Bian saat ini sedang bersusah payah untuk fokus dengan materi. Kalimat teman-temannya di kantin tadi, sukses membuatnya memikirkan masalah itu, sampai-sampai tidak fokus ke pelajaran. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari kelasnya, untuk menemui Misell dan pulang ke rumah. Sisa waktu pelajaran, hanya Bian gunakan untuk memandangi detik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
KRINGGG!!!
Suara yang dinanti-nantikan, akhirnya berbunyi. Dengan secepat kilat, dia langsung membereskan buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan segera pergi ke luar kelas. Tama dan Arya hanya melongo kebingungan melihat tingkah Bian. Mereka berdua heran karena tidak biasanya Bian bersikap seperti ini.
Bian berlari menuju ruang di samping kelasnya yang bertuliskan 12 IPA-1 di pintu bagian atasnya. Setelah ia melihat kedalam, orang yang dicarinya masih berbicara dengan Bu Indah, guru Kimia SMA Pelita yang terkenal killer itu. "Ck, dasar! Masih aja suka cari muka sama bu Indah. Padahal seluruh sekolah ini juga udah tahu kalau dia murid kesayangannya.”
Setelah Bu Indah keluar meninggalkan kelas, Bian langsung masuk ke dalam kelas tanpa peduli siswa lain yang masih ada di kelas. Seluruh anak di IPA-1 sudah paham dan terbiasa dengan tingkah Bian yang suka nyelonong masuk untuk menemui Misell.
"Lama banget, sih! Masih sempet-sempetnya ngobrol sama Ibunda tercinta lagi!" omel Bian pada Misell.
Misell membelalakan matanya setelah mendengar perkataan Bian. "Hah? Apa kamu bilang? Ibunda tercinta? Bu Indah maksud kamu?"
Bian hanya mengedikkan bahunya kemudian menjawab pertanyaan Misell. "Hmm, ya gitu deh."
"Dasar nyebelin, nyebelin, nyebelin!" teriak Misell sambil memukuli Bian dengan buku paket Kimianya yang akan dia bereskan.
"Eh, eh, sakit Sell! Nyebelin gini tapi kamu sayang, ‘kan?"
Pertanyaan itu sontak membuat Misell terpaku di tempat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Murid lain yang tidak sengaja mendengarnya juga hanya melongo ditempat, tidak berani berkata apa-apa untuk ikut campur masalah tersebut.
Bodoh, bodoh, bodoh! Ngapain sih Bian, lo pake ngungkit masalah itu lagi? Canggung lagi kan! kata Bian di dalam hati merutuki dirinya sendiri.
"NGACO! Kamu aja yang kecepetan ke sininya, biasanya juga molor dulu di kelas biar nggak sempit-sempitan di parkiran. Kenapa emang?" tanya Misell heran.
"Nggak apa-apa, aku lagi cape aja hari ini. Yuk pulang!"
Belum sempat Misell menjawab, Bian sudah menarik tangan Misell keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran. Saat baru beberapa langkah dari kelas, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Bian. "Kak Bian!"
Sontak Bian dan Misell menoleh ke arah sumber suara dan melepaskan gandengan tangannya.
"Halo, Kak Misell!" sapa Tiara.
"Eh, Hai Ra!" Misell membalas sapaan Tiara dengan senyum manisnya yang tidak pernah ketinggalan.
"Kamu kenal Tiara?" tanya Bian terlihat kaget.
"Ya kenal, lah, Bi. Aku, kan, dulu anak OSIS juga. Kebetulan waktu tes seleksi, aku yang ngetes Tiara."
Bian hanya mengangguk anggukan kepalanya menandakan bahwa ia paham. "Ada apa, Ra?" tanya Bian pada Tiara.
"Jadi gini Kak, karena deadline dari sekolah dimajuin, jadi secepatnya harus ngatur jadwal wawancara. Kalau sekarang, Kakak nggak bisa, ya?"
"Iya, sorry banget hari ini—" Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sudah dipotong oleh Misell.
"Bian bisa, kok, Ra! Ya, kan, Bi?" kata Misell melihat ke arah Bian, sebuah kode bahwa Bian harus meng-iya-kan perkataannya.
"Tapi, kan, aku harus pulang bareng kamu, Sell."
"Nggak usah khawatir Bi, aku nanti bisa bareng Salsa kok, dia tadi dipanggil pak Edy di ruang guru. Jadi kayaknya dia sekarang belum pulang deh," kata Misell meyakinkan Bian, bahwa ia tidak perlu mengkhawatirkannya.
Sebenarnya Misell berbohong soal ia akan pulang bersama Salsa, ia tahu bahwa sepertinya Salsa sudah meninggalkan sekolahan sejak tadi. Ia terpaksa berbohong karena ia tidak mau terus-terusan merasa mengekang hidup Bian. Bian juga harus melakukan kehidupannya yang lain. Misell tidak berhak menuntut ini-itu, karena ia dan Bian bukan lagi mereka saat kecil yang selalu ke mana-mana berdua.
Bian menghela napasnya berat. "Hmm, oke deh, hati-hati ya pulangnya. Nanti aku telepon," kata Bian yang terlihat sangat mengkhawatirkan Misell.
Tiara yang melihat mereka berdua hanya diam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Oke. Bye Bi, Ra!" kata Misell sembari pergi dan melambaikan tangannya.
Saat Misell sudah hilang dari pandangannya, Tiara mengajak Bian ke ruang OSIS, karena Tiara rasa, itu adalah tempat yang paling cocok untuk wawancara daripada tempat yang lain.
Perjalanan ke Ruang OSIS hanya mereka lalui dalam diam. Yang terdengar, hanyalah suara riuh dari anak basket dan cheers yang sedang latihan di lapangan. Tiara hanya tersenyum getir menghadapi situasi ini. Dia seolah hanya berjalan dengan raga Bian. Entah ke mana jiwa Bian telah pergi. Ia pikir, mungkin sudah pergi bersama Misell.
*****
Misell saat ini sedang berada di halte dan berniat memesan ojek online. Di sana, hanya tersisa tiga anak yang berada di halte termasuk dirinya. Misell rasa dua anak itu adalah anak kelas sepuluh, karena Misell jarang melihatnya.
Setelah ia mengisi alamat tujuan dan berniat untuk menekan tombol order, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Saat pemiliknya keluar, Misell terlonjak kaget setelah tahu siapa yang ada di dalam mobil.
"Hai Sell, lagi nunggu jemputan?" sapa seseorang yang baru keluar dari mobil dengan jaket denimnya
"Eh Halo, Ger, enggak kok. Lagi mau pesen ojek online."
"Udah pesen? Kalau belum pesen, bareng gue aja yuk, Sell. Kebetulan gue nggak lagi buru-buru."
Setelah Misell pikir-pikir, tidak ada salahnya mengiyakan ajakan Gerald untuk pulang bersama. Toh, juga akan enak di Misell, karena dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya ojek online-nya.
"Boleh Ger, tapi nggak ngerepotin, ‘kan?" tanya Misell terlihat ragu-ragu.
Lelaki itu tersenyum sekilas. “Santai aja kali Sell, gue nggak merasa direpotin sama sekali kok. Yuk!" kata Gerald seraya ia membukakan pintu sebelah kiri mobil itu.
"Oke, thank you."
Ucapan Misell tersebut hanya dibalas senyum oleh Gerald. Misell tak bisa memungkiri, bahwa lesung pipi yang dimiliki Gerald ini, mampu menjadikan Gerald salah satu the most wanted di SMA Pelita. Dalam perjalanan, mereka berdua sama-sama terdiam dan hanya mengatakan obrolan seperlunya.
"Sell, rumah lo daerah mana?" tanya Gerald memecah keheningan.
"Perumahan Puri Indah Blok X-6, Ger."
"Beneran? Ternyata rumah kita deketan," respon Gerald setelah mendengar jawaban Misell.
"Serius?"
"Iya Sell, bisa kali berangkat sekolah bareng," kata Gerald dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Misell hanya merespon perkataan Gerald dengan senyum dan ekspresi yang terlihat memikirkan sesuatu.
Melihat respons yang ditunjukkan gadis di sebelahnya, Gerald lantas bertanya, "Kenapa, Sell? Takut Bian cemburu?"
"Hahaha, ya nggak, lah, Ger! Gue mau gimana pun, Bian mana peduli sama gue.”
"Siapa tahu, kan … sekarang juga tumben nggak pulang bareng Bian?"
"Iya, tadi Bian masih ada wawancara sama anak OSIS. Daripada gue nungguin dia yang pasti bakalan lama, mending gue balik duluan, deh," ujar Misell menjawab pertanyaan Gerald.
Lelaki itu terkekeh sekilas. “Mau mampir makan dulu nggak, Sell? Sekalian ngebahas project angkatan kita," ajak Gerald.
Misell berpikir sejenak dan akhirnya mengiyakan ajakan tersebut. "Hmm, boleh, deh."
Gerald hanya tersenyum, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan dan kembali fokus dengan kemudinya.
*****
Setelah satu jam berlalu, akhirnya selesai sudah wawancara yang melelahkan itu. Setelah berpamitan dengan Tiara, Bian langsung menuju ke parkiran dan hendak pulang. Sesampainya di parkiran, bukannya ia segera memakai helm dan pulang, Bian justru mengambil handphone-nya dan mencari nama Misell di sana.
"Halo Bi, kenapa?" balas Misell setelah menekan tombol berwarna hijau.
"Kamu udah sampai rumah, kan, Sell?" tanya Bian dengan khawatir.
"Hmm, udah, kok," jawab Misell di seberang sana.
"Ya udah, ini aku baru selesai wawancara. Nanti aku mampir sebentar, ya?"
Sontak Misell kebingungan mencari alasan, bagaimana supaya Bian tidak ke rumahnya. "Eh, eh, eh! Nggak usah Bi! Ngapain? Katanya kamu capek? Lagian aku habis ini juga mau keluar sama Mama," ucap Misell berbohong.
"Oh, ya udah deh. Besok aku jemput. Aku balik dulu ya, Sell. See you."
"Oke Bi, hati-hati." Misell pun menutup telepon dari Bian dengan perasaan tak karuan karena dia harus berbohong.
"Sell, lo gapapa? Kenapa pakai bohong segala?" tanya Gerald heran.
Saat ini, Misell memang masih bersama Gerald. Dia merasa tak enak hati bila harus berkata sesungguhnya pada Bian. "Eh, gapapa kok, Bian tahunya gue balik bareng Salsa. Gak enak juga kalau gue bilang niat awalnya naik ojek online. Bian bakal ngerasa bersalah banget kalau tahu.”
"Ya udah, kalau gitu balik aja, yuk! Kebetulan pembahasannya udah selesai, makanannya juga udah habis kan?" ajak Gerald
"Ya udah, yuk!"
Akhirnya Gerald mengantarkan Misell pulang. Berat rasanya ia harus berpisah dengan Misell, karena setelah obrolan tadi, dia merasa nyaman dengannya. Misell mampu mencairkan suasana, padahal ini adalah kali pertama mereka bertemu dan belum pernah mengenal sebelumnya. Misell adalah sosok perempuan yang humble dan mampu mencairkan suasana. Sifat itulah, yang membuat banyak laki-laki tertarik kepadanya. Mungkin saat ini, Gerald adalah salah satu laki-laki itu.
*****
Mobil hitam milik Gerald berhenti tepat di depan gerbang rumah bercat putih. Mereka berdua akhirnya tiba di rumah Misell. Saat mesin mobil benar-benar mati, Gerald bergegas keluar dan membukakan pintu mobil untuk Misell. Misell yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tersenyum kaku.
"Thank you, Ger. Gue bisa buka pintu sendiri kali,” ucap Misell seraya tersenyum canggung.
"Sekali-sekali nggak apa-apa, ‘kan?" tanya Gerald tak lupa senyum manisnya.
"Ya nggak apa-apa sih, tapi—"
Belum selesai Misell berbicara, Gerald sudah memotongnya. "Kalau sekali-sekali nggak boleh, berarti berulang kali boleh?"
"Hah? Maksudnya, gimana?" tanya Misell terlihat kebingungan dengan perkataan Gerald.
Pertanyaan itu hanya dibalas senyuman oleh Gerald. Lelaki itu lantas mengalihkan pembicaraan untuk pamit. "Ya udah, masuk gih. Gue balik duluan ya, Sell. See you!"
"Oke Ger, hati-hati ya. See you!"
Setelah Misell sudah dipastikan benar-benar masuk ke dalam rumah, barulah Gerald beranjak dari posisinya dan segera masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar yang menandakan bahwa dirinya sedang bahagia.
Tanpa sadar, ada sepasang mata yang dalam diam menyaksikan kejadian tadi. Dia hanya terdiam di tempat, tanpa bertindak apapun di balik helm full face-nya. Yang dia rasakan, hanyalah perasaan mengganjal yang mengganggu fikirannya. Entah apa nama perasaan itu?
*****
Malam sudah semakin larut, tetapi lelaki ini tak kunjung memejamkan matanya. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur dengan maksud mengubah posisi tidurnya agar cepat terlelap. Namun, tetap saja semua terasa sia-sia.Hingga detik ini, ia tak kunjung memejamkan matanya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar, seakan bermaksud meluapkan seluruh perasaan yang mengganjal di hatinya sejak tadi. Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya saat ini?Entahlah, terlalu banyak sampai ia tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.*****Keseharian Bian tidak pernah berubah sejak dulu, setiap pagi dia harus menjemput Misell untuk berangkat ke sekolah bersama. Bukan masalah besar bagi Bian jika harus menjemput Misell. Karena, rumahnya hanya berbeda blok di perumahan yang sama. Walaupun masalah kemarin masih mengganggu pikirannya, dia tetap harus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Bian berpikir, mungkin Misell m
"Kenapa lo? baru ditinggal bentar udah kangen?" tanya Misell tanpa dosa saat baru tiba di kelasnya. Gadis itu seolah melupakan apa yang dialaminya."Dih, ogah! Pake acara kabur-kaburan lagi. Dari tadi gue diomongin sama banyak orang tau, dikiranya gue lagi berantem sama lo," jawab Salsa dengan sedikit emosi.Misell hanya tertawa membuat Salsa semakin menatapnya penuh kesal. "Lagian lo kenapa, sih? udah ketemu Bian?" tanya Salsa."Iya, udah."Perkataan itu menutup obrolannya kali ini, karena Pak Bimo, guru Fisikanya sudah memasuki ruang kelas. "Lo masih utang cerita sama gue!" bisik Salsa.Misell yang mendengar perkataan itu, hanya memutar bola matanya malas. Misell berbeda dengan cewek lain yang sangat suka bercerita pada sahabatnya jika ada masalah percintaan. Dia cenderung memendam dan mencari penyelesaian masalahnya sendiri."Selamat siang semua, tolong semua buku yang ada di meja, dimasukkan ke dalam tas. Kita akan ulangan hari
Bian memarkirkan sepeda motornya, di samping sepeda motor yang ia kenal. Siapa lagi pemiliknya, jika bukan Tama dan Arya. Setelah memarkirkan motornya, dia lalu bergegas masuk ke tempat bertuliskan Warung Bi Eni itu, yang sudah sangat ramai pengunjung."Woy, nyet! Ke mana aja lo? Pasti jalan-jalan dulu sama Tiara," tebak Arya.Bukannya menjawab pertanyaan Arya, Bian justru mengambil bala-bala yang saat ini ada di depannya."Eh, ditanyain tuh dijawab!" kata Tama pada Bian dengan gemas.Bian tetap tidak berkata apa pun dan memasang wajah kusutnya."Tuh, muka juga kenapa lagi?" Tama semakin gemas dengan Bian, yang sedari tadi hanya diam dan tidak merespon ucapannya."Gara-gara lo ditolak Tiara? Salah siapa langsung ditembak. Baru juga jalan sekali. Nggak sabaran banget sih lo," sahut Arya dengan asal.Mendengar perkataan Arya barusan, membuat Bian akhirnya membuka suara. "Apa-apaan sih, lo! Ya kagak, lah! Ngapain gue ne
Setelah hening beberapa saat, Bian memutuskan untuk pamit pulang karena malam yang sudah semakin larut. "Sell, aku pamit pulang dulu ya, besok aku jemput ke sekolah.""Oke Bi, ayo! Aku anter kamu sampai depan!" kata Misell pada Bian.Bian menoleh ke arah Misell, karena dia tidak percaya dengan ucapan Misell. "Sell, aku nggak salah denger?" tanya Bian heran.Misell menarik sudut bibirnya ke atas. “Kamu nggak suka aku anter ke depan? Ya udah deh nggak jadi.""Eh, iya, iya, suka. Yuk!" ajak Bian dengan senyum di bibirnya.Misell membalas senyum Bian, dengan senyumannya yang tak kalah manis."Jangan senyum.""Kenapa, Bi?" tanya Misell pada Bian, berharap dia akan mendengar gombalan Bian."Takut tikus di rumah kamu pada kabur, hahaha," ejek Bian."Ih, Bian! Ngeselin! Mau ribut apa mau pulang?" tanya Misell dengan kesal."Ya pulang, lah!" jawab Bian pada Misell."Ya udah," kata Misell sembari jalan keluar m
Motor Bian akhirnya tiba di depan rumah Tiara. Mereka berdua, telah berada di atas motor selama hampir sejam, karena jarak yang lumayan jauh, ditambah macetnya jalanan soreitu. Tiara segera turun dari boncengan dan melepas helmnya. "Makasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin," ucap Tiara sembari tersenyum pada Bian."Iya, sama-sama, Ra. Nggak ngerepotin sama sekali kok," kata Bian dengan membalas senyum Tiara.Tiara terdiam dan bergumam dalam hati. Astaga, kenapa manis sekali senyumnya?"Kalau gitu, aku masuk dulu ya, Kak. Pulangnya hati-hati," kata Tiara sambil menyodorkan helm yang dipakainya tadi kepada Bian. Lelaki itu lantas mengambil helm tersebut sembari tersenyum Pada Tiara.Tiara segera berbalik dan memasuki rumahnya. Saat Bian hendak memakai helmnya kembali, tiba-tiba ponsel di saku hoodie-nya bergetar. Menandakan jika ada panggilan masuk untuknya. Saat Bian melihat nama di layar ponselnya, dia mengembuskan napasnya sekilas
Bunyi jam weker terus-menerus berbunyi memenuhi kamar bercat baby pink itu. Namun, seseorang yang ada di sana masih tertidur pulas di atas kasur dan memeluk boneka piglet kesayangannya. Siapa lagi jika bukan Misellia. Jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Namun, Misell masih tertidur dengan pulas tanpa mempedulikan suara jam weker yang sangat berisik itu."MISELL, BANGUN!" Wulan yang baru saja memasuki kamar Misell langsung meneriaki anaknya. Suara Wulan akhirnya mampu membuat Misell membuka matanya."Mama tuh apa-apaan, sih?" ucap Misell yang masih membuka setengah matanya."Kamu emangnya nggak sekolah? Udah jam enam lebih nih, bukannya kamu hari ini ada kelas olahraga?" tanya Wulan.Misell yang mendengar ucapan Mamanya tersebut, langsung membelalakan matanya dan melompat dari kasur. Misell berlari menuju kamar mandi, setelah sadar jika waktunya hanya tinggal sekitar tiga puluh menit lagi. Semua ini gara-gara Pak Herman! Kalo aja ngg
Ruang bercat putih dengan sprei warna biru ini terasa sangat sepi. Hanya ada satu orang yang sedang terbaring lemah di sana. Dia, Misell. Perempuan yang baru saja akan pingsan karena kebodohannya yang tidak sarapan saat kelas olahraga.Perempuan itu, tidak tertidur sekarang. Rasanya, mata Misell sulit terpejam setelah mendapatkan perlakuan istimewa dari Gerald. Saat ini, ia hanya memandangi langit-langit UKS sembari memikirkan sesuatu yang sedari tadi mengusiknya.Apa aku sudah jatuh hati pada Gerald? Mengapa secepat itu aku melupakan rasaku pada Bian?Lamunan Misell terhenti karena ada sesosok lelaki yang datang menghampirinya dengan membawa sekantong kresek yang berisi dua buah roti cokelat. Misell bisa menebak isinya, karena bisa terlihat dari kantong kresek yang berwarna bening.Lelaki itu duduk di kursi samping ranjang dan tersenyum sekilas kepada Misell. "Gimana, Sell? Udah mendingan?" tanya Gerald sambil menyodorkan roti cokelat yang sudah
Seorang perempuan sedang duduk di bangkunya dan terlihat fokus menatap papan tulis sembari mendengarkan penjelasan dari gurunya. Tiba-tiba handphone Misell di dalam loker bergetar dan membuatnya mengalihkan pandangan dari papan tulis ke layar handphone-nya yang menyala. Tanpa ia menekan apa pun, pesan yang masuk akan tetap bisa ia baca.+628233567xxxxSell, nanti sore lo gausah ikut rapat ya. Langsung pulang, istirahat :)Misell bisa menebak siapa yang mengirimkannya. Pasti, itu chat dari Gerald. Misell berniat untuk tidak membalas chat itu dan tetap fokus pada pelajarannya.*****"Tam, Ya, gue cabut duluan," pamit Bian seraya pergi meninggalkan kelas."Tuh, anak main nyelonong aja, deh!" ucap Tama gemas.Tama dan Arya masih membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja. Walaupun mereka berdua tidak mencatat, tetapi buku-buku itu sangat b
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembarpaper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkanhandphone-nya di mana.Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Bian, aku akan cerita tentang hari ini. Aku akan pulang. Sopir yang mengantarkanku ke bandara sedang memutar lagu yang aku tak tahu apa judulnya bahkan artinya. Lagunya berbahasa Jerman. Sudah tiga tahun di sini tapi aku belum mahir bahasa Jerman. Ah, mungkin aku terlalu mencintai Indonesia.Jalan menuju bandara sangat lancar. Semesta seakan memberi aku izin untuk menemuimu di waktu yang tepat. Semoga kali ini kita tak lagi menyalahkan waktu yang salah, ya?Aku akan bertemu denganmu. Aku akan mencari semua jawaban atas pertanyaanku selama ini. Jika jawabannya tak sesuai keinginanku sekalipun akan aku terima, karena aku hanya ingin bertemu denganmu.Seminggu semoga cukup ya untuk kita bertemu? Ya walaupun, aku tidak yakin akan cukup karena kantong rasa rin
Seorang gadis baru saja menutup buku hariannya. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari itu, sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan selama di Berlin.Berulang kali Misell berharap jika tiba-tiba lelaki itu datang dan menghapus mimpi buruknya selama hampir dua tahun ini. Namun nyatanya, semua tetap sama. Hadirnya selalu semu.Kini tangannya beralih memegang sebuah spidol dan meraih kalender yang ia letakkan di sudut meja belajarnya. Misell mengarahkan spidol tersebut untuk membentuk tanda silang pada tanggal di hari itu.Ia tersenyum.Empat bulan lagi,batinnya.Gadis itu tersentak saathandphone-nya tiba-tiba berbunyi. Lagi-lagi ia tersenyum, karena telepon dari Salsa. Mungkin sahabatnya itu ada kabar s
Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Lelaki ini baru menyelesaikan laporan praktikumnya yang tertunda, karena ia menemani Karin berkeliling naikmigo.Namun, Bian juga tidak akan protes karena ia juga menikmatinya. Sudah lama ia tidak mendapat hiburan dan hanya fokus dengan kehidupan kampus.Benda pipih yang ia letakkan di sampingnya baru saja bergetar. Tangannya bergerak mengambil dan melihat siapa pengirimnya. Ternyata,chatdari Karin. Gadis itu masih belum tidur, karena ia mungkin juga baru menyelesaikan laporannya.KarinBian, lo udah selesai 'kan? Gue khawatir nih, soalnya lo nggak punya pengalaman buat SKS. Takut lo kewalahan😋Bian berdecak pelan, lalu memba
Bagi Bian, Karin adalah gadis yang selalu merecokinya selama satu tahun belakangan. Gadis itu menggantikan peran mamanya, yaitu menjadi pengingat untuk makan yang selalu Bian lewatkan karena terlalu fokus dengan tugasnya.Ada satu fakta lagi yang membuat gadis ini berbeda dari teman-teman satu jurusannya yang lain. Ia telah mematahkan persepsi jika sistem kebut semalam di FK tidak berlaku.Gadis itu, adalah gadis paling santai yang Bian kenal selama menjadi mahasiswa. Karin selalu mengerjakan tugas-tugasnya H-beberapa jam sebelumdeadline. Namun, siapa yang menyangka jika indeks kumulatifnya semester lalu adalah 3.8—sangat baik untuk kategori mahasiswa kedokteran."Jadi gimana, udah nyerah ngerjain laporan praktikum? Mau ikut ajaran gue?" tanya Karin saat Bian sedan
Hai Bian,Aku nggak akan menanyakan kabarmu, karena aku bisa melihat sendiri kalau kamu masih baik-baik saja.Nggak nyangka ya, kita bentar lagi lulus, hehe. Tapi ... ada satu hal yang belum aku beri tahukan padamu. Sebelumnya maaf karena kabar ini mungkin bisa membuatmu sedih.Pasti kamu habis ini akan bilang,"Apa, sih, Misell? Kepedean kamu! Nggak bakalan lah aku sedih."Ya 'kan? Ngaku kamu!Bi, saat aku memilih putus dengan Gerald, entah kenapa aku nggak begitu sedih walaupun rasa sedih itu pasti masih ada. Kamu tahu kenapa? Karena aku yakin kamu akan ada untukku. Tapi, ternyata nggak kaya gitu Bi. Mungkin kesalahanku
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg