Setibanya di sekolah, banyak sekali mata yang mengarah ke arah mereka berdua. Tak jarang pula, Misell mendengar cemooh dan kata-kata kebencian yang ditujukan untuknya.
"Misell tuh apaan sih! Bian masih kurang sampe caper ke Gerald?"
"Cantik juga enggak! Murahan iya!"
"Cewek ganjen!"
"Dasar gampangan!"
Gerald yang juga mendengar kata-kata itu, langsung membuka suaranya dengan nada tinggi. "Kalian bisa diem nggak? Di sini mau belajar apa mau cari musuh? Apa kalian nggak mikir, perasaan orang yang kalian hina?"
Gerald menghela napasnya, dan mengarahkan pandangannya ke arah Misell yang sudah menundukkan kepalanya.
Seorang perempuan rambut sebahu dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya, sedang duduk di ruang keluarga, rumah Bian. Orang yang ingin ditemuinya itu, belum juga pulang dari sekolah."Rian, Kakak kamu kenapa lama banget, ya?" tanya Misell pada Rian, adik Bian, yang sedang asyik bermainplay stationdi televisi."Kak Misell, kenapa masih betah nungguin Kak Bian dari tadi?" Bukannya menjawab, Rian justru balik bertanya pada Misell.Misell hanya tersenyum mendengar pertanyaan Rian. Ia sendiri juga tidak tahu, alasan pasti apa yang membuatnya untuk tetap menunggu Bian pulang.Entahlah, mungkin Misell hanya ingin menunjukkan kebahagiannya pada Bian. Ia hanya ingin memberi tahu, bahwa dirinya sudah baik-baik saja, da
"Bian! Dicari Misell," teriak Ucup, salah satu anak IPA-2.Benar saja. Misell sedang berdiri di depan pintu, menunggu orang yang dia cari menghampirinya."Ada apa, Sell? Nggak ke kantin?" tanya Bian."Aku mau bicara sama kamu," jawab Misell."Bicara di kantin aja, yuk!""Eh, jangan! Di taman belakang aja," kata Misell pada Bian.Bian yang masih terdiam di tempat, langsung di tarik tangannya oleh Misell, untuk mengikutinya.Saat mereka berdua sudah tiba di taman belakang, Misell memulai percakapannya. "Bi, kamu nggak pengen 'kan, kejadian yang lalu terulang lagi?"
"Bang, Misell 'kan udah bilang, Abang nggak perlu repot-repot ngantar Misell ke sekolah," kata Misell seraya berlari mengejar Reihan, yang berjalan keluar rumah dengan kunci mobil di tangannya.Reihan menghentikan langkahnya, dan memutar tubuhnya menghadap ke arah Misell. "Abang yang mau, jadi nggak merasa repot sama sekali."Misell mengembuskan napasnya kasar. Ia sudah pasrah, dengan kemauan Abangnya yang tidak mau diganggu gugat itu.Kalau dipikir-pikir, Misell juga tidak punya pilihan lain, selain ikut Abangnya ke sekolah. Pagi tadi, saat ia sedang mandi, Abangnya diam-diam mengirimkanWhatsAppkepada Gerald, supaya tidak perlu menjemputnya, karena ia diantar oleh Abangnya. Jadi, tidak mungkin Misell mengharapkan kehadiran Gerald untuk datang menjemputnya.
Hari demi hari telah terlewati. Misell dan Gerald semakin terlihat lengket. Anak SMA Pelita yang dulunya sangat membenci Misell karena dekat dengan Gerald, sekarang telah menjadishippersMisell dan Gerald.Dasar,tukang panjat sosial!Setelah menghabiskan waktu dan tenaga, dalam rapat yang telah mereka lakukan selama berbulan-bulan, akhirnya sampai lah mereka di acara puncaknya, yaitu hari ini.Misell, Gerald, dan Salsa terlihat sibuk mempersiapkan acara bersama anak-anak tim yang lain. Sedangkan Bian, Arya, dan Tama, sedang santai di depan kelasnya.Jam telah menunjukkan pukul 8. Waktu di mana, acaraprojectangkatan akan segera dimulai."Bro, lapangan yuk!" ajak Tama
Bian memasuki kelasnya dengan ekspresi datar. Ia duduk di bangkunya, dan membanting tas yang sedari tadi ia bawa, ke mejanya."Ah, payah lo! Masa cuma gara-gara Misell nggak masuk sekolah jadi lemah, letih, lesu, lunglai kaya gini? Oh iya, tambah satu lagi. Kesepian," ucap Tama, ketika melihat ekspresi Bian saat masuk ke dalam kelas.Bian mendengus mendengar ucapan Tama kepadanya."Emang bener ya, alasannya gitu?" sahut Arya."Sana deh kalian, gue nggak mau diganggu," usir Bian."Ya ampun, Bian! Apa salahnya sih, jujur sama kita? Kenapa lagi sekarang?" tanya Arya tidak menyerah.Bian mengembuskan napasnya kasar, seraya berkata, "Gue
Bian terlihat sedang mengerjapkan matanya berulang kali. Ia berusaha untuk membuka matanya yang terasa berat. Bian pun heran, karena tidak biasanya ia mengantuk saat jam pelajaran.Ia segera bangkit dari tempat duduknya, dan meminta izin untuk pergi cuci muka. Seluruh teman-temannya, sontak menoleh ke arah Bian dengan tatapan heran.Bian paling anti untuk ke toilet saat jam pelajaran. Saat sedang ingin buang air pun, ia rela menahannya sampai kelas berakhir karena takut tertinggal materi. Sekarang, laki-laki ini justru izin ke toilet hanya untuk cuci muka karena mengantuk.Bian masa bodoh dengan semua penghuni kelas yang sedang menatapnya dan memilih untuk segera berjalan keluar kelas. Saat baru saja keluar dari kelasnya, ia tak sengaja berpapasan dengan Misell dan Salsa yang sedang me
"Bian, kamu ke mana aja? Itu temen kamu udah di kamar dari tadi nungguin kamu," ucap Mila, Mama Bian, saat Bian baru saja melepas sepatunya."Temen? Temen siapa?" tanya Bian heran, karena dia tidak merasa ada janji sebelumnya."Tama sama Arya."Bian membelalakkan matanya tak percaya dengan jawaban Mamanya. Kedua sahabatnya itu, bagaimana bisa ada di sini.Bukannya mereka sedang ke warung Bi Eni?Bian segera melangkahkan kakinya dengan tergesa. Ia mengingat terakhir kali mengizinkan Tama dan Arya ke kamarnya, mereka berdua mengacak-acak kamar tidurnya yang selalu rapi. Rasa was-was itu timbul kembali.Bagaimana jika kali ini, mereka membuat kamarnya menjadi kapal pecah lagi?
"Dek, Abang pinjemflashdisk, dong!" teriak Bang Reihan pada Misell yang sedang sibuk menulis soal."Cari aja di tas Misell," kata Misell tanpa menoleh sama sekali.Setelah Reihan berhasil menemukanflashdisktersebut, matanya mengarah pada selembarsticky noteyang sudah kusut karena tertimpa buku-buku di dalam tas. Senyumnya merekah karena menemukan bahan untuk menggoda adiknya."Dek?" panggil Reihan."Hmm?" Misell menjawab tanpa menengok.Bukannya Reihan segera berbicara, ia justru berjalan mendekati meja di mana Misell duduk. "Segitu senengnya dapet obat darifans? Sampesticky note-nya kamu
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg