Karena Cakra harus membantu Bima di kantor, pagi ini Ana berangkat ke kampus sendirian. Begitu masuk kelas, Ana melihat teman-temannya berkumpul dan membicarakan hal serius. Karena posisi mereka yang memunggungi pintu, mereka tidak tahu jika kini Ana sudah tiba. Ana juga memilih untuk melangkah perlahan agar tak mengganggu pembicaraan mereka.
“Tangan Raihan benar-benar patah!”
“Serius?”
“Sepertinya perkataan Raihan di grup kelas itu benar.”
“Sulit dipercaya jika tangannya patah gara-gara Kak Cakra.”
“Iya, padahal Kak Cakra tidak pernah terlihat berselisih dengan siapa pun.”
Ana menegang. Ponselnya rusak, karena itulah ia tak tahu jika ada kabar seperti ini tengah tersebar luas. Cakra tidak mungkin mencelakai orang lain, bukan? Apalagi hanya karena masalah sepele. Ana masih ingat setelah kejadian ponselnya yang ditenggelamkan ke dalam gelas soda, Cakra meminjamkan ponselnya pada Ana untuk berdiskusi dengan rekan sekelompoknya termasuk Raihan.
Anehnya meskipun tahu jika Ana menggunakan ponsel Cakra, Raihan masih melanjutkan aksinya untuk menggoda Ana. Bahkan tingkah Raihan semakin menjadi saat presentasi. Raihan juga mengganti kata lo-gue menjadi aku-kamu, seakan-akan mereka telah memiliki kedekatan yang lebih. Raihan seakan-akan tengah mencari mati. Ana tahu, jika selama itu Cakra telah menyimpan amarah pada Raihan. Tentunya hal itu tak berefek baik. Ana hanya tidak membayangkan, jika Cakra bisa melakukan sesuatu yang mengerikan karena hal sesepele itu.
“Saat kami mengerjakan tugas kelompok, kami memang mendengar Cakra memperingatkan Raihan agar tidak mengganggu Ana terus,” ucap Kekeu.
“Kalian sendiri melihat bagaimana tingkah Raihan selama ini, bukan? Aku pribadi tidak percaya jika Kak Cakra yang mematahkan tangannya, Kak Cakra tidak mungkin melakukan hal itu. Jika pun iya, itu pantas karena tingkah Raihan sendiri,” tambah Tasha.
Semua orang mengangguk setuju. Mereka sepakat untuk mengabaikan perkataan Raihan di blog kampus. Mereka juga menyebarkan pada yang lain, jika Raihan hanya membual. Ana meremas tangannya. Baginya ini semua tidak sesimpel yang terlihat. Jika benar Cakra yang mematahkan tangan Raihan, apa pun alasannya itu tak bisa dibenarkan. Ana merasakan tangannya bergetar hebat. Ana ketakutan. Kenapa Cakra bisa bertindak sejauh itu karena alasan sepele? Sepertinya, Ana salah. Ia tak sepenuhnya mengenal Cakra. Lebih tepatnya, ia tak mengenali siapa pria yang selama ini menjadi pacarnya.
***
“Tumben Ana kalem,” ucap Adi.
“Huum, biasanya kalau lagi kumpul gini Ana yang paling semangat ngabisin makanan,” tambah Alfian.
“Mungkin Ana nahan boker,” jawab Sani.
“Atau mungkin, Ana lagi introspeksi diri. Pasti sekarang Ana lagi ngerasa berdosa, karena tiap hari ngeliatin perut telanjang si To Ming Se,” tambah Hidayat sembari mencomot kripik singkong di atas meja.
Cakra yang sebelumnya tengah berdiskusi dengan Ely segera melirik Ana yang duduk di sudut ruangan, tepatnya di atas bantalan lembut yang tampak akan menenggelamkannya. Mereka semua memang tengah berada di markas klub futsal. Ruangan luas ini sangat nyaman dengan karpet lembut serta bantal-bantal besar yang tersebar di atasnya. Sebelumnya penataan ruang tidak seperti ini, perubahan besar terjadi setelah Ely dan beberapa mahasiswi masuk menjadi manager klub futsal. Cakra bukannya tidak menyadari jika kekasihnya itu sudah memasang ekspresi murung di wajah manisnya. Cakra tersentak saat Ely menyentuh tangannya dan memanggilnya lembut. Cakra lalu memasang senyum tipis, tapi segera menepis tangan Ely.
“Jadi, bagaimana Cakra?” tanya pelatih futsal mereka, Pak Arif.
“Untuk sementara mari istirahat terlebih dahulu, Pak. Lusa, saya akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah. Seluruh anggota klub dan staf saya undang, termasuk Bapak,” jawab Cakra.
“Wah, itu bagus. Saya beri kalian istirahat selama dua minggu, setelahnya kita akan membicarakan pembentukan tim inti yang baru. Untuk undanganmu, maaf saya tidak bisa. Ada acara yang harus saya hadiri. Nikmati waktu kalian!” seru Arif lalu melenggang pergi diiringi sorakan senang anggota klub futsal dari berbagai angkatan, serta para staf. Berbeda hal dengan Ana yang masih menunduk murung di sudut ruangan. Cakra mendekat dan berlutut di hadapan Ana, ia berniat menyentuh pipi Ana. Tapi niatnya urung, karena Ana yang menghindar.
Cakra mengerutkan keningnya saat melihat kewaspadaan serta rasa takut di manik mata Ana. Wajah manis Ana juga tampak pias. Cakra bungkam dan bangkit dari posisinya. “Ayo pulang,” ucap Cakra dingin.
***
Kini mobil Cakra telah tiba di depan rumah Ana. Rumah dua tingkat yang memang tak sebesar rumah Cakra, tapi yakinlah rumah ini sangat nyaman untuk ditinggali. Karena opa serta oma Ana masih berada di kampung, lampu rumah Ana belum dihidupkan hingga keadaan rumah Ana terlihat menyeramkan dalam kegelapan. Benar, langit memang telah menggelap bertepatan dengan mobil Cakra yang tiba di sana. Hingga saat ini, baik Cakra maupun Ana belum juga membuka suara. Membuat suasana canggung dan tegang menguar pekat di dalam mobil.
“Bhu,” panggil Cakra pada Ana yang tampak berusaha bersikap biasa, walaupun jantungnya sudah terasa berdegup gila-gilaan.
“Ada apa? Kenapa Bhu menghindariku?” tanya Cakra.
Ana memainkan ujung blus floral yang ia kenakan. Sejak tadi siang Ana masih memikirkan perkataan Raihan di blog kampus, bahwa Cakra yang mematahkan tangannya. Karenanya Ana merasa pusing seharian, dan terus menjaga jarak dengan Cakra. “B-Bhu dengar ta-tangan Raihan patah.”
Hening. Hal itu membuat Ana semakin cemas. Apalagi ketika Cakra mulai mengetuk-ngetuk kemudi dengan jarinya yang besar. Kepala Ana terasa semakin pening saja. “Bhu mencurigai Akra?” tanya Cakra pada akhirnya. Ana gugup. Apa yang harus ia katakan sekarang? Tidak mungkin bukan jika Ana menjawab jujur?
“Bhu ti-tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja, Raihan mengatakan se—”
“Bhu memercayai itu,” potong Cakra sembari menyunggingkan senyum sinis. Ia kemudian melepas sabuk pengaman, lalu mengurung tubuh Ana di sudut pintu mobil dengan kedua tangannya.
“Jika pun benar aku melakukannya, memangnya kenapa? Aku hanya memberikan pelajaran padanya agar tidak bermain-main denganku. Dia terlalu arogan dengan menantang peringatanku agar tidak mengganggumu, Bhu,” ucap Cakra dingin.
Ana tak bisa menahan tubuhnya yang bergetar hebat. Mengapa Cakra bisa berkata sejahat itu? Ana sepenuhnya tak mengenal ekspresi yang kini Cakra pasang. Selama lima tahun, ini kali pertama Ana melihatnya dan Ana benar-benar ketakutan. Cakra menyeringai saat melihat wajah Ana yang semakin pias saja. Ia lalu melepas sabuk pengaman Ana dan berkata, “Apa malam ini Bhu ingin ditemani? Sepertinya Bhu ketakutan.”
Ana sontak menggeleng cepat. “Ti-tidak! Bhu bi-bisa sendiri, Bhu masuk dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Cakra, Ana segera ke luar dari mobil dan berlari cepat menuju rumahnya. Ana tak berani menoleh ke belakang, yang ia pikirkan sekarang adalah segera masuk dan bersembunyi dari Cakra yang menakutkan.
***
Ana membuka matanya perlahan, sinar matahari mengusik tidurnya yang lelap. Ana mencoba bangkit dari posisi berbaringnya, tapi rasa pening yang menyerang tiba-tiba membuatnya mengerang panjang. Tadi malam Ana memang kesulitan tidur setelah sebelumnya menelepon oma serta opanya yang berada di kampung. Ana berusaha mengadukan keburukan Cakra pada keduanya, tapi bukannya mendapat dorongan untuk segera putus, Ana malah mendapat ceramah panjang. Menurut oma dan opa, sikap Cakra sangat wajar. Keduanya mengatakan jika Cakra melakukan hal itu untuk melindungi Ana sebagai pacarnya. Di mata oma dan opa Ana, Cakra adalah pemuda yang sempurna untuk menjadi cucu menantu. Berbeda hal dengan Ana, kini di matanya label menyebalkan Cakra berubah menjadi label menakutkan.
Bayang-bayang Cakra yang masih lekat dalam ingatannya. Ana bersandar di dinding yang menempel langsung pada salah satu sisi ranjangnya. Karena hari ini tidak ada kelas, Ana tidak mau ke luar rumah. Untungnya oma serta opa tidak ada di rumah, jadi jika Cakra datang ia tidak bisa masuk ke rumah karena tidak ada yang membukakan pintu. Sekarang Ana juga tidak memiliki ponsel, Ana tinggal mencabut kabel telepon rumah agar benar-benar tak bisa dihubungi Cakra. Ana bangkit dan berniat mencabut kabel telepon rumah, ia tersentak kaget saat telepon tersebut berbunyi. Ana tidak mau mengangkat telepon. Ana tidak mau! Karena Ana yakin, itu pasti Cakra. Ana segera mencabut kabel telepon dan masuk kembali ke dalam kamar.
Ana memutuskan untuk mandi dan kembali mengganti jam tidurnya karena kepala Ana terasa sangat berat. Hanya butuh beberapa menit untuk dirinya mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur bergambar goblin serta malaikat maut. Rambut bergelombang sepunggung Ana, tampak tergerai basah. Tanpa mengeringkannya, Ana kembali menenggelamkan diri di dalam selimut hangat.
Sayangnya, sinar matahari terasa menusuk dan membuat Ana tak nyaman. Ia kembali bangkit dan berniat menutup gorden, tapi tangan Ana membeku saat dirinya melihat seorang pria yang ia kenali tengah melambaikan tangannya sembari tersenyum lebar. Ana membekap mulutnya, dan tanpa pikir panjang segera berlari menuju lantai bawah. Tergesa-gesa, Ana membuka pintu dan menghambur pada pria tinggi yang sangat ia rindukan. Pria itu tertawa saat mendapatkan pelukan erat Ana. “Haha, Ana segitu rindunya sama Kakak?”
Ana mengangguk dalam pelukan kakaknya. Sudah hampir tiga tahun dirinya tak bertemu dengan kakaknya ini. Fatih Algalih, itulah nama kakak Ana. Ia berprofesi sebagai dokter. Tiga tahun belakangan, Fatih bertugas sebagai relawan di negara yang terlibat perang. Tahun ini, Fatah telah menyelesaikan tugasnya dan bisa kembali ke negaranya untuk bekerja di rumah sakit seperti sebelumnya. Tentu Fatih merasa senang. Menjadi relawan memang sebuah tanda bakti bagi seorang dokter, tetapi Fatih merasa menjaga adiknya juga menjadi sebuah bakti tersendiri baginya. Apalagi, Fatih tahu jika kini Ana harus kembali tinggal sendirian karena oma serta opa mereka kembali ke kampung untuk mengurus perkebunan karet mereka.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Fatih baru menyadari sesuatu yang aneh. Ia mengerutkan keningnya, dan memekik cemas saat merasakan suhu tubuh Ana yang sangat tinggi. “Ana, kamu demam?!”
“Benar, tidak apa-apa Kakak tinggal?” tanya Fatih.Ini hari kedua Fatih di Indonesia, dan sayangnya ia harus meninggalkan adiknya yang sakit, untuk segera kembali bertugas di rumah sakit. Di hari pertamanya ini, Fatih sudah memiliki jadwal operasi yang harus ia tangani. Ia merasa sangat bersalah jika harus meninggalkan Ana dalam kondisi seperti ini. “Kakak telepon Cakra ya, dia pasti mau menemanimu selama Kakak bertugas,” bujuk Fatih untuk kesekian kalinya. Jika saja Ana mau dir
“Rumah sakit?” gumam Ana dalam hati saat sadar dari tidur panjangnya. Ana melirik jarum infus yang menancap di tangan kanannya. Ia benci jarum suntik, ia benci infus. Ia benci apa pun yang berkaitan dengan rumah sakit, kecuali kakaknya tentunya. Hal ini bukan tanpa alasan. Dulu, saat Ana masih duduk di bangku sekolah dasar, Ana harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan karena penyakit tifus. Karena itu, Ana tidak suka dengan rumah sakit. Itu juga yang menjadi alasan Fatih untuk menjadi seorang dokter. I
Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Cakra, Ana tidak bisa kembali meminta putus pada Cakra. Ayolah, meskipun dirinya memang ingin putus dengan Cakra, Ana tidak mungkin bertindak gila dengan memaksa putus, sementara ada satu nyawa yang dipertaruhkan dalam hal itu. Ana belum siap menjadi tersangka pembunuhan, dan sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah siap. Jadi, pada akhirnya Ana masih menyandang status menjadi kekasih Cakra. Tentu saja hal ini membuat Ana merasa bingung. Apalagi akhir-akhir ini Cakra bersikap sangat manis padanya, sikap otoriternya telah berkurang drastis. Sikapnya seakan-akan tengah memohon maaf tanpa mau mengutarakannya dengan lebih jelas.
Pagi menjelang, Ana terbangun di kamar bernuansa abu-abu gelap. Ia dengan jelas bisa mencium aroma Cakra yang membuat paru-parunya menari-nari senang. Baik, abaikan pikiran konyol Ana barusan! Sepertinya Cakra membawa Ana ke kamar pribadinya. Untunglah, karena Ana memang tidak mau tidur dengan Ely. Tenang saja, Ana juga tidak tidur dengan Cakra. Ana yakin, karena dirinya tidur tepat di tengah ranjang dan tak menemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Cakra juga tidur di ranjang tersebut. Pasti Cakra tidur di kamar kecil yang terhubung dengan kamar Cakra ini. Ana bangun dari posisinya bertepatan dengan Cakra yang ke luar dari kamar mandi. Pria itu tampaknya baru saja mandi, rambutnya saja masih terlihat basah.
Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan C
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint