“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.
“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana hanya bisa menghela napas kesal, ia baru saja mengganti nomor ponselnya karena sudah tidak tahan dengan gangguan nomor asing yang mengaku mengetahui segala hal tentang Cakra. Tadi pagi, Ana tentu saja mengirim pesan pada semua kontak jika dirinya telah ganti nomor. Semua orang membalas dan mengatakan akan menyimpan nomor baru Ana, tetapi tidak dengan Cakra. Pria itu bahkan tidak membaca pesan Ana! Apa sekarang Cakra sudah melupakan keberadaan Ana? Kalau begitu syukurlah, pikir Ana. Itu artinya, Ana tidak perlu lagi berhubungan dengan manusia menyebalkan itu. Meskipun berpikir seperti itu, mood Ana semakin memburuk dari hari ke hari, karena ternyata Cakra tetap tak membalas pesannya.
Langit-langit kamar Ana menjadi pemandangan pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidurnya. Ana mengucapkan syukur, saat merasakan kondisi tubuhnya yang sudah lebih baik. Ana mengedarkan pandangannya, dan terkejut saat melihat Cakra yang duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang. Ana hanya bisa melihat satu sisi wajah Cakra, pria itu terlihat tengah dalam suasana hati yang buruk. Saat ini Ana mulai memutar otak, apa sebelumnya ia melakukan hal yang salah? Jika iya, mungkin Ana yang bertanggung jawab akan suasana hati Cakra ini. Ana mengedarkan matanya lebih jauh, dan terkejut saat melihat ponselnya telah hancur di dekat kaki Cakra. Ana bisa memastikan jika Cakra pasti telah mengetahui perihal pesan-pesan itu.
Fatih bertolak pinggang melihat tingkah adiknya yang sungguh kekanakan. Saat tahu Cakra datang menjemputnya dan berniat untuk mengantarnya ke kampus seperti biasanya, Ana malah menolak untuk ke luar menemuinya. Katakan, apa Fatih salah jika berpikir bahwa kini sikap Ana sangat kekanakan? Fatih mengembuskan napsanya lalu kembali mengetuk pintu kamar Ana dengan sabar. “Ana, kamu benar-benar tidak akan ke luar? Kamu akan terlambat jika tetap seperti ini.” Fatih tampak seperti bicara dengan pintu, ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan apa pun dari sang pemilik kamar.Beberapa saat kemudian Ana berte
“Oma, Ana ingin pindah ke kampung saja.” Ana memeluk kedua lututnya, dan bersandar di dinding kamarnya.“Ada apa? Kenapa cucu cantik Oma menangis?” Suara wanita tua terdengar di ujung sambungan telepon.“Ana ingin pindah saja. Karen
“Akhirnya selesai!” Tasha bersorak gembira. Ana juga tak kalah senangnya dengan Tasha, karena mereka baru saja menyelesaikan ujian terakhir mereka.“Untuk merayakan kebebasan kita, bagaimana kalau kita nonton?” tanya Kekeu.“Kebetulan aku juga sedang ingin nonton,” jawab Tasha.
“Cucu Oma yang cantik ayo bangun,” ucap oma sembari menepuk-nepuk punggung Ana dengan lembut. Oma tersenyum karena Ana yang masih enggan bangun. Cucu bungsunya itu masih berada dalam posisi tengkurap dalam tidurnya. “Ana mau bercerita sesuatu pada Oma? Kenapa Ana terlihat sedih? Bukankah Ana seharusnya merasa senang karena sudah bertunangan dengan Cakra?”Oma tak mendapatkan jawaban apa pun dari cucunya yang masih keras kepala, mengubur wajahnya di bantal. Oma pada akhirnya kembali mengangguk. “Sepertinya cucu Oma, masih mau sendiri. Oma akan meninggalkan Ana sendirian, tapi Ana jangan terlalu lama seperti ini. Opa dan Kak Fa
Fatih menggeleng dan berdecak saat melihat Cakra dengan telaten mengompres Ana yang tengah demam tinggi. Pasangan ini memang selalu membuat dirinya sakit kepala tiap harinya. Lihat saja sekarang, Ana kembali jatuh sakit karena syok dan Fatih yakin ini tidak lepas dari Cakra. Kekasih adiknya itu memang memiliki jiwa jail dibalik topeng dingin yang ia gunakan. “Ana demam karena syok. Aku penasaran, apa yang telah kau lakukan sehingga menyebabkan adikku seperti ini?” tanya Fatih sembari bersandar di ambang pintu kamar Ana.Cakra mengusap pipi pucat Ana lalu menegakkan punggungnya kembali. Pria itu duduk di kursi yang berada di dekat ranjang, posi