Dari tadi aku order ojek online di cancel terus."
Tama dan Arya yang melihat itu langsung heboh. "Gila, temen gue! Sejak kapan lo punya gebetan adik gemes? Punya gebetan baru nggak bilang-bilang!"
"Mana cantik banget lagi anaknya, dasar Bian! Nggak ada Misell, tapi adik kelas juga disikat. Emang orang ganteng mah bebas.”
"Diem deh lo semua! Berisik!"
Tiara yang melihat kejadian ini hanya bisa terdiam dan menatapnya dengan heran.
"Sorry ya Ra, temen gue emang pada nggak waras semua. Oke gue anter lo pulang," kata Bian pada Tiara.
"Mantap jiwa, Bos-ku!"
"Sikat, Bro!" Tama dan Arya masih saja ribut dan tidak bisa diam.
"Gue mau antar Tiara pulang dulu, nanti gue nyusul ke tempat biasa."
"Siap!" jawab Tama dan Arya yang hampir bersamaan, kemudian langsung pergi meninggalkan Bian dan Tiara yang masih di parkiran.
Setelah kepergian Tama dan Arya, Bian menyodorkan helm pada Tiara. Selang beberapa waktu, mereka berdua meninggalkan sekolahan dengan menyisakan asap sepeda motor Bian yang masih mengepul di udara.
*****
Seorang lelaki sedang duduk di bangku halte depan sekolah, dia hanya duduk sendiri dengan sesekali membuka handphone-nya. Lelaki itu adalah Bian. Setelah Bian mengantar Tiara pulang ke rumah, yang awalnya dia akan pergi ke tempat tongkrongannya, tiba-tiba Bian mengubah niatnya dan memutuskan kembali lagi ke sekolah untuk menjemput Misell. Sejak dia menunggu di halte selama beberapa menit yang lalu, Misell belum juga menampakkan batang hidungnya.
Saat melihat ke arah lapangan, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sejak tadi ia tunggu. Namun, bukannya Bian segera menghampiri Misell, ia justru memilih diam di tempat karena tahu ada seseorang yang saat ini berjalan di samping Misell.
Bian hanya tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya, ia bersusah payah datang kembali ke sekolah untuk menjemput Misell. Bian lupa bahwa saat ini sudah ada Gerald yang akan mengantar pulang Misell saat Bian tak ada.
Bian bangkit dari duduknya dan segera menaiki motor untuk pergi ke tujuan awalnya, yaitu tempat tongkrongannya. Bian harap, ia bisa sedikit terhibur setelah berkumpul dengan Tama dan Arya di sana.
*****
TBC~
Bian memarkirkan sepeda motornya, di samping sepeda motor yang ia kenal. Siapa lagi pemiliknya, jika bukan Tama dan Arya. Setelah memarkirkan motornya, dia lalu bergegas masuk ke tempat bertuliskan Warung Bi Eni itu, yang sudah sangat ramai pengunjung."Woy, nyet! Ke mana aja lo? Pasti jalan-jalan dulu sama Tiara," tebak Arya.Bukannya menjawab pertanyaan Arya, Bian justru mengambil bala-bala yang saat ini ada di depannya."Eh, ditanyain tuh dijawab!" kata Tama pada Bian dengan gemas.Bian tetap tidak berkata apa pun dan memasang wajah kusutnya."Tuh, muka juga kenapa lagi?" Tama semakin gemas dengan Bian, yang sedari tadi hanya diam dan tidak merespon ucapannya."Gara-gara lo ditolak Tiara? Salah siapa langsung ditembak. Baru juga jalan sekali. Nggak sabaran banget sih lo," sahut Arya dengan asal.Mendengar perkataan Arya barusan, membuat Bian akhirnya membuka suara. "Apa-apaan sih, lo! Ya kagak, lah! Ngapain gue ne
Setelah hening beberapa saat, Bian memutuskan untuk pamit pulang karena malam yang sudah semakin larut. "Sell, aku pamit pulang dulu ya, besok aku jemput ke sekolah.""Oke Bi, ayo! Aku anter kamu sampai depan!" kata Misell pada Bian.Bian menoleh ke arah Misell, karena dia tidak percaya dengan ucapan Misell. "Sell, aku nggak salah denger?" tanya Bian heran.Misell menarik sudut bibirnya ke atas. “Kamu nggak suka aku anter ke depan? Ya udah deh nggak jadi.""Eh, iya, iya, suka. Yuk!" ajak Bian dengan senyum di bibirnya.Misell membalas senyum Bian, dengan senyumannya yang tak kalah manis."Jangan senyum.""Kenapa, Bi?" tanya Misell pada Bian, berharap dia akan mendengar gombalan Bian."Takut tikus di rumah kamu pada kabur, hahaha," ejek Bian."Ih, Bian! Ngeselin! Mau ribut apa mau pulang?" tanya Misell dengan kesal."Ya pulang, lah!" jawab Bian pada Misell."Ya udah," kata Misell sembari jalan keluar m
Motor Bian akhirnya tiba di depan rumah Tiara. Mereka berdua, telah berada di atas motor selama hampir sejam, karena jarak yang lumayan jauh, ditambah macetnya jalanan soreitu. Tiara segera turun dari boncengan dan melepas helmnya. "Makasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin," ucap Tiara sembari tersenyum pada Bian."Iya, sama-sama, Ra. Nggak ngerepotin sama sekali kok," kata Bian dengan membalas senyum Tiara.Tiara terdiam dan bergumam dalam hati. Astaga, kenapa manis sekali senyumnya?"Kalau gitu, aku masuk dulu ya, Kak. Pulangnya hati-hati," kata Tiara sambil menyodorkan helm yang dipakainya tadi kepada Bian. Lelaki itu lantas mengambil helm tersebut sembari tersenyum Pada Tiara.Tiara segera berbalik dan memasuki rumahnya. Saat Bian hendak memakai helmnya kembali, tiba-tiba ponsel di saku hoodie-nya bergetar. Menandakan jika ada panggilan masuk untuknya. Saat Bian melihat nama di layar ponselnya, dia mengembuskan napasnya sekilas
Bunyi jam weker terus-menerus berbunyi memenuhi kamar bercat baby pink itu. Namun, seseorang yang ada di sana masih tertidur pulas di atas kasur dan memeluk boneka piglet kesayangannya. Siapa lagi jika bukan Misellia. Jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Namun, Misell masih tertidur dengan pulas tanpa mempedulikan suara jam weker yang sangat berisik itu."MISELL, BANGUN!" Wulan yang baru saja memasuki kamar Misell langsung meneriaki anaknya. Suara Wulan akhirnya mampu membuat Misell membuka matanya."Mama tuh apa-apaan, sih?" ucap Misell yang masih membuka setengah matanya."Kamu emangnya nggak sekolah? Udah jam enam lebih nih, bukannya kamu hari ini ada kelas olahraga?" tanya Wulan.Misell yang mendengar ucapan Mamanya tersebut, langsung membelalakan matanya dan melompat dari kasur. Misell berlari menuju kamar mandi, setelah sadar jika waktunya hanya tinggal sekitar tiga puluh menit lagi. Semua ini gara-gara Pak Herman! Kalo aja ngg
Ruang bercat putih dengan sprei warna biru ini terasa sangat sepi. Hanya ada satu orang yang sedang terbaring lemah di sana. Dia, Misell. Perempuan yang baru saja akan pingsan karena kebodohannya yang tidak sarapan saat kelas olahraga.Perempuan itu, tidak tertidur sekarang. Rasanya, mata Misell sulit terpejam setelah mendapatkan perlakuan istimewa dari Gerald. Saat ini, ia hanya memandangi langit-langit UKS sembari memikirkan sesuatu yang sedari tadi mengusiknya.Apa aku sudah jatuh hati pada Gerald? Mengapa secepat itu aku melupakan rasaku pada Bian?Lamunan Misell terhenti karena ada sesosok lelaki yang datang menghampirinya dengan membawa sekantong kresek yang berisi dua buah roti cokelat. Misell bisa menebak isinya, karena bisa terlihat dari kantong kresek yang berwarna bening.Lelaki itu duduk di kursi samping ranjang dan tersenyum sekilas kepada Misell. "Gimana, Sell? Udah mendingan?" tanya Gerald sambil menyodorkan roti cokelat yang sudah
Seorang perempuan sedang duduk di bangkunya dan terlihat fokus menatap papan tulis sembari mendengarkan penjelasan dari gurunya. Tiba-tiba handphone Misell di dalam loker bergetar dan membuatnya mengalihkan pandangan dari papan tulis ke layar handphone-nya yang menyala. Tanpa ia menekan apa pun, pesan yang masuk akan tetap bisa ia baca.+628233567xxxxSell, nanti sore lo gausah ikut rapat ya. Langsung pulang, istirahat :)Misell bisa menebak siapa yang mengirimkannya. Pasti, itu chat dari Gerald. Misell berniat untuk tidak membalas chat itu dan tetap fokus pada pelajarannya.*****"Tam, Ya, gue cabut duluan," pamit Bian seraya pergi meninggalkan kelas."Tuh, anak main nyelonong aja, deh!" ucap Tama gemas.Tama dan Arya masih membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Walaupun mereka berdua tidak mencatat, tetapi buku-buku itu sangat b
Esok harinya, Misell benar-benar melakukan apa yang disuruh Gerald. Ia saat ini, sedang serius membaca dan mencoba latihan soal dari buku fisikanya. Namun, murid rajin seperti Misell pun, pasti memiki rasa bosan untuk belajar.Sudah hampir 6 jam lamanya, ia tidak keluar dari kamarnya dan hanya duduk dan terfokus pada bukunya. Rasa suntuk itu mulai datang menghampirinya.Gerald gila! Bagaimana bisa gue belajar 2 hari penuh? Emangnya gue alien?Misell mengambilhandphone-nya yang ada di nakas, dan berniat untuk menghubungi Salsa.MiselliaSal, lo sibuk ngga? Temenin ke timezone yuk! Bosen nih..Baru saja ia menekan tombol kirim, sud
Setibanya di sekolah, banyak sekali mata yang mengarah ke arah mereka berdua. Tak jarang pula, Misell mendengar cemooh dan kata-kata kebencian yang ditujukan untuknya."Misell tuh apaan sih! Bian masih kurang sampe caper ke Gerald?""Cantik juga enggak! Murahan iya!""Cewek ganjen!""Dasar gampangan!"Gerald yang juga mendengar kata-kata itu, langsung membuka suaranya dengan nada tinggi. "Kalian bisa diem nggak? Di sini mau belajar apa mau cari musuh? Apa kalian nggak mikir, perasaan orang yang kalian hina?"Gerald menghela napasnya, dan mengarahkan pandangannya ke arah Misell yang sudah menundukkan kepalanya.
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg